Review Buku Kumpulan Cerpen Agus Noor "Lelucon Para Koruptor" Part 1


Sungguh suatu kesempatan yang menarik bagi penulis, karena dapat mencoba me-review buku yang menarik ini. Di dalam unggahan saat ini, penulis akan me-review cerita pendek (cerpen) berjudul "Mati Sunyi Seorang Penyair". Kenapa? Di cerpen ini, penulis menangkap sebuah cerita yang menggambarkan kehidupan behind the scene seorang seniman dengan representasi dari seorang penyair di cerita ini. Kehidupan penyair di cerpen ini digambarkan dengan situasi yang tak bahagia dan harus mati dengan meninggalkan banyak "hutang". Salah satunya adalah satu kata yang sedang dicari untuk karya (mungkin) terakhirnya, atau bisa menjadi masterpiece-nya di kala senja yang telah hadir di hidupnya.

Cerpen ini (menurut penulis) menceritakan hidup si penyair yang harus menderita sampai meninggal dunia dalam keadaan duduk dan tak diduga dalam beberapa hari oleh istrinya, apalagi kedua anaknya. Dia meninggalkan istrinya yang harus semakin bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya. Bahkan di kala hidupnya si penyair, memang tak pernah mampu membuat kehidupan keluarganya berada dalam kesejahteraan.
Latar belakang pekerjaannya dengan istri yang sama-sama buruh juga membuat mereka tentu tak punya jaminan masa tua yang pasti. Sedikit diperparah dengan idealisme yang dimiliki si penyair yang semakin teguh untuk menjadikan kesibukannya membuat puisi sebagai hal yang utama di rutinitasnya.
Istrinya tentu harus memiliki kesabaran untuk menghadapi pernyataan dari si penyair terhadap apa yang diinginkan tersebut. Hampir tak ada istri yang tak mengharapkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan lahir batin, apalagi soal kecukupan materi. Membeli alat rias dan baju-baju yang bagus, tentulah harapan yang seringkali muncul di pikiran para istri yang sayangnya tak bisa direalisasikan di kehidupan si istri penyair. Dia hanya mendapatkan "keuntungan" bahwa, memiliki suami seorang penyair akan mengalami kehidupan yang lebih romantis dibandingkan suami-suami orang lain. Ya, mungkin itulah yang dapat menguatkan si istri agar tetap bertahan, meskipun harus beralih menjadi tulang punggung keluarga untuk menghidupi si penyair (sebelum mati) dan kedua anaknya.

Dan kini, kematian si penyair bukannya memudahkan hidup si istri, malah semakin membuat si istri kebingungan dalam mengurusi proses pemakamannya.
Ya, sebagai orang yang kurang berada perekonomiannya, akan sedikit sulit untuk dapat melakukan prosesi pemakaman. Di cerita ini terlihat, bahwa salah satu fakta di masyarakat tentang proses pengurusan jenazah dengan menariknya berhasil disajikan dan menggelitik perasaan para pembaca.
Cerita tentang pembiayaan jasa modin, membeli tanah pekuburan, pembayaran jasa penggali kubur, dan pelayanan kepada para pelayat--tetangga yang hendak membantu proses takziyah telah disajikan di cerpen ini apa adanya.
Sehingga cukup menyentil perasaan kita--apalagi yang juga memiliki pengalaman yang sama. Begitu menyedihkannya perjalanan si penyair, tak hanya saat dia hidup, bahkan saat dia sudah mati.

Sejenak kita mencoba mengulik sedikit tentang istri si penyair. Menurut penulis, perasaan dan perjalanan hidup si istri sebagai pendamping hidup sang penyair digambarkan sebagai kontradiksi terhadap keadaan hidup istri-istri para pejabat atau pegawai kantor yang tentu lebih mapan. Mari kita lihat dengan kacamata hasil tangkapan media sosial dunia maya saat ini (tanpa menyebut siapa), yang seringkali mengabadikan momen-momen indahnya liburan si istri-istri kaya tersebut. Yaitu ketika, suami ada jadwal keliling kota atau daerah dalam keperluan kerja atau dinasnya dapat dimanfaatkan si istri untuk merengek agar bisa ikut serta dan terjepret oleh kamera rekan-rekan media. Sehingga, pamor mereka pun akan ikut nge-trend. Contoh ini tentu akan terlihat jauh dari realita kehidupan si istri penyair ini yang harus bekerja apapun demi dapur tetap mengebul.

