Peristiwa Sedih Surabaya dan Indonesia

Perlu merenungkan cukup lama untuk mengangkat peristiwa yang memilukan tersebut. Bukan tanpa alasan, karena untuk kesekian kalinya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini menyangkut-paut pada hal yang berbau agama. Indonesia dewasa ini seringkali digerogoti dengan peristiwa-peristiwa yang identik dengan penggolongan agama. Sangat memprihatinkan, mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang konon katanya dibangun oleh persatuan dari seluruh suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda-beda. Indonesia telah disatukan dengan bahasa Indonesia, ketanah-airan Indonesia, dan kebangsaan Indonesia. Hal ini semakin bertolak belakang, ketika Indonesia mulai banyak melahirkan orang-orang yang fanatis dan siap mati untuk membela suatu hal yang diyakini benar secara penggolongan tertentu saja. Bukan pada tahun 2017 dan 2018 saja Indonesia digempur habis-habisan dengan peristiwa yang menyangkut-paut pada agama, suku, ras, dan antar golongan (SARA). Namun sejak 10-20 tahun lalu bahkan mungkin lebih (tapi penulis tidak terlalu ingin membahas masa lalu yang terlalu jauh), Indonesia sudah dipanaskan dengan isu SARA.
Demonstrasi penurunan kepemimpinan Soeharto, huru-hara di Maluku, Gerakan Aceh Merdeka, Bom Bali, hingga peristiwa Surabaya 13 Mei 2018 kemarin telah menggambarkan bahwa Indonesia diusahakan untuk "tidak begitu tenang" dalam menaungi keberagaman yang indah ini. Tak hanya peristiwa kriminalitas mengerikan yang mengangkat isu agama dan golongan, namun peristiwa politik pun juga telah disangkut-pautkan dengan SARA. Kita jelas tak bisa lupa dengan peristiwa tentang mantan calon pemimpin DKI Jakarta--Ahok, bukan? Kasus penistaan agama yang viral telah membuat kelompok-kelompok tertentu dengan penuh semangat menggaungkan ajaran agama untuk dapat dikonsumsi publik secara luas.
Padahal, jika ditarik pada esensinya, apakah kita harus melakukan gerakan-gerakan semacam itu hanya untuk "melawan" pernyataan yang dinilai salah dari satu orang saja (yang mungkin ditakutkan dapat menyebarkan
pemahaman bagi golongan tertentu yang merasa senasib)?

Ngomong-ngomong, Indonesia adalah negara hukum. Ketika ada suatu kasus yang ada peraturan di undang-undangnya jelas, tentu sebenarnya sudah cukup dengan adanya tindakan hukuman atau sanksi kepada yang dinilai bersalah tersebut. Kasus selesai saja sampai di situ. Namun, seolah-olah hal itu tak cukup. Sehingga, membuat peristiwa yang padahal hanya disebabkan oleh kesalahan 1 orang saja dapat memantik emosi ribuan orang. Itu sungguh kurang adil jika dinilai dengan kacamata manusiawi (tanpa melihat latar belakang masing-masing).

Kembali lagi pada peristiwa di Surabaya tersebut, yang tentunya menguras emosi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Ketika peristiwa semacam itu menggelegar, sebenarnya secara logika, tak ada yang merasa menang atau kalah. Atau dalam istilah yang lebih akrab bagi masyarakat adalah tak ada yang merasa tenang atau yang merasa resah. Justru, semuanya akan merasa resah. Meskipun, oknum berlatarbelakang suatu agama tertentu, bukan berarti umat agama yang sama dengan oknum tersebut akan nyaman dengan pasca peristiwa tersebut. Namanya bom pasti berbeda dengan pistol, tombak, apalagi panah. Senjata itu tak bisa pilih-pilih target. Logikanya semacam itu. Bahkan meskipun lokasinya dinilai bagi oknumnya sudah tepat target, namun apakah orang-orang dengan latar belakang yang beragam tidak beraktivitas di situ? Apakah hanya satu golongan saja yang berada di situ? Di sanalah logika yang bagi pribadi ini, dapat menjadi landasan keresahan seluruh masyarakat Indonesia termasuk secara pribadi. Bukan berarti ada saran untuk melakukan kriminalitas yang akurat (jelas itu konyol!). Karena namanya kejahatan, apapun bentuknya tetap merugikan semuanya. Apalagi jika hal itu diatasnamakan sebagai pembelaan suatu agama, menurut pribadi hal itu sangat tidak benar. Karena, tak ada agama satupun (dari seluruh agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia) yang mengajarkan tindakan untuk merugikan sesama makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa dan Esa. Apalagi untuk melukai hingga membunuh sesama manusia.

Beratnya membahas peristiwa berdarah tersebut, karena, secara pribadi juga sangat kawatir apabila akan ada peristiwa serupa di daerah sekitar. Belum lagi jika melihat secara fisik pribadi, juga acapkali dinilai sebagai orang yang non mayoritas. Sehingga, kekawatiran akan dijadikan sasaran oknum pun sempat muncul di pikiran. Menariknya, orangtua juga mengingatkan untuk tidak memelihara jenggot yang panjang, agar tidak dinilai memiliki ciri-ciri yang khas sebagai bagian dari orang-orang ekstrim. Ya, serba salah memang dengan apa yang dialami pribadi pasca peristiwa tersebut. Memang secara logika, lingkungan sekitar adalah tempat yang aman-tentram. Namun, semua hal yang akan terjadi seringkali tak bisa diprediksi. Sehingga, ketakutan-ketakutan juga sangat wajar muncul ke permukaan.

Pembahasan peristiwa ini baru dilakukan, karena memang sejak peristiwa itu viral, belum sekalipun membaca artikel ataupun menonton beritanya secara detil di sosial media maupun di tv (takut salah-salah dalam mengungkapkan opini). Meskipun secara sekilas mengetahui, namun sudah merasa sedih dan muak dengan apa yang telah terjadi tersebut. Diri pribadi ini memang mungkin bukan seorang manusia yang sangat paham tentang ajaran agama (apapun), namun sangat tidak menyukai adanya kekejaman yang dapat melenyapkan nyawa orang lain. Karena secara logika, kematian orang lain akan membuat keluarga, dan orang-orang yang mengenal orang lain tersebut akan dirundung kesedihan yang teramat dalam. Bayangkan saja jika yang menjadi korban adalah saudaramu, apa yang kau rasakan? Belum lagi dengan pertanyaan, "apa yang akan kau lakukan?" Dan pertanyaan yang kedua itulah yang kemungkinan dapat memicu hal-hal yang tak diinginkan. Pembalasan dendam juga cukup mungkin dapat terjadi, dan itu tentu berbahaya untuk kedaulatan negeri ini.

Bayangkan, jika Indonesia terjadi perang agama secara besar-besaran melebihi huru-hara di Maluku pada tahun 1999-an, tentu sangat mengerikan! Meskipun hal itu sangat kecil kemungkinan terjadi, tapi alangkah baiknya jika sebelum melakukan sesuatu yang dapat merugikan khalayak umum itu dipikirkan terlebih dahulu. Bukan soal pengorbanan diri untuk menggapai suatu impian yang belum tentu tercapai, melainkan soal kebaikan yang seharusnya ditanamkan kepada semua orang bahwa apa yang diyakini itu baik untuk semua. Bukan hanya baik untuk diri sendiri.
Secara pribadi menilai, bahwa oknum-oknum tersebut memang sudah terlalu berlebihan dalam memahami apa yang dianggap benar. Mengagumi keberanian junjungannya pada masa dahulu kala dalam memerangi kebathilan ditelan mentah-mentah untuk dicoba direalisasikan ke kehidupan jaman now. Padahal konteks-nya sudah cukup jauh berbeda. Jika zaman dahulu kala susah menerapkan toleransi, maka solusi terbaiknya adalah adanya dominasi bagi yang merasa kuat dan benar. Sehingga peperangan memang kadangkala tak bisa dihindarkan, karena semua pihak akan memiliki pemahaman yang sama seperti itu (sama2 merasa benar, kuat, dan ingin menguasai). Bahkan sebenarnya, pada masa itu juga tak hanya satu agama saja yang dapat memiliki pemahaman dalam toleransi keberagaman. Namun beberapa bagian golongan dari agama-agama lainnya juga menerapkan toleransi terhadap keberagaman. Jika tak ada toleransi, tentu jumlah peperangan pada masa itu lebih banyak lagi dibandingkan yang telah terekam dalam sejarahnya (peperangan antar agama). Hal ini tentu sudah tak bisa disamakan dengan masa kini, apalagi di Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati dalam membangun negara ini menuju kesejahteraan bersama. Jadi, untuk apa harus berupaya menekankan pembenaran dengan cara kekerasan.
Apakah ingin memperlihatkan dominasi kaum mayoritas? Berupaya memecah-belah persatuan? Atau, kebodohan yang mengakar kuat dan susah dibersihkan dengan kejernihan pikiran dan nurani?

Ingat! Kita sama-sama manusia. Di mata Tuhan akan terlihat sama. Bedanya, adalah bagaimana kita dapat mengimani ajaran dan merealisasikan dengan pemahaman yang imbang antara pengetahuan alam, sosial dan spiritual.
Seorang agamawan juga akan menjadi luar biasa, ketika mempelajari ilmu alam (dapat mengkomparasikan dan
mengkombinasikan filosofi kehidupan yang dituangkan di dalam kitab dengan yang berangkat dari penelitian tentang alam semesta). Ditambah lagi dengan kefasihan dalam menyebarkan pemahaman dan pengetahuannya yang baik tersebut dengan bekal ilmu sosial (mampu menelaah karakter masyarakat di setiap tempat dan di setiap masa yang nantinya dapat dipastikan mampu dan bersedia menerima dakwahnya).

Cukup sekian ulasan pribadi (juga dengan membaca beberapa artikel dan menonton video-video) tentang salah satu peristiwa sosial yang amat luar biasa ini.
Semoga, Indonesia semakin guyub untuk mempertahankan filosofi negeri ini.

#BhinnekaTunggalIka
#NKRIHargaMati
#IndonesiaMilikManusiaYangBeradab

Comments

Popular Posts