REVIEW PIALA DUNIA 2018 (Chapter 8)


Spesial Final dan Perancis Juara!

sumber gambar: kaltim.tribunnews.com


Piala Dunia 2018 Rusia sudah berakhir. Laga antara Perancis vs Kroasia adalah laga yang menutup turnamen besar ini di Luzhniki Stadium, Rusia (15/7). Kini kita sudah mengetahui juaranya, yaitu Perancis yang berhasil mengalahkan Kroasia dengan skor 4-2. Hasil ini  juga menjadi klimaks yang luar biasa, karena akhirnya kita dapat menyaksikan laga final di Piala Dunia yang banjir gol. 6 gol di laga yang super penting ini jelas dapat membayar dahaga para penonton bola apalagi suporter yang langsung hadir di stadion, untuk dapat menyaksikan jalannya pertandingan yang penuh teriakan histeria tak hanya dua kali—perayaan gol semata wayang dan perayaan champions setelah laga berakhir.

Ya, di dua edisi Piala Dunia terakhir, yaitu di final 2010 (Belanda vs Spanyol) dan final 2014 (Argentina vs Jerman), keduanya berakhir dengan skor 0-1 untuk Spanyol dengan gol Andres Iniesta dan Jerman dari gol super sub Mario Goetze. Otomatis gemuruh dahsyat publik sepakbola di mana pun mereka berada akan terjadi dua kali. Sedangkan di final tahun ini, euforia para pecinta sepakbola sudah muncul di babak pertama. Bahkan tak hanya sekali, melainkan tiga kali. Karena Perancis sempat unggul lewat tendangan Antoine Griezmann yang tersentuh kepala Mario Mandzukic sehingga bola sedikit merubah arah bola ke gawah Danijel Subasic. Lalu, Ivan Perisic berhasil membuat publik Kroasia di stadion dan di negaranya berlonjak penuh semangat karena berhasil menyamakan kedudukan—harapan comeback pun tentunya mulai muncul di benak rakyatnya Kolinda Grabar-KitarovicËŠ (presiden Kroasia). Tapi, menjelang laga berakhir, kubu Perancis berhasil kembali unggul melalui eksekusi tendangan penalti si pemilik nomor 7. Skor sementara 2-1 di paruh pertama. 3 gol kembali tercipta di babak kedua setelah dua gol Les Bleus kembali dibalas dengan 1 gol dari skuad asuhan Zlatko Dalic.

Pesta kemenangan pun menjadi milik publik pendukung Perancis—tak hanya warga Perancis tentunya. Karena memang di atas kertas Perancis lebih diunggulkan daripada Kroasia. Meskipun secara permainan dan komposisi pemain—khususnya di starting line-up kedua tim sama-sama kuat. Selain itu, pengalaman menjuarai turnamen 4 tahunan ini juga punya potensi telah ditularkan oleh Didier Deschamps kepada anak asuhnya. Karena, sang pelatih juga merupakan bagian dari skuad timnas Perancis yang menjuarai Piala Dunia 1998—sebagai pemain bersama Thierry Henry muda yang masih dikenal sebagai pemain tengah (winger) saat itu. Apa yang dilakukan Deschamps kemungkinan juga dilakukan oleh Henry di timnas Belgia. Bedanya, dia bukan pelatih melainkan asisten pelatih Roberto Martinez. Juga menjadi berbeda, karena Deschamps berhasil membawa negaranya menjuarai Piala Dunia untuk kedua kalinya, setelah menunggu 20 tahun. Sesuatu yang gagal dilakukan Henry bersama Belgia, namun pencapaian Belgia juga tak buruk—berhasil menjadi yang terbaik ketiga di turnamen yang digelar di negara kepemimpinan Vladimir Putin ini.

Melangkah segera ke bagaimana Perancis dapat menjuarai Piala Dunia tahun ini. Ya, bagaimana mereka yang cukup berani memainkan pemain-pemain muda ini, berhasil mengangkat tinggi trofi Piala Dunia?

