Sedikit Mengenal Liga Sepakbola di 10 Liga di Eropa (bagian 1)
"Siapa yang juara tahun ini?", " Siapa yang akan juara tahun ini?", "Apakah pelatih baru dapat membawa klub besar itu juara?", dan pertanyaan-pertanyaan lainnya akan selalu mewarnai perbincangan para penggila atau hanya sekedar penikmat sajian sepakbola (khususnya di Eropa). Ya, karena kiblat sepakbola dunia saat ini masih dan akan tetap bersemayam dengan penuh gelora di "benua biru". Sebenarnya, kebanyakan orang khususnya di Asia dan apalagi Indonesia, masyarakat bolanya cenderung hanya mengenal kompetisi sepakbola di Eropa ada Premier League (Inggris), La Liga (Spanyol), Serie A (Italia), Bundesliga (Jerman), dan Ligue 1 (Perancis).
Premier League dikenal, karena liga tanah Ratu Elizabeth tersebut menghadirkan "aroma" kompetisi yang sengit dan konsisten menghadirkan teka-teki terhadap "siapa yang akan juara nanti?". Ditambah pula dengan siaran pertandingannya yang lebih sering nongol di tv-tv lokal meskipun semakin minim (hanya menyajikan big match dan asal tidak bentrok dengan acara lainnya di tv tersebut) karena biaya kontrak hak siar juga semakin melonjak mahal. Selain itu, di Liga Inggris kita bisa melihat aksi para pemain terbaik dunia masih banyak bermain di klub-klub papan atas. Seperti Mohamed Salah, Firmino, David De Gea, Eden Hazard, Mesut Ozil, Sergio Aguero, Yaya Toure, Paul Pogba, Alexis Sanchez, bahkan kini kedatangan Pierre-Emerick Aubameyang dengan kostum merah putih khas Arsenal. Mereka tak hanya memperkuat 1 atau 2 klub besar saja, namun memperkuat 5-6 klub papan atas di liga tersebut. Membuat Liga Inggris masih sangat kompetitif dibanding liga-liga lainnya yang mulai cenderung didominasi oleh 1-2 klub saja. Tak mengherankan jika bandar judi pun masih sangat konsen membuka lapaknya di liga ini dibandingkan kompetisi lainnya yang cenderung mudah ditebak hasil akhirnya.
Di liga ini, kita sudah melihat trofi juara dapat direngkuh oleh beberapa tim besar di Inggris dalam 1 dekade ini. Seperti Manchester United, Manchester City, Chelsea, dan tim juara kejutan Leicester City. Basis besar suporter, pembangunan klub yang berkelanjutan (stadion, arena latihan, akademi mudanya, kepemilikan investor, dan memiliki manajer/pelatih berkualitas) dan kedatangan pemain-pemain terbaik dari segala penjuru dunia terus mempertahankan daya tarik tersendiri bagi pecinta bola dari yang awam sampai yang mungkin bisa disebut sesepuh gibol (gila bola).
Terkait klub-klub juaranya, kita dapat melihat bahwa dominasi Manchester United sudah tidak lagi sekuat era manajer Sir Alex Ferguson dengan materi pemain yang mumpuni dan telah menjadi legenda klub tersebut. Lalu kemunculan Chelsea sebagai penantang kuat dan menjadi bagian dari big four (Man.United, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea) setelah kedatangan taipan asal Rusia, Roman Abramovich sebagai investor dan pemilik klub London Barat tersebut. Pelatih-pelatih hebat semacam Claudio Ranieri, Jose Mourinho, Andre Villas-Boaz, Rafael Benitez, hingga Antonio Conte telah merapat ke Stamford Bridge Stadium. Melahirkan beberapa kali gelar juara Liga Primer bahkan sempat mencicipi satu gelar juara Liga Champions Eropa.
