BESARNYA PERAN DAN KONSEKUENSI
Kapten Sepak bola, Wasit, dan Presiden
“Bukan hal mudah, memiliki peran yang penting.”
Part 1 (Kapten Sepak bola)
Pada kesempatan malam yang dingin di tengah-tengah musim
kemarau (banyak nyamuk), penulis tergelitik untuk mengangkat kisah tentang tiga peran besar
yang cukup dekat dengan jangkauan masyarakat awam termasuk pribadi dan khususnya bagi penduduk di Indonesia. Semoga ini menjadi sumbangsih positif bagi para pembaca yang budiman dan betah menyelami blog-blog swasta seperti ini. Hehehe...
Perjalanan ini akan dimulai dari kapten sepak bola lalu nanti akan dilanjutkan dengan figur wasit atau pengadil di lapangan sepak bola. (harapannya) Ditutup manis dengan pembahasan tentang presiden. Ya! figur pemimpin besar bagi setiap negara republik yang selalu berharap dapat memakmurkan rakyat dan alamnya.
So, let's check it out!
By the way, mengapa memilih kapten sepak bola?
Dewasa ini, kita khususnya masyarakat Indonesia sudah
sangat menggilai salah satu olahraga yang memang diakui sangat terkenal di
dunia ini, yaitu sepak bola. Memanfaatkan momentum yang masih belum terlanjur
jauh dari Piala Dunia kemarin juga termasuk alasan mengapa menyebutkan “kapten
sepak bola”. Mungkin seandainya kita sedang dalam masa Perang Dunia kedua 1945
lalu, kita akan lebih cenderung membahas bagaimana sepak terjang seorang
jenderal perang, panglima, komandan tempur, dan sebutan-sebutan lain yang
identik menggambarkan peperangan senjata yang dapat menewaskan banyak orang dan
bahkan menghancurkan sebuah wilayah.
![]() |
Selebrasi Puyol (kapten Barcelona) dan Iniesta (bw edited) |
Ya, menjadi kapten sepak bola atau yang bisa disebut
kapten kesebelasan (jumlah pemain sepakbola dalam satu tim di dalam lapangan
adalah 11 orang termasuk seorang kapten), bukanlah peran mudah. Tugasnya tak
lain tak bukan adalah memimpin rekan setim untuk dapat memenangkan
pertandingan. Selain itu, seorang kapten juga diharapkan mampu menjadi jembatan
komunikasi antara pemain lain dengan pelatih. Biasanya berupa instruksi dari
pelatih yang dapat ‘diterjemahkan’ oleh kapten saat bermain bersama
rekan-rekannya. Seorang kapten juga berpengaruh dalam memberikan ‘pressing’ terhadap permainan tim lawan,
baik itu melalui gaya kepemimpinannya maupun cara bermainnya. Biasanya seorang
kapten akan memiliki kharisma (hampir menjadi syarat mutlak seorang pemimpin di
bidang apapun), dan memiliki kemampuan yang pemain lain tidak memilikinya.
Selain itu, kapten kesebelasan juga identik dengan pengalaman bermainnya di tim
tersebut yang lebih banyak, sehingga dianggap sudah mengenali seluk-beluk tim
tersebut maupun atmosfer kompetisi.
Namun, tak semua pemilihan kapten kesebelasan itu 100%
tepat. Mengapa?