Keberhasilan ini bisa jadi karena ketepatan Deschamps dalam memilih pemain untuk formasi dan strategi yang akan dimainkan di gelaran ini pasca kegagalan mereka menjuarai Piala Eropa di 2016 lalu—kalah dari Portugal. Pemilihan pemain yang berimbang antara skuad inti dengan skuad cadangan. Seperti, tiga penjaga gawang yang merupakan tiga penjaga gawang utama di tiga klub yang musim 2017/2018 tampil apik membawa klubnya berkiprah cukup positif. Hugo Lloris yang dengan kematangan pengalamannya baik bersama klub maupun bersama timnas, jelas menjadi pilihan tepat—selain karena kapten tim. Steve Mandanda merupakan bagian dari skuad finalis Liga Eropa 2018 bersama Olympique Marseille. Di pilihan ketiga, ada Alphonse Areola yang merupakan penjaga gawang utama Paris Saint Germain—klub dominan di Ligue 1 (liga utama Perancis).
Merambah ke lini belakang, memang Perancis gagal membawa salah satu bek terbaiknya yang juga sudah berpengalaman, yaitu Laurent Koscielny. Sang pemain gagal tampil di Piala Dunia karena harus cedera saat berkiprah bersama klubnya Arsenal di Liga Primer Inggris—EPL. Namun Deschamps tidak khawatir, karena masih ada beberapa pemain yang fantastis di lini belakang. Sebut saja Raphael Varane, Samuel Umtiti, Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez yang menggaransi skuad inti. Di skuad cadangan pun, mereka masih memliki pemain-pemain belakang berkelas, seperti Adil Rami yang juga rekan se-klub Mandanda, lalu ada Presnel Kimpembe, Djibril Sidibe, dan bek baru Manchester City Benjamin Mendy.
Skuad lini tengah Perancis pun tak main-main, meskipun kita tak lagi melihat aksi Dimitri Payet seperti di final EURO CUP 2016. Di sini kita melihat Paul Pogba, N’Golo Kante, Corentin Tolisso menjadi skuad inti di awal laga melawan Australia di fase grup. Sebelum akhirnya masuklah Blaise Matuidi menggantikan Tolisso yang pada akhirnya dinilai pergantian ini lebih positif bagi Perancis sampai melaju ke final. Ini menjadi contoh, bagaimana sang pelatih berhasil beradaptasi dengan cara permainan timnya dengan merubah susunan pemain inti karena memang ada pilihan yang lebih tepat, dan pelatih mampu segera mengambil keputusan. Selain empat pemain tersebut, juga ada Steven N’Zonzi, dan Thomas Lemar.
Melangkah ke depan, kita memulai dari duo penyerang sayap yang berhasil mencetak banyak gol untuk Perancis, yaitu Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann. Keduanya adalah pilar dan sumber utama penghasil gol sekaligus tampil maksimal setelah membawa klubnya masing-masing berprestasi—Mbappe bersama PSG meraih treble winners dan Griezmann berhasil merengkuh trofi Europa League 2018 bersama Atletico Madrid. Lalu di depan ada ujung tombak Olivier Giroud yang di awal tahun 2018 harus menyeberang ke Chelsea dari Arsenal. Meskipun, si pemilik nomor 9 ini gagal membobol gawang lawan di 7 laga yang dilakoni Perancis. Pemain bertubuh tinggi besar ini tetaplah menjadi bagian kunci dari keberhasilan Perancis menjuarai Piala Dunia. Kehadiran sang pemain dianggap menjadi bagian dari bagaimana pelatih mampu menempatkan pemain dengan ketepatan dari perannya saat di lapangan. Terbukti, keberadaan Giroud pasca laga pertama yang tanpa dirinya sedari menit awal, mampu memperbaiki performa Perancis secara tim di laga-laga selanjutnya. Keberadaan pemain yang pernah mencetak gol dengan gaya Kalajengking (Scorpion Kick) ini, dapat membuat pergerakan Griezmann dan Mbappe lebih bebas dan mampu mengekplotasi lini belakang lawan dengan pergerakan dengan bola dari tengah lapangan sampai ke dalam kotak penalti lawan. Di skuad cadangan pun masih ada Florian Thauvin, Nabil Fekir dan winger milik Barcelona Ousmane Dembele.

Dari gambaran skuad tersebut, kita dapat menangkap adanya keberhasilan Deschamps dalam berjudi soal merubah susunan pemainnya, selain berdasarkan kebugaran pemain, juga karena penurunan kualitas pemain yang berhasil diatasi dengan pemilihan pemain baru yang tepat dari skuad 2016. Selain itu, juga kejelian Deschamps dalam melihat pemain-pemain yang sedang on-fire bersama klub-klubnya setidaknya ikut andil dalam keberhasilan klubnya meraih hasil positif. Kita dapat melihat dengan adanya Mandanda, Areola, Varane, Umtiti, Hernandez, Kante, Matuidi, Griezmann, Tolisso, Rami, Thauvin, Dembele juga Mbappe. Lalu soal pengalaman, kita bisa melihat pada keberadaan Lloris, Giroud, dan Pogba yang tentu menggaransi skuad inti. Termasuk pemanfaatan pemain-pemain yang secara kualitas individu sedang melonjak seperti Fekir, N’Zonzi dan Pavard. Juga mencoba melakukan investasi tenaga baru yang mungkin nanti dapat kesempatan membela Perancis di Euro 2020 nanti, seperti Kimpembe, Lemar dan Mendy.

Perancis Juara! sumber gambar: (SINDOnews.com)

Menyinggung kembali soal bagaimana Perancis menjadi juara adalah saat mereka harus mengalahkan tim yang kekuatan utamanya di lini tengah seperti Kroasia. Pertama, Perancis harus solid lini belakangnya, artinya dalam bertahan para pemain yang bertahan tak cuma 4 defenders-nya saja, tapi juga 6 pemain di depan bek-bek tersebut turut andil dalam bertahan. Jika, 4 bek akan melakukan zona marking dibantu dengan 1-2 pemain tengah. Maka, 2-3 pemain depan akan melakukan man-to-man marking. Di sanalah, letak keberhasilan utama Perancis dalam menaklukan tim yang mampu menguasai bola seperti Kroasia—suatu hal yang nyaris mirip dengan permainan Belgia di fase semifinal. Kunci selanjutnya adalah memainkan counter-attack. Memiliki dua pemain yang mampu menggiring bola seperti Griezmann dan Mbappe jelas sangat menguntungkan bagi Perancis dalam membangun serangan cepat ke area pertahanan lawan. Belum lagi adanya dukungan dari Matuidi dan Pogba, serta dua full-back Hernandez dan Pavard. Di saat serangan balik pun, Perancis melakukan apa yang dilakukan saat bertahan. Yaitu mengirim pemain sebanyak-banyaknya dan sesegera mungkin untuk menggempur pertahanan lawan. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya dua gol Perancis di babak kedua. Bagaimana saat pembangunan serangan, Pogba pun langsung ikut merangsek naik dan kemudian berhasil mendapatkan kesempatan untuk menendang bola sekaligus menaklukan penjaga gawang lawan. Dari dua poin tersebut dapat disimpulkan dengan dua hal juga, yaitu kecepatan transisi dan kekompakan dalam bermain—saat bertahan maupun menyerang.

Sebenarnya ada faktor lainnya, yang menurut penulis secara pribadi adalah bonus bagi Perancis. Yaitu, menurunnya stamina para pemain Kroasia yang harus bermain 120 menit di fase semifinal—mungkin membuat permainan Krosia khususnya dalam bertahan tak lagi sekuat saat bermain melawan Inggris. Pendapat ini sebenarnya disampaikan oleh seorang komentator sepakbola di televisi domestik yang menyiarkan langsung laga ini. Selain itu juga adanya pendapat tentang fokus Kroasia sudah sepenuhnya full offensive, sehingga cenderung tak siap ketika harus menghadapi serang cepat Mbappe dkk yang terus menggelora bahkan sampai menit-menit akhir laga. Catatan lainnya, juga menurunnya performa Subasic yang di laga ini sering gagal mengantisipasi arah bola ke gawangnya. Untuk poin tambahan dari penulis tentang permainan Kroasia khususnya di babak kedua adalah mereka tidak memiliki strategi lain selain menguasai bola penuh di area permainan lawan. Harapannya, mereka dapat membuat semacam strategi jebakan. Yaitu, membuat strategi mengalirkan bola menjauhi area permainan lawan, agar para pemain lawan keluar dari zona sendiri. Sehingga, ada bola-bola direct pass yang diarahkan langsung ke Mandzukic atau Perisic yang memiliki cukup kecepatan dalam mengejar bola. Dari sinilah, bisa diuji bagaimana kemampuan duet Umtiti-Varane dalam mengantisipasi hal tersebut. Meskipun sebenarnya, hal ini sudah dilakukan oleh Kroasia dalam beberapa percobaan dan sayangnya gagal. Karena terbukti bahwa kedua pemain tersebut plus Paul Pogba nyaris selalu mampu memotong operan bola lambung dari Kroasia. Hal ini membuat kreativitas permainan Kroasia berhenti pada batas aliran bola-bola datar yang memang cukup rapi dan merepotkan. Namun, sulit menembus pertahanan berlapis dari Perancis.

Jadi, secara keseluruhan, permainan di laga final tersebut (menurut penulis) telah dikendalikan oleh timnas Perancis—meskipun tidak menguasai bola secara dominan, dengan strategi bermain yang nyaris sama dengan saat mengalahkan Belgia di semifinal (bisa cek review sebelumnya di http://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/07/review-piala-dunia-2018-chapter-7.html). Sedangkan bagi Kroasia ini adalah momentum keberhasilan mereka (meski tanpa piala) untuk membuktikan bahwa timnas ini tidak lagi dianggap remeh, melainkan harus diperhitungkan. Khususnya di Piala Eropa yang akan digelar 2020 nanti.

Situasi Paris pasca timnas Perancis Juara (BolaTimes.com)

“Selamat buat timnas Perancis yang telah berhasil merengkuh trofi Piala Dunia yang kedua kalinya!”

“Selamat juga buat timnas Kroasia yang berhasil membuat rakyat Kroasia bersukacita menyambut kepulangan timnas kebanggaannya!”


sumber gambar: Pertamax7.com

Mari kita nantikan apa yang akan terjadi 4 tahun ke depan, ketika Piala Dunia 2022 akan digelar di Qatar.

Keep fair play and respect to loving football!

Comments

Popular Posts