Kemudian yang paling menarik adalah dengan keberhasilannya Leicester City sebagai juara liga di musim 2015/2016 dengan materi pemain yang kemudian menarik minat klub-klub rival, seperti Riyadh Mahrez, Jamie Vardy, N'Golo Kante, Drinkwater, dan Kasper Schmeichel. Bersama allenatore (sebutan pelatih di Italia) Claudio Ranieri, mereka berhasil mematahkan asa Arsenal untuk mengakhiri puasa gelar Liga Primer Inggris yang sekaligus membuat semua mata publik bola mengarahkan seluruh perhatiannya pada klub semenjana (tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun pada klub dan fans) tersebut. Menariknya, fenomena tersebut menjadi lecutan semangat bagi para klub yang mungkin merasa medioker untuk turut membuat sejarah yang sama--menjadi juara dan mengalahkan dominasi klub-klub papan atas. If, Leicester can do it, why not?
Setelah, dongeng Leicester merebak, banyak klub mulai berusaha come back ke jalur pacuan juara. Salah satunya, Manchester City. Bersama Josep "Pep" Guardiola, mereka berupaya membangun skuad juara lagi. Kiper Ederson menjadi pilihan utama, kembalinya Vincent Kompany sebagai bek berduet dengan Nicolas Otamendi, kuartet tengah diisi oleh David Silva, Kevin De Bruyne, Fernandinho, dan Leroy Sane. Kadangkala berduet di depan, yaitu Gabriel Jesus dan Sergio Aguero. Ditambah rekrutan baru, John Stones, Bruno Silva, dan Walker, membuat barisan skuad Manchester Biru sangat siap mengangkat trofi juara Liga Primer di musim 2017/2018. Mereka mampu mengungguli tim tetangga--Man.United, Liverpool, Tottenham, juara bertahan Chelsea, apalagi Arsenal yang sudah ditinggal pergi Arsene Wenger di akhir musim.
Lalu bagaimana dengan liga terbaik Eropa saat ini, La Liga? Liga Spanyol masih dianggap di-duopoli oleh Real Madrid dan FC Barcelona. Hanya ada Atletico Madrid dengan pelatih berkarakter seperti Diego Simeone, lalu Sevilla si juara Liga Eropa 3 kali berturut-turut, dan kebangkitan Valencia yang mencoba untuk menghambat laju kedua klub raksasa Spanyol tersebut. Keberadaan dua klub itu pula yang disinyalir membuat Liga Spanyol masih dinilai sebagai liga terbaik Eropa. Bukan tanpa sebab, karena Spanyol salah satu pengirim negara yang mampu konsisten mengirim klub-klub wakilnya untuk berebut gelar di dua kompetisi besar Eropa (Liga Champions dan Liga Eropa). Real Madrid bahkan mampu merengkuh gelar kesebelas dan kedua belas secara beruntun. Lalu ada Sevilla yang sangat kuat di Liga Eropa. Tentunya, tak melupakan Atletico Madrid yang telah mampu membawa trofi Liga Eropa kembali ke Spanyol di tahun 2018 dengan menaklukan Olympique Marseille di stadion milik Olympique Lyon. Info terhangatnya saat ini, Real Madrid sedang berupaya menggoreskan sejarah spektakulernya, yaitu memburu trofi Liga Champions untuk yang ketigabelas atau yang ketiga kalinya secara beruntun.
Dengan juaranya Barcelona di La Liga musim 2017/2018, tentu Real Madrid terpacu untuk dapat meraih gelar juara di kompetisi Eropa--seperti yang dilakukan tetangganya.
Ya, banyak cara untuk membuat suatu liga dapat dikenal dan berprestasi seperti Spanyol yang memiliki caranya sendiri dan tentu dapat dicoba oleh negara lain.
