Review Singkat Liga Europa Matchday Kedua


AC Milan tim raksasa yang disepelekan, berhasil comeback!
Chelsea kesulitan bongkar pertahanan lawan.
Taktik bertahan Unai Emery yang jitu melawat ke Baku Stadium.



Sumber gambar: youtube.com

Pertandingan antara AC Milan vs Olympiakos menjadi bahan pertama yang dibahas kali ini. Bagi penulis, laga di San Siro ini sangat menarik ketika melihat di babak pertama, tim tamu sukses unggul terlebih dahulu. Seolah mengikuti trend di Liga Champions pekan ini yang banyak gol-gol tercipta di menit-menit awal babak pertama, tim asal Yunani ini juga seperti melakukan hal yang sama. Mereka segera meladeni permainan klub sekota Inter Milan tersebut sedari awal dan lahirlah gol untuk keunggulan Yaya Toure dkk.

Pasca tertinggal, permainan dipegang cukup penuh oleh tim tuan rumah yang berupaya mencari gol penyeimbang. Melalui kaki Castellejo dan Suso, bola selalu berada di daerah pertahanan lawan. Namun, sayangnya segala akselerasi dan tendangan-tendangan para pemain asuhan Gennaro Gattuso ini gagal menjadi gol. Kiper lawan salah satu figur penting yang mampu menghalau beberapa peluang tersebut. Selain itu, koordinasi bertahan yang kompak dan spartan ala pasukan Leonidas ini sukses meminimalisir bahaya. Meski, tak bisa dipungkiri bahwa pertahanan mereka semakin tereksploitasi. Beberapa peluang berhasil mendekati kaki dan kepala Gonzalo Higuain, namun masih belum dapat membuahkan hasil. Si penyerang mantan pemain Napoli dan Juventus ini juga mulai terlihat frustasi. Padahal ini masih di babak pertama. Masih ada 45 menit di babak kedua untuk menyamakan kedudukan dengan taktik baru. Skor 0-1 bertahan di interval pertama.

Memulai babak kedua, gaya permainan AC Milan tetap sama; mengandalkan kemampuan Suso dalam merangsek masuk ke area pertahanan lawan dan mengirimkan bola-bola matang atau langsung mengeksekusinya sendiri.
Di awal-awal babak kedua, permainan juga sedikit terbuka, karena tim tamu juga beberapa kali memiliki kesempatan dalam menyerang dan membuka peluang untuk gol kedua. Namun sayangnya, pemanfaatan momentum itu tidak dimaksimalkan. Para pemain Olympiakos seolah-olah sudah yakin bahwa 1 gol ke gawang lawan sudah cukup untuk mengakhiri laga sebagai pemenang. Hal ini dapat terlihat dari aliran bola mereka yang terlalu tenang, tidak terburu-buru langsung mengarahkan bola ke jantung pertahanan lawan; bola sering backpass saat momentumnya adalah counter attack. Inilah yang menjadi unik dan (bagi penulis) merupakan cara main yang kelewat percaya diri dari tim berjuluk The Thrylos ini dalam menghadapi tim dengan nama besar AC Milan (memiliki pengalaman juara Liga Champions di masa lalu) dan dengan permainan yang mulai progresif di babak kedua.

Sumber gambar: bola.okezone.com

Keberhasilan AC Milan adalah mampu merespon kegagalan di babak pertama dengan permainan yang total menyerang di babak kedua. Mereka juga sempat membuat laga berjalan cukup terbuka di awal-awal babak kedua untuk memancing para pemain Olympiakos keluar dari  area pertahanannya sendiri; mengingat bahwa lawan cenderung lambat dalam membangun serangan, membuat Romagnoli dkk mampu menjaga kedalaman pertahanan dengan baik dan mampu memulai serangan dengan cepat. Masuknya Hakan Calhanoglu dan Cutrone jelas memberikan angin segar dalam membangun serangan dan menyelesaikan peluang. Terbukti, Cutrone mampu membawa Il Diavolo Rosso menyamakan kedudukan dengan sundulannya. Gol ini langsung melecut semangat Milan untuk berbalik unggul.


Sumber gambar: bola.rakyatku.com

Benar, butuh sekitar 10 menit untuk melahirkan tiga gol dan berbalik arah keberuntungan di laga tersebut menjadi milik tim tuan rumah. Hal ini tak lepas dari upaya para pemain yang mampu bekerja maksimal dan pantang menyerah dalam mencetak peluang demi peluang. Seolah mereka menganut gaya main “menyerang sebanyak-banyaknya = melahirkan peluang sebanyak-banyaknya = kemungkinan lahirnya gol juga terbuka lebar”. Semangat para pemain AC Milan ini juga yang mengubur mimpi para pemain Olympiakos untuk membawa pulang angka. Mereka gagal menjaga momentum di babak pertama dan 15 menit awal babak kedua.

Sumber gambar: thenationalherald.com

Di sini, ada satu pemain yang cukup disorot. Yaitu mantan pemain Barcelona dan Manchester City yang kini membela Olympiakos, Yaya Toure. Pemain yang juga disematkan ban kapten sebelum akhirnya ditarik keluar ini, adalah salah satu pemain yang sering menguasai bola. Namun, setiap menguasai bola, dirinya jarang membuat bola itu menghadap ke arah pertahanan lawan. Padahal, berkaca dengan pengalamannya bermain di tim sebesar Barcelona dan Man. City sudah kita ketahui bahwa pemain ini memiliki kemampuan menyerang yang cukup bagus. Bahkan di Man. City dirinya pernah menjadi gelandang paling subur dalam satu musim kompetisi di Liga Primer Inggris. Namun, di laga ini, (penulis cukup kecewa ketika) dirinya seringkali terlihat seperti membunuh momentum timnya dalam upaya menyerang. Padahal, di Olympiakos juga memiliki dua pemain flank kanan-kiri yang mirip Suso; mampu membawa bola dan berakselerasi cepat. Namun kemampuan ini tidak ditata dengan rapi dan dimaksimalkan. Seharusnya, peran Yaya Toure di sini adalah mendukung dua flank untuk aktif membongkar pertahanan lawan. Karena AC Milan yang di awal babak kedua ini adalah tim yang selalu segera mengirim bola ke sisi seberang (area permainan lawan). Hal ini seharusnya akan menjadi menguntungkan bagi Olympiakos jika mampu memecah konsentrasi Milan untuk harus bertahan juga dengan baik.

Olympiakos sebenarnya bukan tanpa peluang ketika masih unggul, namun mereka minim upaya untuk lebih serius membongkar pertahanan lawan secara progresif—bola pasti akan berakhir ke kotak penalti lawan. Tapi nyatanya, mereka berupaya untuk mengambil possession di kala sedang ditekan oleh para pemain Milan yang selalu mengejar bola. Strategi possession ini kemudian menjadi boomerang negatif ketika mereka melakukan kesalahan passing atau bola berhasil dipotong lajunya oleh lawan. Hasilnya adalah serangan balik cepat dan berbahaya. Tiga gol lahir di babak kedua ini tak jauh dari hal-hal semacam itu; skema menyerang cepat dari keberhasilan pemain Milan merebut bola dan segera mengirim bola ke depan. Nahas bagi tim tamu yang akhirnya harus pulang dengan kegagalan merengkuh apa yang sebelumnya mereka nyaris pegang—kemenangan.

Sumber gambar: therealchelseafans.com

Beralih ke laga Chelsea vs Vidi FC, pertemuan dua tim beda kualitas dan atmosfer sepakbola di liga domestiknya masing-masing ini menjadi hal menarik. Anggapan ini tak lepas dari prediksi di pasar sepakbola yang yakin bahwa skuad asuhan Maurizio Sarri ini akan menang mudah. Namun nyatanya, mereka harus susah payah membongkar pertahanan lawan dan hanya mampu menyarangkan 1 gol saja melalui Alvaro Morata. Mengutip pernyataan bung Ma’ruf (bukan cawapres tahun 2019), bahwa hal ini bisa terjadi karena dua faktor. Pertama adalah tim-tim besar yang harus bermain di kasta kedua Eropa ini, sering bermain dengan rotasi di dalam susunan pemain. Pemain-pemain yang jarang mendapatkan jatah menit bermain di liga domestik akan bermain di sini. Perbedaan pemain ini juga akan mempengaruhi gaya main tim ini; kreativitasnya akan sedikit berbeda. Hal ini seringkali terjadi di klub seperti Arsenal yang dua musim terakhir harus berlaga di liga malam Jumat ini, lalu ada Chelsea, dan AC Milan. Perbedaannya, klub-klub Liga Primer Inggris yang berlaga di Liga Europa akan cenderung memprioritaskan kompetisi domestiknya daripada Liga Europa. Namun, seiring dengan regulasi tentang juara Liga Europa akan otomatis masuk Liga Champions di musim selanjutnya, maka kompetisi ini mulai perlu diperhitungkan. Namun, mengingat lawan-lawan di Liga Europa ini masih belum merata kualitasnya (tanpa menghilangkan respek pada klub-klub yang berlaga di kompetisi ini), membuat tim-tim besar ini harus berani melakukan rotasi pemain agar tidak tersandung masalah kebugaran terhadap pemain-pemain inti yang lebih dibutuhkan untuk mengejar juara di liga domestik. Faktor inilah yang membuat tim sebesar Chelsea maupun Arsenal masih bisa cukup kesulitan jika menghadapi tim-tim yang kurang diperhitungkan.

Faktor kedua adalah totalitas klub-klub dari liga kelas menengah yang berhasil masuk ke Liga Europa biasanya lebih tinggi. Mereka menganggap kompetisi ini sangat prestis dan itu akan menjadi prioritas mereka ketika mampu berlaga di Liga Europa. Hal ini akan sangat mempengaruhi gaya main mereka yang tidak gentar ketika harus menghadapi tim-tim besar yang kehilangan tahtanya di Liga Champions. Mereka biasanya akan bermain lebih solid dan para pemainnya juga akan berupaya mencuri panggung mumpung bermain di kompetisi Eropa. Sesuatu yang bertolak belakang ketika dilihat dari kacamata tim-tim besar dan pemainnya yang kadang malah sedikit meremehkan permainan lawan; suatu hal yang justru menjadi musuh utama tim-tim besar.

Sumber gambar: gilabola.com

Kembali ke Chelsea, kemenangan tipis atas Vidi ini cukup memperlihatkan betapa ketergantungannya pada sosok Eden Hazard (lagi). Ketika tidak ada pemain asal Belgia ini, maka penyerangan The Blues terlihat sedikit kurang menarik dan kurang tajam. Padahal dengan materi pemain yang cukup imbang antara starting line-up dengan bangku cadangan, seharusnya bukan hal yang sulit bagi mereka untuk dapat berbuat banyak khususnya saat menghadapi tim yang tidak diunggulkan. Apalagi mereka juga bermain di kandang sendiri—seharusnya dapat bermain maksimal, tak peduli siapa pemain yang turun ke lapangan. Namun hasil kemenangan ini sudah cukup untuk menenangkan publik London Barat terhadap masa kepemimpinan pelatih baru asal Italia yang kesekian kalinya ini. Bersama Sarri, tentu Chelsea ingin berbuat banyak dan kembali diperhitungkan di liga domestik maupun Eropa.

Sumber gambar: radiotimes.com

Beralih ke laga cukup sengit, Qarabag vs Arsenal di Baku Stadium; tempat yang akan berlangsungnya final Liga Europa nanti. Tim tamu asal kota London Utara ini berhasil memenangkan laga dengan 3 gol tanpa balas. Tim tuan rumah sebenarnya sempat mencetak gol ke gawang Bernd Leno, namun dianulir karena sudah terlebih dahulu dalam posisi offside. Di laga ini, penulis lebih tertarik pada strategi yang dimainkan Unai Emery. Yaitu, memasang tiga bek tengah (Monreal, Sokratis, dan Holding) dengan dua flank yang diisi pemain yang memiliki posisi asli sebagai fullback; di kiri ada Sead Kolasinac dan di kanan ada Stephan Lichtsteiner.

Sumber gambar: kumparan.com

Di sini kita melihat adanya kejelian dari Emery terhadap atmosfer pertandingan yang akan cukup krusial—karena berlaga di kandang lawan. Suatu hal yang terkadang jarang diterapkan pelatih tim besar saat menghadapi tim yang kurang diperhitungkan namun punya potensi menjegal. Hal ini sepertinya menjadi perhatian bagi Emery yang membuat Arsenal tampil solid dalam bertahan; selain performa gemilang kiper baru  Bernd Leno. Di laga ini secara statistik, tim tuan rumah tak kalah beringas dalam upaya mencetak gol, baik dari skema kerja sama maupun upaya spekulasi tendangan jarak jauh.

Termasuk di babak kedua, yang mana tim tuan rumah berupaya kembali untuk dapat mencari gol penyeimbang yang gagal didapatkan di babak pertama karena pertahanan Arsenal sangat kokoh ketika bertahan. Bahkan dalam satu kesempatan, Arsenal terlihat memasang 5 pemain yang berdiri sejajar di depan Leno saat bola sedang dikuasai pemain Qarabag untuk menyerang ke kotak penalti The Gunners. Di sini, pujian tak lepas dari strategi Emery di babak pertama yang bertujuan agar mereka dapat bermain tenang di babak kedua—setelah positif unggul terlebih dahulu pra turun minum.

Pasca turun minum, Arsenal mulai memasukkan tiga pemain langganan starting line-up, Toreira, Ozil dan Lacazette. Hasilnya, mereka mampu menambah dua gol lagi meski dari dua pemain yang sudah bermain sejak menit pertama, Smith Rowe dan Matteo Guendouzi. Namun strategi di babak kedua dengan adanya pemain segar dan berpengalaman tersebut, telah membuat permainan Arsenal jauh lebih tenang dan percaya diri dalam bertarung di lini tengah dan saat menyerang. Efektivitas juga terlihat, meski yang disayangkan adalah beberapa peluang gagal dimaksimalkan untuk menambah jumlah gol kemenangan.

Sumber gambar: givemesport.com

Kredit besar juga diberikan kepada Leno yang sudah bermain sejak matchday pertama Liga Europa ini dengan performa gemilang tanpa kebobolan. Hal ini bisa menjadi sinyal penting bagi dirinya bahwa posisi penjaga gawang Arsenal perlahan namun pasti akan bergeser ke dirinya pasca cederanya Petr Cech di laga sebelumnya saat mengarungi kompetisi Liga Primer. Tantangan selanjutnya adalah konsistensi dan komunikasinya dengan bek-bek di depannya harus semakin baik. Keberhasilannya di laga ini juga membuat para pemain Arsenal terlihat percaya diri saat bertahan karena mereka merasa memiliki palang pintu terakhir yang sangat fokus dan responsif terhadap serangan lawan; suatu hal yang sepertinya menjadi penebusan ketika dirinya gagal menahan gol-gol di laga pertama kompetisi kasta kedua Eropa ini. Di laga tersebut, dirinya terlihat kurang fokus ketika menghadapi ancaman serangan cepat dan tendangan spekulasi dari lawan. Namun, di laga ini penjaga gawang asal Jerman ini berhasil menunjukkan kelasnya. Good job!



Sumber gambar: telegraph.co.uk

Hasil kemenangan ini juga membawa Arsenal ke level kepercayaan diri yang bagus, karena mampu meraih hasil positif dengan 8 kemenangan beruntun di semua ajang. Membuktikan bahwa Arsenal bersama Unai Emery sangat fokus di semua pertandingan. Apalagi di Liga Europa yang menjadi lahan pembuktian kehebatan pelatih asal Spanyol ini dalam merengkuh gelar juara kompetisi tiga kali beruntun. Suatu ‘mimpi’ yang mungkin akan dibayangkan oleh pendukung tim Meriam London ini untuk dapat kembali berbicara banyak di kancah Eropa meski masih di kasta kedua. Setidaknya, ada gelar lagi yang lebih prestisius selain Piala FA dan Community Shiled di lemari trofi Arsenal. Selain itu, menjadi juara di ajang ini juga akan menjadi alternatif lainnya untuk dapat lolos ke fase grup Liga Champions di musim 2019-2020.

Sepertinya demikian, ulasan tentang laga-laga di matchday kedua Liga Europa. Memang, tidak semua hasil pertandingan di kompetisi ini dibahas, karena hal ini berkaitan besar terhadap perspektif murni dari hasil menonton pertandingannya di siaran tv atau streaming daripada membahas yang tidak ditonton langsung; menyebabkan kurangnya daya menganalisa terhadap jalannya pertandingan tersebut.

Nantikan pembahasan tentang sepakbola di kesempatan selanjutnya. Salam Sepak bola!


Sumber gambar: twitter.com/claudiasoraya

Terimakasih kepada bung Ma’ruf yang menjadi komentator di siaran Liga Europa tiga kali beruntun dini hari tadi yang turut membantu membuka penganalisaan terhadap pertandingan, khususnya saat laga Chelsea vs Vidi.

Comments

Popular Posts