Kenapa Aku Sering Membaca tak Tuntas?

Diolah oleh penulis (sumber: Huffingtonpost.com).

Selalu muncul pertanyaan seperti itu ketika aktivitas membaca terkadang tak bisa berakhir dengan baik. Yaitu, dapat menemukan kepala, badan, dan ekornya. Tentu, banyak alasan yang mendasari hal ini terjadi.

Kebiasaan paling sering muncul adalah sudah cukup puas dengan judul, ilustrasi depan, dan lead paragraph. Ketika sudah menemukan itu, asumsi pribadi langsung menyeruak dan tidak merasa butuh untuk tahu apa yang sebenarnya ingin diungkap pada tulisan tersebut.

Benarkah si penulis hanya menulis tentang yang ada di judul?

Benarkah si penulis sudah memberikan kisi-kisinya melalui ilustrasi yang menyertai judul tersebut?

Apakah benar, lead paragraph menjadi penilaian mutlak terhadap bagus-tidaknya tulisan yang akan dibaca?

Problematika ini sebenarnya juga terjadi ketika menonton pertunjukan panggung, seperti teater. Atau, yang di lingkup sekolah waktu itu masih dikenal dengan sebutan drama. Malah ada yang menyebutnya sebagai drama Pensi.

Tidak salah sih, namun alangkah baiknya jika disebut sebagai teater daripada drama. Alasannya bisa dicari di ulasan-ulasan atau artikel yang membahas secara komprehensif tentang teater dan drama.

Lalu, kenapa harus disamakan dengan menonton teater saat membaca tulisan?

Tidak sedikit orang yang menonton pertunjukan teater adalah orang yang sudah merecoki kepalanya dengan hal-hal teknis seputar teater. Hal ini berbeda dengan penonton film yang kebanyakan bahkan tidak tahu bahwa seorang sutradara juga dituntut untuk mampu belajar mengetahui teknik make-up selain paham teknik pengambilan gambar (fotografi dan sinematografi).

Malah, ada sutradara film yang harus mengasah kemampuan dengan menulis novel atau membuat komik yang kemudian menjadi film. Artinya, masyarakat penonton film tidak banyak yang tahu cara menghasilkan film, kecuali orang-orang tersebut ingin belajar membuat film atau sangat kepo dengan dunia kreatif perfilman.

Itung-itung, hasilnya bisa menjadi tugas sekolah atau kuliah. Lumayan kan? Dapat nilai dan dapat sedikit kisi-kisi cara untuk membuat film pendek dan berlagak pernah menjadi orang di balik layar. Hehe.

Namun, jika dibandingkan persentase dengan penonton di teater, penonton film sangat luas. Itulah yang membuat penonton film tak banyak yang tahu how to create movie. Mereka kebanyakan hanya mampu berbicara tentang selera tontonan saja.

Beda dengan pertunjukan teater yang konsumennya tak banyak dan kebanyakan juga merupakan pembuat pertunjukan teater. Jika hal itu terjadi, maka yang terlihat adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya menonton pertunjukan, melainkan mengamati pertunjukan.

Ketika hal itu terjadi, jiwa kritis penontonnya akan muncul. Itulah mengapa akhirnya muncul sarasehan di akhir pertunjukan untuk menampung unek-unek para penonton. Artinya, saat menonton teater, kebanyakan sudah dibarengi dengan persiapan tentang pengetahuan terhadap teater tersebut.

Hal ini tentu sedikit berbeda dengan penonton film yang terkadang ada yang masih kecil atau anak-anak. Apakah di usia seperti mereka harus tahu teknik vokal aktor di panggung teater ketika menonton teater?

Artinya, ketika menonton teater, sebagian penonton sudah tidak fokus untuk menikmati pertunjukannya. Karena, mereka sudah memiliki pemahaman tersendiri terhadap teater.

Dari sana kemudian tidak sedikit penontonnya yang mudah untuk meninggalkan tempat ketika merasa tidak klik dengan pertunjukannya. Entah apa alasannya.

Hal ini juga sama seperti saat menjadi pembaca. Ada yang di antara pembaca adalah orang-orang yang paham teknik menulis yang tepat.

Itu akan membuat kepala sudah tidak nyaman untuk membaca tulisan yang menurutnya tak sesuai dengan apa yang dia pahami tentang cara menulis. Dari sini, muncul kebiasaan mengkritisi teknis tulisan termasuk menilai tulisan dengan berdasarkan lead paragraph.

Apakah semua penulis hebat dapat membuat lead paragraph yang bagus? Pasti di antara pembaca hanya mampu menyebut beberapa nama, karena faktor perkenalan terhadap penulis tersebut dan tentunya dengan karya tulisnya.

Jadi, apakah adil menilai semua tulisan hanya dengan judul, gambar, dan lead paragraph?

Seharusnya tidak. Karena setiap penulis pasti punya cara tersendiri untuk membangun tulisannya secara utuh. Bahkan, ketika terdapat tiga lead paragraph pada tiga judul yang berbeda, belum tentu teknik dan perwujudannya sama, meski dinilai sama-sama bagus.