Kini, kita kembali melihat hidup si penyair yang tak begitu mudah. Dia juga dianggap tak bisa bergaul di lingkungannya. Ya, dengan kesibukannya dalam merangkai kata-kata ke dalam bentuk puisi setiap hari. Ini membuatnya tak bisa menyempatkan diri untuk menyambangi rumah-rumah tetangganya atau mungkin ikut jaga malam di pos ronda di kampungnya.
Peliknya kehidupan penyair, seolah menggambarkan bahwa menjadi seniman tak semudah yang dilihat orang lain (hanya duduk dan menulis setiap hari). Kecuali, jika untung-untung kalau karyanya berhasil menjadi masterpiece dan sukses di pasaran. Tentu kehidupannya akan menjadi (dinilai) sukses. Bayangkan, ketika menjadi penyair yang terkenal, maka akan sering menampangkan wajahnya di siaran televisi dengan program talkshow-talkshow yang nge-trend dewasa ini. Hal seperti itu sayangnya tak terjadi di kehidupan si penyair. Meskipun dia telah mengukuhkan dirinya sebagai penyair, bahkan sampai dia mati di kursi kerjanya. Semakin menyedihkannya, karena dia ternyata masih punya hutang terhadap karyanya. Dan hutang itulah yang membuat si penyair harus diceritakan bagaimana perjalanan kematiannya. Ya, sepertinya si penyair ini bisa merepresentasikan bagaimana nasib si arwah gentayangan yang harus mencari hal tertentu yang tak kunjung ditemukan di saat masih hidup. Kini, si penyair berubah menjadi si arwah penyair.

Si arwah penyair bergentayangan di dalam kehidupan si istri, anak-anaknya, dan tetangga-tetangganya. Menariknya, si arwah penyair seolah berupaya untuk memperbaiki apa yang kurang dari dirinya di saat masih hidup kemarin. Dia yang dulu hanya asyik memenjarakan diri di dalam rumah, justru kini mulai jalan-jalan menelusuri perkampungannya. Dia yang biasanya kurang peduli dengan kedua anaknya, kini mulai mencoba mendekati anak-anaknya dan membantu mereka mengerjakan PR.
Lebih menariknya adalah perilakunya kepada si istri. Dia lebih peduli dan penuh sayang terhadap istrinya--suatu hal yang tak pernah dirasakan si istri, dan membuat si istri semakin sayang dengan arwah si penyair. Ya, si arwah penyair berusaha membuat dirinya dapat memberikan kesan-kesan terakhir sebelum dirinya mungkin akan benar-benar pergi selamanya.
Suatu hal yang dapat dimaknai secara umum, bahwa sebaiknya kita yang masih hidup ini seyogyanya segera sadar terhadap kekurangan kita selama ini saat bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar, sebelum terlambat. Apalagi dalam hal menyayangi keluarga.

Kini tiba pada suatu waktu di dalam cerita ini, di mana akhirnya si penyair dapat menemukan kata yang dicari-carinya dan menjadi hutangnya di saat ia masih hidup. Yaitu, JUJUR. Satu kata yang dianggap sakral.
Menurut penulis, pencarian kata itu seolah menggambarkan keinginan si penyair untuk dapat melihat kejujuran adalah tonggak kehidupan. Artinya, segala tindakan manusia di alam semesta ini alangkah baiknya dilakukan dengan jujur. Seharusnya, manusia menjalankan hak dan kewajibannya dengan jujur, apapun statusnya. Ini dapat menjadi sentilan bagi kita yang seringkali susah jujur dalam menghadapi segala hal di saat adanya pertanggungjawaban. Misalnya, sebagai mahasiswa atau pelajar seharusnya jujur dengan presensinya di kelas dan saat mengerjakan tugas-tugasnya (menghindari plagiasi). Sebagai pegawai negara, seharusnya jujur dalam mengemban amanah melayani kebutuhan masyarakat. Sebagai seniman, alangkah baiknya jujur juga dalam menghasilkan karya-karyanya. Apalagi sebagai hamba Tuhan, seharusnya jujur dalam melakukan apapun. Karena Tuhan pasti tahu apa yang kita lakukan. Bahkan sesama (orang lain) pun juga dapat tahu apa yang kita lakukan pada akhirnya. Seperti sebuah pepatah, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga dari pohon" membuat kita harus selalu waspada dengan akhir dari setiap perbuatan kita.
Dan, semoga dengan berhasilnya penemuan kata itu, arwah si penyair tenang dan ikhlas untuk meninggalkan dunia fana ini meski harus meninggalkan istri tercinta dan kedua anaknya yang tersayangi.

Sekiranya begitu, tentang apa yang dimaknai secara pribadi dari cerpen "Mati Sunyi Seorang Penyair" karya Agus Noor. Apabila ada kurangnya, penulis memohon maaf. Bagi yang sudah pernah membacanya dan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap cerpen tersebut, dapat menyampaikannya ke kolom komentar dan diharapkan sekali dapat disertai dengan identitas (minimal nama).
Nantikan review cerpen Agus Noor lainnya di Buku Kumpulan Cerpen "Lelucon Para Koruptor" di kesempatan selanjutnya.
Terimakasih.

#reviewcerpen
#AgusNoor
#LeluconParaKoruptor

Comments

Popular Posts