ASIAN PARA GAMES 2018
Bukti Semua Orang Punya Kesempatan Sama
“Pelita lainnya yang menuntun kita untuk bersatu (lagi)”
—Konflik sepakbola nusantara tiada akhir.
![]() |
poster opening ceremony Asian Para Games 2018 (twitter.com/asianpg2018) |
Nyaris semua orang (yang memiliki kesempatan) telah menyaksikan opening ceremony di Asian Para Games 2018 (6/10), yang dilaksanakan di tempat yang sama dengan opening dan closing ceremony Asian Games 2018, yaitu di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta Indonesia. Kita di sini telah disuguhkan upacara dengan tema tradisional yang elegan (dihiasi juga dengan background siluet wayang yang ‘mempersembahkan’ api Asian Para Games ke langit di momen-momen akhir). Pembukaan kali ini memang lebih kuat unsur api dibandingkan unsur-unsur lainnya. Hal ini mungkin upaya untuk memberikan pengaruh psikologis kepada kita, bahwa olahraga adalah sumber semangat yang dapat dimiliki oleh siapapun, termasuk mereka yang menyandang status disabilitas. Sesuatu yang memang terpampang di sampul manusia-manusia yang sebenarnya justru memiliki kelebihan yang terkadang tidak dimiliki oleh manusia-manusia yang terlihat normal.
![]() |
Presiden RI Jokowi bersama Bulan (twitter.com/jokowi) |
Disabilitas atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Disability, adalah simbol yang diangkat di akhir upacara pembukaan tersebut. Kata tersebut muncul di panggung arena GBK yang kemudian ‘disulap’ menjadi Ability dari aksi memanah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) bersama Bulan—anak perempuan yang memiliki kesempatan luar biasa untuk dapat bertemu dan sepanggung dengan orang nomor satu di Indonesia tersebut. Dari sanalah, mereka (para penyandang disabilitas) khususnya para atlet yang turun ke gelanggang olahraga multicabang seperti Asian Para Games ini ingin membuka mata kita, bahwa mereka tetap memiliki abilitas. Mereka juga tetap memiliki kesempatan yang sama seperti atlet-atlet Asian Games kemarin untuk mengharumkan Indonesia, tanah tercintanya. Negeri yang sedang dan masih berada dalam keadaan yang belum stabil ini.
Belum stabil, karena seringkali cekcok dalam hal-hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Seperti perdebatan di media sosial yang dewasa ini semakin besar dan pelik. Hal ini tak lepas dari kurang sinkronnya hubungan antara pihak yang mewakili rakyat dengan rakyat itu sendiri. Beberapa aksi yang mengecewakan bagi rakyat dari wakil rakyat telah menyulut kobaran api baik di media sosial maupun di emperan gedung-gedung penting di setiap daerah. Kedua belah pihak masih saling mencari pembenaran dengan perspektif dan posisinya masing-masing, membuat solusi susah ditemukan. Begitu pula di arena olahraga Indonesia saat ini.
Belumlah lama kita berduka, ketika sepakbola nusantara kembali menumbangkan nyawa di saat Indonesia secara keseluruhan juga berduka besar saat bencana alam terus berdatangan. Sepakbola yang seharusnya melahirkan spirit untuk membangun persatuan khususnya saat bencana alam sedang melanda, justru melahirkan bencana sendiri (menambah pusing) yang membuat semua orang kebingungan dan saling mencela satu sama lain karena merasa paling benar. Tak ada yang mampu melerai dengan jaminan tak akan ada lagi perseteruan, karena lembaga yang diandalkan untuk menaungi persepakbolaan di Indonesia justru sedang asyik diisi oleh orang yang duduk di dua kursi yang berseberangan. Satu olahraga, satu politik. Mana bisa? Bisa, karena ada kekuasaan yang terlewat berlebih dan berhasil mengakomodir kepercayaan-kepercayaan yang mencurigakan.
Dari fenomena inilah, kita yang tidak menyandang disabilitas seharusnya malu kepada kita yang menyandang disabilitas. Kita terlewat berlebih dalam berlomba-lomba mengeruk keuntungan demi mencapai kesuksesan pribadi. Segala bidang berusaha dikangkangi dengan istilah “apa hak anda?”, seolah-olah tak sadar bahwa hak jurnalis adalah bertanya—apapun itu. Karena jika wakil rakyat yang duduk di parlemen-parlemen sudah lupa daratan, jurnalislah satu-satunya pihak terakhir yang dapat menyelamatkan aspirasi masyarakat. Khususnya masyarakat olahraga dan khususnya sepakbola—sering menghadirkan banyak masalah, yang minim prestasi.
Di saat sepakbola kaum ‘normal’ terus ‘keasyikan bergejolak’, momen Asian Para Games hadir untuk menyejukan suasana setelah Asian Games berlalu dan telah menghadirkan beragam viral di sosial media. Sebenarnya kita sama-sama tahu bahwa Indonesia di beberapa bagian sedang dilanda kemarau panjang, namun bukan berarti menghadirkan suasana panas pula di hati dan pikiran. Cukup kulit dan rambut kita yang tersengat panasnya hawa ini, jangan yang lain. Tetap tentramkan hati, jaga pikiran untuk tetap fokus mencari jalan untuk menuju keberhasilan negeri ini dalam merawat persatuan dalam keberagaman.
![]() |
(asiangames.tempo.co) |
Dari momen Asian Para Games yang berlangsung dari 6 Oktober – 13 Oktober 2018 ini diharapkan dapat menjadi ajang instropeksi diri bagi individu-individu yang gagal menunjukan sumbangsih positif kepada negeranya. Jangan lagi hanya mencela satu sama lain, jangan lagi mudah mendebatkan hal-hal yang sepele yang bahkan tidak menempatkan kita sebagai aktor penting di sana. Misalnya perdebatan fans sepakbola klub luar negeri namun berada di forum yang tidak diketahui oleh orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap klub tersebut. Buat apa mati-matian membela klub negara lain, ketika klub di negara sendiri masih sangat membutuhkan kepedulian yang positif dari diri kita masing-masing.
![]() |
Medali Asian Para Games 2018 (sports.rakyatku.com) |
Kita memang sudah sama-sama tahu bahwa olahraga kita masih sulit untuk berkembang dan berprestasi secara konsisten saat bertarung di ajang internasional—kecuali bulu tangkis yang masih cukup konsisten berbicara di ajang internasional. Namun, hal ini dapat dicarikan solusinya jika kita sama-sama fokus untuk memajukannya secara satu. Yaitu, Indonesia. Sudah sangat jelas bahwa bendera kita adalah Merah-Putih, tak ada yang lain. Itu yang seharusnya ditekankan dalam mindset kita.
Agar ketika ada permasalahan apapun, kita menyelesaikannya berdasarkan apa keuntungannya untuk negeri ini, bukan untuk kepentingan pribadi. Kalau berbicara kepentingan pribadi, semua pasti akan berlomba-lomba untuk saling tikam di mana saja. Itu normal jika kita memang berlomba untuk hidup enak sendiri; meski realitanya enak untuk keluarganya masing-masing juga. Namun, kita ini sedang berbicara aksi untuk persatuan. Artinya, kalau memang ada suara besar meminta mundur, ya mundur.
Apa alasannya? Jangan campur adukan urusan bidang satu dengan bidang lain! Usaha semacam itu tak akan pernah maksimal. Karena, ketika posisi kita terbagi, fokus kita terbagi, maka segala dorongan besar yang muncul adalah kompromi. Kompromi memang bagus untuk menekan ego yang berlebih, namun kompromi akan menjadi negatif ketika itu menghancurkan kepatuhan kita terhadap aturan yang sudah pasti dan fair.
Ambil contoh nyata adalah sepakbola Indonesia sudah pernah kena sanksi FIFA terhadap kisruh PSSI yang melibatkan pemerintah; pemerintah di sini juga ikut campur dalam menangani urusan internal PSSI. Hal ini bisa terjadi, karena di dalam tubuh PSSI tidak ada yang legowo untuk bisa bekerja murni untuk sepakbola saja. Mereka masih sering tergoda untuk masuk ke ranah politik dan pemerintahan. Hal ini membuat kinerja mereka tidak becus, dan mudah digerogoti oleh aksi mafia sepakbola dalam pertandingan. Fenomena inilah kemudian membuat pemerintah harus turun tangan karena mereka juga ingin peduli terhadap kasus ini. Namun, langkah mereka justru menjadi boomerang negatif karena terlalu berlebihan. Nyaris semua urusan sepakbola Indonesia kala itu dipegang oleh pemerintah yang membuat ini melanggar aturan di FIFA tentang kedudukan federasi sepakbola di sebuah wilayah atau negara. Termasuk memicu adanya dualisme di dalam PSSI yang kemudian melahirkan dua kompetisi utama di sepakbola Indonesia.
Sungguh konyol!
Dari contoh inilah, seharusnya PSSI kembali belajar. Tidak lagi segan terhadap individu-individu yang seenaknya sendiri seperti Ketua Umum sebelumnya pada saat itu. Jangan takut untuk menegakkan aturan FIFA, karena itulah aturan yang juga dianut oleh sepakbola-sepakbola profesional di negara-negara lain—Eropa, jika ingin maju (profesional) dan berprestasi. Jauhkan kursi-kursi krusial di PSSI dari orang-orang yang sudah tergiur oleh hebatnya duduk di kursi pemerintahan; akses segalanya lebih luas.
Harus pilih satu!
Sepakbola atau Pemerintah? Jika sepakbola, maka berbaktilah hanya sebagai ketua umum dan jajarannya yang mengelola dan mengembangkan sepakbola nasional saja. Jika pemerintah, maka tinggalkan kursi di PSSI dan selamat mengabdi kepada masyarakat umum di daerahnya masing-masing. Adil bukan?
Peristiwa semacam inilah menjadi salah satu pemicu, mengapa kita tidak pernah akur. Karena yang di atas saja masih banyak berjibaku mencari jalan meraih kepentingan dengan embel-embel kepercayaan masyarakat, apalagi kita yang masing-masing ingin juara di dalam kompetisi nasional ketika di tim nasionalnya paceklik prestasi. Hal ini juga akan semakin parah ketika fanatisme antar kubu menjalar ke setiap urat di otak. Maka sulit untuk dicuci dengan pemahaman yang ‘Bhinneka Tunggal Ika’.
![]() |
(twitter.com/jokowi) |
Kembali lagi tentang Asian Para Games dengan “Inspiring Spirit and Energy of Asia”-nya, di sini akan menjadi menarik untuk dinantikan bagaimanakah perjalanan para atlet hebat-hebat ini untuk mendapatkan dukungan yang luar biasa. Apakah akan sama dengan Asian Games lalu, atau mungkin lebih besar lagi. Itu yang patut dilihat sampai akhir perjalanan event besar se-Asia ini. Sesuatu yang nyaris mutlak adalah mereka yang mendukung para atlet APG 2018 ini adalah orang-orang yang jauh lebih peduli dan bersemangat menyerukan “In-do-ne-sia!”. Mereka pula yang selalu mendambakan adanya lagu Indonesia Raya berkumandang di setiap cabang olahraga, bukan chant-chant yang berbau fanatisme dan anarkisme.
Sudah saatnya, kita saling bergandengan tangan, atau berangkulan, atau saling mendoakan, menyatukan hati kita untuk yakin bahwa Indonesia tetaplah milik kita baik yang abilitas maupun yang disabilitas. Kita sama. Kehebatan kita sama. Kesempatan kita sama. Hanya saja semua bergantung pada kemauan kita untuk merubah nasib, merubah masa depan Indonesia yang bersatu untuk dilihat sebagai pelita khatulistiwa bagi negara-negara lain.
INDONESIA PASTI BISA (BERSATU)!!!
![]() |
Para Atlet Indonesia APG2018 (asiangames.tempo.co) |
Selamat bertanding para atlet APG 2018!
Semoga hasil tak mengkhianati usaha besar kalian!
Comments
Post a Comment