Serie A juga memiliki cerita menarik. Pasca runtuhnya dominasi 4 musim Inter Milan di Liga, bahkan sempat meraih treble winners. Juara Liga berhasil diraih oleh AC Milan. Namun, sejak itu kedua tim asal kota Milan tersebut gagal total dalam berpacu di jalur juara. Mereka selalu kalah saing dengan rival-rival seperti AS Roma, Napoli, Lazio, Fiorentina, dan tentunya tim besar asal kota Turin yang telah lama tidur--Juventus. Bahkan tak tanggung-tanggung, Juventus meraih gelar juara Serie A selama 7 kali beruntun sejak 2011 hingga musim 2017/2018 ini berakhir. Keberhasilan Buffon dkk, tentu bukan hal mudah. Pasca kasus Calciopoli, mereka benar-benar berusaha untuk membangun tim kembali dari nyaris nol. Bahkan skuad yang bertahan saat Calciopoli hingga sekarang kemungkinan besar hanya ada Gianluigi Buffon. Sebagai penjaga gawang, bukan hal yang terlalu istimewa jika mampu bertahan lama di satu klub. Namun dengan klub yang sempat mengalami permasalahan seperti itu jelas suatu keistimewaan tersendiri mampu tetap bertahan. Loyalitas seperti menjadi ciri khas di Serie A. Beberapa klub masih memiliki pemain-pemain yang loyal dengan klub yang dibela. Selain Buffon, ada Francesco Totti yang akhirnya pensiun hanya dengsn membela tim Serigala Ibukota, jangan lupakan pula legenda Juve Alessandro Del Piero, legenda duo palang pintu pertahanan AC Milan Paolo Maldini, Nesta, dan masih ada Marek Hamsik di Napoli saat ini. Liga Serie A dikenal dengan tim-tim yang menyajikan permainan yang tangguh dalam hal defensif. Itu dapat dibuktikan dengan kemampuan defense tim Italia di setiap pagelaran internasional. Adanya Chiellini, Bonuci, Barzagli, dan ditambah dengan beberapa pemain bertahan legenda lainnya cukup dapat membuktikan betapa menariknya kompetisi di Serie A ini. Di Serie A kita juga dapat mendengar isu-isu mafia yang masuk ke dalam meja taruhan untuk mempengaruhi hasil akhir pertandingan. Namun, tak semua pertandingan di Serie A sarat akan hal-hal semacam itu. Nilai-nilai sportivitas tentu masih sangat dijunjung tinggi. Terbukti, bahwa klub-klub Italia masih belum "kehilangan muka" di pentas Eropa. Pasca Internazionale menjuarai Liga Champions dengan mengandaskan perlawanan Bayern Munchen, Serie A masih memiliki wakil-wakil di fase-fase knock out di Liga Champions maupun Liga Eropa. Salah satunya tentu sang juara bertahan 7 kali, Juventus. Hanya Real Madrid dan Barcelona yang mampu mengandaskan asa skuad Massimiliano Allegri untuk merengkuh "Si Kuping Besar". Tinggal bagaimanakah laju kompetitifnya klub-klub di Serie A musim selanjutnya, akan sangat tergantung pada bagaimana mereka mampu menjaga konsistensi di pacuan jalur juara. Internazionale sudah terasa kembali di jalur yang cukup benar, AC Milan juga serupa. AS Roma tidak terlalu meratapi kehilangan Mohamed Salah, dan tentunya skuad Napoli harus kembali bersemangat bertarung di musim selanjutnya untuk membuktikan bahwa mereka sangat layak sebagai tim juara di Serie A.
Kini, beralih ke Bundesliga. Yaitu liga Jerman. Liga yang memiliki tim-tim yang punya banyak sejarah. Seperti dominasi Bayern Munchen yang tak kunjung runtuh. Kemampuan Hamburg SV sebagai klub yang tak pernah terdegradasi, namun untuk musim 2018/2019 mereka akan berkompetisi di liga kasta kedua Jerman untuk pertama kalinya. Lalu, adanya "skuad akademi" di klub Borussia Dortmund. Skuad akademi di sini dimaksudkan dengan fenomena klub ini yang mampu menghasilkan pemain-pemain berkualitas yang nantinya akan dibeli oleh klub-klub besar. Tak terkecuali rival berat mereka, Bayern Munchen. Bahkan klub inilah yang paling sering membeli pemain-pemain Borrusia Dortmund dibandingkan sekumpulan klub-klub se-Eropa yang membeli pemain-pemain asal Signal Iduna Park (MU, Barcelona, Arsenal, dan klub-klub lain). Ironisnya, banyak pemain De Borrusien yang meraih gelar juara saat ber-jersey Merah Munchen. Sebut saja, Mario Gotze, Robert Lewandowski, hingga Matt Hummels. Dominasi Bayern Munchen dinilai karena strategi rekrutmen pemainnya yang banyak mengambil pemain-pemain potensial di klub-klub Bundesliga. Dominasi ini juga membuat Bayern seolah sebagai wakil Jerman yang melaju sendirian di pentas Eropa. Setiap musim, nyaris semua masyarakat gibol yang mengenal Bundesliga akan menyebut Bayern Munchen sebagai juaranya, sama seperti di musim 2017/2018 dengan pelatih kawakan Jupp Heynckes. Di usianya yang sudah tua, bahkan sempat pensiun, masih mampu membawa Bayern Munchen konsisten di kancah domestik. Sampai kapankah mereka akan terus menjuarai Bundesliga?
Kini kita beralih ke kompetisi Ligue 1. Kompetisi bergengsi di tanah mode Eropa, Perancis. Di sini kita bisa menyaksikan klub-klub lokal yang banyak menyuplai pemain-pemain hebat untuk timnas Perancis. Sebut saja seperti, finalis Liga Eropa 2018 Marseille, Lille, Lyon, Montpellier, Nice, klub musafir AS Monaco, dan tentunya sang juara musim 2017/2018 Paris St. Germain. Di sini ada dua era yang menarik dan mampu merubah atmosfir sepakbola di Ligue 1. Era pertama adalah era yang memperlihatkan kompetisi Ligue 1 sebelum kedatangan investor klub dari Timur Tengah (Qatar). Sebelum adanya investor asing yang amat kaya raya dan mengambil alih PSG, klub-klub Perancis mampu bersaing memperebutkan titel juara. Nama-nama klub yang disebut sebelumnya adalah nama-nama peraih gelar juara yang saling bergantian merengkuhnya. Namun, di era kedua, era di mana PSG menggeliat dan berusaha disaingi pula oleh AS Monaco, maka perebutan juara pada akhirnya bermuara ke kota Paris. Ya, PSG mampu mendominasi Ligue 1 dengan kekuatan finansial yang mampu membeli Salvatore Sirigu, Thiago Motta, Thiago Silva, David Luiz, Maxwell, ex-Napoli Edinson Cavani dan Ezequiel Lavezzi, Marco Veratti, hingga Dani Alves dan Neymar Jr. Mereka para bintang berkumpul di klub berlogo menara Eiffel tersebut. Membuat skor telak seringkali menghiasi hasil akhir laga-laga yang mempertemukan PSG dengan kontestan Ligue 1 lainnya. Dua era ini jelas memiliki plus-minusnya masing-masing. Di era pertama, plus-nya adalah mampu membuat Ligue 1 kompetitif dan menghasilkan bibit-bibit pemain berkualitas untuk timnas Perancis. Minusnya, liganya belum terlalu populer. Keuangan tim juga tidak terlalu banyak (hak siar belum tinggi). Sedangkan di era kedua, popularitas Ligue 1 naik. Bahkan Ligue 1 masuk 5 besar liga terbaik Eropa. Popularitas liga naik karena efek pemain-pemain bintang bermain di sana. Kualitas dinilai meningkat karena masih ada klub-klub Perancis yang kompetitif di pentas Eropa meskipun di kasta kedua (Liga Eropa). Namun, jika PSG masih tak tergusur dari dominasi terhadap perebutan juara liga, hal ini juga akan membuat Ligue 1 mirip dengan Bundesliga. Dan membuat seolah-olah France is PSG. LIGUE 1 is PSG.
Semoga tim-tim lain mampu kompetitif dalam memperebutkan gelar juara dari awal musim sampai akhir musim.
Selamat untuk PSG yang kembali juara Ligue 1 musim 2017/2018!
(untuk liga lain akan dilanjutkan di postingan selanjutnya)
#LOVEFOOTBALL
#RESPECT
#NORACISM
#FAIRPLAY
Comments
Post a Comment