Tapi, sebelum mengarah ke alasan tentang kekurang-tepatan
dalam memilih kapten tersebut, ada baiknya kita mengetahui dulu tentang siapa
yang berhak memilih seorang kapten di dalam sebuah tim sepak bola. Seorang
kapten seperti yang sudah disinggung di paragraf sebelumnya, bahwa perannya
adalah menjadi translator taktik dari pelatih ke rekan-rekannya, maka seorang
kapten biasanya akan ditentukan oleh pelatih. Alasannya, kedekatan antara
pelatih dan sang kapten harus ada. Agar ada keseragaman dalam berdiskusi maupun
pengimplementasian strategi bermain dapat ditemukan. Keseragaman di sini bukan
berarti tak ada pro-kontra soal bagaimana menyusun taktik, melainkan kedua
pihak sudah memahami maksud dan gaya masing-masing (gaya kepelatihan dari
pelatih dan gaya bermain pemain dan timnya). Lalu, pemilihan kapten juga dapat
ditentukan oleh persetujuan komunal di dalam tim. Artinya, semua pemain bahkan official dan manajer tim atau mungkin
presiden tim tersebut, juga berhak menentukan siapa yang pantas menjadi kapten
tim. Hal ini, sudah mulai sering dilakukan di era sekarang. Selain itu, seorang
kapten juga dapat dipilih oleh suporter dan penggemarnya. Cara ini biasanya
menjadi ajang untuk mengapresiasi peran para pendukung untuk juga merasa
memiliki klub tersebut dan bertanggungjawab atas pilihannya. Hm... mirip Pemilu
dan Pilkada. Hehehe...
Nah, setelah tahu siapa orang-orang yang berada di
belakang keputusan munculnya seorang kapten kesebelasan tersebut, kita langsung
ke konsekuensi-konsekuensi dari pemilihan seorang kapten. Seperti yang sudah
disebut sebelumnya, bahwa seorang kapten di dalam sebuah tim tak selamanya
jatuh ke lengan (tulisan kapten disematkan di lengan) pemain yang tepat. Ada
beberapa faktornya.
Faktor
pertama adalah gaya
kepemimpinan. Tak semua pemain memiliki cara yang sama dalam memimpin
rekan-rekannya di dalam lapangan maupun di luar—kita jarang tahu itu. Ambil
contoh mantan kapten sekaligus mantan pemain Barcelona, yaitu Carles
Puyol. Puyol dikenal sebagai pemain bertahan yang beringas namun disiplin,
dan fair dalam bermain. Mungkin
pemain inilah yang tidak bisa berpura-pura kesakitan jika mengalami benturan
dengan pemain lawan. Apalagi di pertandingan El Classico—belum saatnya dijelaskan. Dia pun mampu menggalang
pertahanan dengan baik dan berupaya membentuk kemampuan bermain pemain lainnya
agar menjadi hebat kepada penerusnya. Contohnya, Gerard Pique yang secara fisik lebih tinggi dan lebih muda pada
saat itu. Secara kharismanya dan kemampuan bermain, khususnya menggalang
pertahanan tangguh untuk melindungi Victor
Valdes adalah hal yang tak bisa diragukan lagi. Namun, sosok seperti Puyol
ini tak banyak. Bahkan, seiring berjalannya waktu semakin langka. Hal ini
dikarenakan pemain seperti Puyol ini hanya fokus dalam bermain sebagai tim,
bukan sebagai individu yang dapat dikenal karena hal lain. Sehingga, pamor
Puyol pun akan sedikit berbeda jika disandingkan dengan pemain lain. Misalnya, Wayne Rooney muda kala itu, atau Ruud van Nistelrooij yang lebih dikenal
sebagai pemain depan yang haus gol dan sering dijadikan sebagai pemain idola.
Sedangkan pemain seperti Puyol, meskipun perannya sebagai kapten dan bek
Barcelona dan Spanyol luar biasa, namun seperti kurang menarik. Apalagi jika,
sosok seperti Puyol harus bermain di era sekarang yang sangat dekat dengan branding dari sebuah tim yang berpangku
pada seberapa hebat pemainnya saat di dalam maupun di luar lapangan. Kehebatan
ini bisa jadi masih dalam hitungan kemampuan bermain sepak bola maupun bukan.
Seperti Cristiano Ronaldo misalnya,
atau Zlatan Ibrahimovic.
Mengenai gaya kepemimpinan (kharisma dan skill), menurut pribadi ada beberapa
sosok yang memang pantas menyandang gelar sebagai kapten tim. Yaitu, Carles
Puyol, Paolo Maldini (AC Milan), Jamie Carragher (Liverpool), Javier Zanetti
(Inter Milan), dan Patrick Vieira (Arsenal).
Apakah di Indonesia ada?
Tentu ada. Sebut saja namanya, Bejo Sugiantoro, Bima
Sakti, Fabiano Beltrame, alm. Choirul Huda dan Bambang Pamungkas.
Faktor
kedua adalah karakter pemain
dan bermainnya. Di sini penulis mungkin lebih condong pada bagaimana pemain
tersebut dikenal sebagai pemain yang bengal. Karakter seperti ini menariknya
juga dipilih sebagai kapten tim. Entah alasannya apa, namun mungkin dengan
karakter bengal, maka dia bisa membela rekan-rekannya saat berada di dalam
situasi sulit. Maklum, orang bengal cenderung suka membela diri dengan dalih
kebenarannya sendiri. Jadi, kapten yang seperti ini juga bisa jadi cocok. Namun,
bisa menjadi bumerang negatif ke tim dan rekan-rekannya juga, selain ke lawan,
wasit dan lainnya. Contoh kapten yang dikenal dengan karakter uniknya, namun
memang layak menjadi kapten adalah Gennaro
Gattuso (AC Milan), Marco Materazzi
(Inter Milan), Eric Cantona dan Roy Keane (Manchester United), Sergio Ramos (Real Madrid), serta
Zlatan Ibrahimovic (Paris St. Germain). Ada konsekuensi dalam pemilihan kapten
dengan faktor semacam ini. Yaitu, harus bisa meminimalisir adanya perdebatan
antara figur lain (pemain yang juga pantas menjadi kapten) dengan pemain
tersebut. Apalagi ditunjang dengan faktor kemampuan bermain yang hebat, pasti
akan membuat siapapun akhirnya tak ragu untuk menaruh ban kapten ke lengan
pemain tersebut.
Di Indonesia juga ada pemain yang seperti itu meski tak
banyak, salah satunya adalah Hamka Hamzah. Dia adalah pemain bertahan yang tak
hanya berkualitas namun juga tak segan untuk memancing intrik dengan pemain
lawan khususnya pemain depannya. Kualitas pemain ini pun juga sudah tak perlu
diragukan lagi, apalagi dalam memimpin rekan setim.
Faktor
ketiga adalah kemampuan
bermain (skill individu) mumpuni dan
seringkali menjadi tumpuan bermain bagi timnya dalam memenangkan pertandingan.
Dewasa ini, semakin banyak kapten tim yang dipilih (seperti) karena faktor ini.
Tak hanya di level klub, namun juga di level tim nasional. Sosok-sosok tersebut
bukannya berarti tak pantas untuk menjadi kapten tim. Namun, lebih tepatnya
adalah belum saatnya atau bisa jadi masih ada pemain lain yang sebaiknya
memegang peran tersebut. Bagi penulis, menaruh kepercayaan menjadi kapten ke
pemain yang sudah mengandalkan skill
individunya untuk mendongkrak permainan tim, sama saja menambahkan beban yang
tidak semua pemain hebat itu sanggup mengembannya. Memang, mau tidak mau pemain
tersebut harus mengenakan ban kapten tersebut dan mungkin juga menjadi motivasi
bagi dirinya untuk mendongkrak mentalitasnya—tak hanya abilitasnya. Tapi,
menjadi bumerang negatif ketika pemain yang sudah menjadi bintang tersebut
sedang berada di masa meredup. Baik itu di satu pertandingan maupun di beberapa
pertandingan. Maka, bisa kemungkinan muncul masalah pada tim tersebut. Yaitu,
turunnya kepercayaan diri tim dalam bermain yang membuat mentalitas tim anjlok
dan hasilnya bisa jadi malah menuai kekalahan. Rumit bukan?
Mari bayangkan, ketika di tim nasional seperti Belgia yang memiliki Jan Vertonghen dan Vincent Kompany di dalam skuadnya dan bahkan masih jadi pilihan
utama di starting line-up, justru
tidak mendapati salah satu dari mereka menjadi kapten. Kaptennya justru Eden Hazard—dengan segala hormat, yang
sudah harus mendongkrak permainan tim dengan kemampuan individunya masih juga
mengemban amanat untuk memimpin rekan-rekannya. Apa yang terlihat? Justru Jan
Vertonghen dan Kompany yang beberapa kesempatan terlihat memberikan instruksi
ke rekan-rekannya dibandingkan Hazard yang lebih banyak menunduk memikirkan
strategi menyerang dengan kemampuannya menggiring dan menggocek bola. Hal ini
juga terjadi di kubu Argentina,
ketika kaptennya adalah Lionel Messi,
bukan Javier Mascherano yang memang
hanya dialah (menurut pribadi) yang pantas menjadi kapten sebelum Messi di
Argentina setelah tak ada lagi Javier Zanetti dan figur-figur lainnya. Mungkin Ever Banega cukup mendekati kriteria
sebagai pemimpin di atas lapangan. Perannya sebagai playmaker di lini tengah akan cukup membantu dirinya dalam melihat
situasi secara luas di tim lawan (bagaimana pergerakan dalam bertahan maupun
menyerang). Pemain tengah pun tak akan kesulitan untuk berkomunikasi
dengan rekan setim di jantung pertahanan sendiri maupun di jantung pertahanan
lawan. Hal ini akan menjadi kekurangan bagi pemain depan yang menjadi
kapten. Apalagi jika dia adalah pemain bintang yang otomatis menjadi fokus bagi
pemain lawan untuk dikunci pergerakannya. Akhirnya, minim kesempatan untuk
berbagi informasi dan taktik dengan rekan-rekannya kecuali saat jeda
pertandingan. Halangan semacam ini yang seringkali menjadi sandungan bagi
kapten-kapten yang berada di posisi depan dan kesulitan untuk mendapatkan support dari rekan-rekannya. Tugas
mereka tak hanya memimpin, tapi mencetak gol dan sebisa mungkin membuat timnya
menang (karena tanggung jawab utamanya masih berkaitan dengan menghasilkan
gol).
Contoh dari pemain yang menjadi kapten karena skill individunya yang melahirkan
kontribusi besar bagi tim adalah Lionel Messi (Argentina), Eden Hazard (Belgia
dan Chelsea), Robert Lewandowski
(Polandia), Radamel Falcao
(Kolombia) dan Cristiano Ronaldo (Portugal). Terkhusus pada Cristiano Ronaldo,
dia bisa menjadi cukup pantas di Portugal karena dia memang sudah terlanjur
mendominasi dari segala aspek di tim nasional (timnas) Portugal. Kemampuan
individu, pengalaman, dan tak sungkan untuk turut memompa semangat
rekan-rekannya dengan terekam kamera tentunya tentu menjadi nilai plus bagi dirinya dan untuk timnya. Hal
ini menjadi lumrah ketika Portugal memilih Cristiano Ronaldo sebagai kapten.
Siapa lagi? Joao Moutinho? Bruno Alves? Ricardo Quaresma? Atau Pepe?
Dengan segala hormat mungkin bukan mereka. Sehingga memang belum ada pilihan
lain yang tepat selain mantan pemain Sporting Lisbon, Manchester United dan
Real Madrid tersebut.
Situasi Cristiano Ronaldo hampir mirip dengan situasi
Boaz T. Solossa di Persipura maupun di Timnas Indonesia. Kualitas individu,
pengalaman dan kharismanya sudah tak ada lagi yang menandingi saat ini. Di
timnas sudah tak ada Bambang Pamungkas dan Charis Yulianto. Di Persipura sudah
tak ada lagi Jendri Pitoy. Mungkin yang nyaris setara adalah Ricardo Salampessy
yang juga masih aktif bermain. Selain itu, mutlak adalah Boaz Solossa. Dan
pemain seperti ini ketika menjadi kapten akan sangat berpengaruh positif bagi
mentalitas tim maupun individunya. Namun, ketika pemain tersebut tak ada, maka
akan ada sedikit guncangan yang terjadi di dalam tim tersebut. Ya, karena
mereka sudah terbiasa memiliki figur yang dominan dan diakui kehebatannya.
Lalu
yang terakhir adalah faktor pengalaman dan posisi bermain di area pertahanan
sendiri. Menjadi kapten karena faktor pengalaman memang menjadi kewajaran
yang nyaris sulit diganggu gugat. Bagaimana rasanya melihat pemain berusia 23
tahun memimpin sebuah tim di saat di tim tersebut masih ada pemain berusia
35-38 tahun? Terlihat unik bukan? Hal ini memang bukan hal yang terlalu asing
tapi masih jarang. Karena, ada syarat untuk dapat melakukannya. Yaitu, si
pemain senior adalah pemain yang sudah jarang mengisi starting eleven. Jadi, mau tak mau kapten harus dipegang oleh
pemain yang lebih muda dan mengisi formasi skuad utama. Seperti Gary Cahill di Chelsea saat John Terry
masih bermain namun sudah bukan lagi pilihan utama. Dan hal inilah yang jarang
dilakukan, sehingga publik seolah-olah sudah mengamini bahwa pemain yang sudah
senior maka seyogyanya menjadi kapten di tim tersebut. Apalagi jika pemainnya sudah
bermain cukup lama di tim tersebut. Baik itu di level klub maupun di level
timnas. Sebut saja Francesco Totti
(AS Roma), Gianluigi Buffon
(Juventus dan Italia), Iker Casillas
(Real Madrid dan Spanyol), Steven
Gerrard (Liverpool), John Terry
(Chelsea), Rafael Marquez (Meksiko),
El Haddary (Mesir), dan nyaris semua
kapten di tim nasional maupun klub sepak bola adalah pemain senior di tim
tersebut. Entah lama bermainnya di satu tim itu saja, maupun lamanya bermain
secara keseluruhan—berkarir.
![]() |
Zanetti dan Maldini (sempremilan.com) |
Pilihan selanjutnya adalah posisi bermain di area
pertahanan sendiri. Bisa bek atau kiper. Bahkan bisa juga gelandang bertahan.
Tiga posisi di area pertahanan ini paling banyak dipilih sebagai kapten,
mungkin dikarenakan ada faktor komunikasi dan kemampuan mereka mengamati
situasi permainan dari sudut pandang jauh. Sehingga, bisa menarik kesimpulan
terhadap strategi yang digunakan lawan dan menemukan ide untuk langkah
antisipasi dan mengalahkan lawan. Penjaga gawang dipercaya menjadi kapten
karena dirinya mirip seperti pelatih dan kru pelatih lainnya. Yaitu, dapat
melihat permainan dari jarak cukup jauh. Tapi, hal ini dengan catatan bahwa
timnya sedang menyerang. Sehingga, selama rekan-rekannya menyerang, dia akan
mengamati permainan lawan baik itu saat bertahan maupun ketika mereka hendak
memulai transisi ke menyerang. Bonus semacam ini jelas tak ada yang bisa
memilikinya selain kiper atau penjaga gawang. Hanya saja, perlu pengalaman dan
kemampuan mengkomunikasikan apa yang sudah dilihatnya ke dalam bentuk
rekomendasi taktik ke pelatih dan rekan-rekannya.
Selanjutnya, pemain bertahan atau bek, sebutan
internasionalnya adalah defender.
Pemain di sini sebenarnya juga mirip dengan apa yang dialami oleh kiper. Namun,
yang menjadi titik keunggulannya adalah kejeliannya dalam melihat strategi
menyerang lawan dan kemampuannya menggalang pertahanan dengan rekan
sebarisannya untuk dapat menggagalkan penyerangan lawan. Ini menjadi kelebihan
kapten dari posisi bek, karena dia sudah terbiasa mengajak rekan-rekannya untuk
dapat bermain sesuai dengan taktik. Contoh mudahnya adalah menyusun strategi off-side. Meskipun terlihat gampang,
namun membuat garis off-side tidaklah
mudah. Karena perlu adanya komunikasi yang tepat dan telah disetujui oleh
rekan-rekannya. Caranya seperti menjadikan dirinya sebagai patokan pergerakan
untuk menjebak off-side lawan. Dari
kebiasaan begini, dapat menjadikan pemain bertahan terlatih untuk membangun
kerjasama dengan atau tanpa bola.
Tak sedikit juga pemain gelandang bertahan yang juga
menjadi pilihan untuk menjadi kapten kesebelasan. Kelebihannya adalah mampu
melindungi pertahanan dan mampu menjadi titik awal membangun serangan. Mampu
melihat posisi rekan-rekannya dan tentunya mampu membagi bola. Selain itu
pemain gelandang bertahan juga biasanya akan sering berhadapan dengan gelandang
kreatif lawan yang mampu membangun serangan, sehingga dia akan dituntut untuk
mampu mencari langkah antisipasi menghadang laju bola. Kemampuan memotong alur
serangan secara tersirat mengharuskan seorang gelandang bertahan memiliki
kepekaan terhadap gaya permainan dan pergerakan lawan, baik dengan atau tanpa
bola. Xavi Hernandez, Patrick Vieira, Yaya Toure, Jordan Henderson,
adalah di antara beberapa pemain gelandang bertahan yang dipercaya menyandang
ban kapten.
Namun, pilihan di sini juga bukan tanpa resiko. Meskipun resikonya
tidak terlalu terasa bagi pecinta sepak bola yang level gibolnya memang
berdasarkan kontribusi pemain terhadap tim, bukan yang levelnya masih sekedar
suka. Apalagi yang sekedar ikut-ikutan atau yang masih mengandalkan topik
terhangat saja (siapa pemain yang sedang viral). Mengapa demikian? Karena justru
dengan faktor yang terakhir inilah, kita secara tersirat diajarkan untuk dapat
menumbuhkan respect terhadap pemain
dan mampu menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang kapten tidaklah hanya
bermodalkan kemampuan mencetak gol dan menggiring bola, namun lebih dari itu. Dan
tak semua pemain hebat memilikinya. Karena untuk menjadi kapten perlu
pendewasaan sikap dan kematangan jam terbang dalam menghadapi banyak
permasalahan baik di dalam maupun luar lapangan. Bahkan banyak
kapten-kapten yang sebenarnya, justru terlihat tak banyak bergelimang gelar
individu. Mentok-mentok adalah man of the
match di setiap pertandingan. Tapi justru itulah bukti nyata dari kehebatan
mereka.
Resiko atau nilai minus
lainnya dari pemilihan ini mungkin akan dirasakan oleh sang pemain, yaitu
dilema untuk pensiun dan dilema ketika ingin dihargai lebih oleh tim yang telah
lama dibela. Ya, yang terakhir ini bisa terjadi karena mereka sudah terlanjur
menjadi pemain yang seolah-olah seperti “Raja Tanpa Mahkota”, sehingga mereka
pun tak mampu untuk merajuk agar mendapatkan mahkota meski mereka sebenarnya
sangat pantas untuk mendapatkannya setelah mereka lengser—gantung sepatu.
![]() |
Selebrasi juara Piala Dunia 2010 Iker Casillas (lamanodedios.com) |
Nah, demikian pembahasan tentang figur kapten di sepak
bola yang nantinya akan kita korelasikan bersama dengan figur lainnya di part selanjutnya. See you!
Comments
Post a Comment