Kebiasaan menilai teknis semacam ini memang tak bisa disadari. Karena, terkadang itu juga disebabkan faktor karakter dan kebiasaan. Bahkan, pembaca yang melakukannya juga bisa saja tak menyadari bahwa dia telah mengkritisi tulisan yang dibaca.

Tapi, cara itu akhirnya membuat aktivitas membaca tak terlalu menyenangkan seperti saat di masa anak-anak yang selalu sangat kepo dengan bacaannya. Mereka bahkan tidak menyadari bahwa tulisan yang dibaca ternyata tidak terlalu bagus. Apakah itu salah? Tentu saja tidak.

Sebenarnya ada contoh nyata yang bisa dijadikan ilustrasi, semoga ini tidak membuat siapapun merasa tersinggung. Karena hal ini murni faktor pengalaman yang dialami oleh seorang anak lelaki yang kemudian menjadi seorang pria.

Sewaktu kecil, si dia ternyata sangat gandrung dengan komik Gundala. Memang tidak secara lengkap series yang dibaca. Namun, saat itu aktivitas membaca komik Gundala sangat menyenangkan. Dia pun tak peduli dengan bagaimana tata bahasa yang disajikan sang author atau komikus Gundala, Hasmi.

Paling penting yang diperhatikan tentu ceritanya. Apalagi ketika Gundala sedang bertarung dengan Godam dan beberapa superhero lainnya. Rasanya asyik, bahkan ada keinginan jika nanti besar akan menjadi Gundala dan memiliki kemampuan bertarung seperti itu.

Namun, hal ini akan sulit terjadi ketika komik itu dibaca oleh orang yang sama namun sudah menjadi seorang pria. Maka bayangan mengasyikkan saat membaca Gundala tidak terlalu seseru saat dia masih kecil. Kenapa?

Karena dia menemukan beberapa penyampaian kata-kata di komik itu yang terasa agak janggal. Namun, berhubung dia ingin bernostalgia, maka kekritisan itu berupaya ditepis. Sulit, namun bagaimana lagi? Dan, kenapa hal seperti ini terjadi?

Tentu karena faktor pertumbuhan dan perkembangan wawasan. Bahkan, bukan karena si pria itu adalah komikus, melainkan hanya pernah membaca komik-komik lain dan tentunya yang sudah uptodate--sesuai cara bertutur masa kini.

Artinya, si pria itu sudah tergiring arus saat ini, tidak terpaku pada apa yang dulu hanya dia nikmati.

Contoh ini bisa terjadi pada aktivitas membaca jenis bacaan lain. Ketika pembacanya sudah sangat paham dengan teknik menulis, tingkat kenyamanan membacanya tidak akan sebesar ketika tanpa pemahaman teknik menulis.

Selama tulisannya menarik, masa bodo dengan teknik menulisnya.

Apakah ungkapan itu benar? Tidak juga. Karena, semua penulis perlu dikritisi juga.

Ketika seorang penulis tak mendapatkan kritikan, teknik menulisnya tak akan mengalami perkembangan. Itu cukup krusial bagi penulis yang ingin berkembang.

Apalagi ketika banyak penulis berkepala batu, maka akan sulit berkembang ketika dirinya tak mendapatkan suntikan kritik yang benar-benar tepat dan dimengerti maksudnya oleh si penulis. Karena, pada akhirnya teknik menulis juga akan berkembang sesuai permintaan pasar ataupun karena intelektualitas penulisnya.

Inilah yang kemudian membuat aktivitas membaca kadangkala tak tuntas. Karena pembaca pada akhirnya juga turut andil menilai tulisan yang dibaca. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah ketuntasan dalam membaca.

Karena, akan menjadi kesia-siaan bagi pembaca yang tidak membaca tuntas namun tetap ingin menilai tulisan tersebut. Itu sama saja melahirkan bayi prematur.

Tentu tidak salah melahirkan bayi secara prematur. Namun, alangkah baiknya jika melahirkan anak sesuai dengan usia kandungan yang ideal jika memang tak terjadi apa-apa.

Itulah mengapa ketika tulisan yang dibaca tak memberikan ancaman terhadap pembaca, mengapa tidak untuk membacanya sampai tuntas? Jika memang tak membaca tulisan secara tuntas, lebih baik tak berasumsi dan menilai tentang tulisan tersebut.

Tujuannya agar adil. Si pembaca tak mendapatkan informasi yang utuh, si penulis juga tak perlu mendapatkan penilaian yang hanya berdasarkan first impression. Karena jika itu terjadi, penulis lebih baik hanya mengunggah quote dan ilustrasi yang semenarik mungkin.

Tidak perlu lagi membuat artikel. Bagaimana? Adil?



Indonesia, 20 April 2020
Deddy Husein S.

Comments

  1. Sejarah Perang Gerilya – Irregular warfare atau yang dikenal dengan perang irregular adalah perang yang dilakukan tidak seperi lazimnya perang yang mempertemukan dua pasukan didalam medan perang.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts