LIVERPOOL TAKLUK, INTER-BARCELONA BERBAGI ANGKA


Dua laga yang menyajikan pertarungan formasi 4-2-3-1 vs 4-3-3


Jogja.tribunnews.com

Siapa yang mengharap klub kesayangannya kalah?
Jawabannya pasti tidak ada.

Seperti itu mungkin harapan para pendukung klub Red Star—klub papan atas di Liga utama Serbia, saat tim dengan corak merah dan putih di logonya ini mendapatkan giliran menjamu klub raksasa Eropa asal Inggris, Liverpool. Bayang-bayang hasil buruk tentu tak bisa lepas bagi klub manapun yang harus berhadapan dengan klub unggulan, termasuk di laga Red Star vs Liverpool dini hari tadi (7/11) WIB. Namun hasil laga tak selamanya ditentukan oleh superioritas klub atas klub lainnya. Semua dapat menorehkan hasil yang positif bagi tim yang tidak diunggulkan ketika mereka berhasil menjalankan taktik dan berhasil bermain dengan keyakinan tinggi untuk meraih kemenangan. Apalagi bermain di kandang sendiri tentu akan memberikan kesempatan lebih terbuka untuk memenangkan laga.
Kaltim.tribunnews.com

Faktor-faktor semacam itu sepertinya menjadi perhatian tersendiri bagi klub Serbia ini. Mengingat statusnya di kancah Eropa bukanlah yang diunggulkan—bahkan untuk lolos ke fase 16 besar sekalipun. Namun, bukan tim sepakbola dengan mental juara—meski di kancah domestik saja, jika tidak dapat memberikan permainan yang maksimal dan meyakinkan bagi tim dan pendukungnya. Termasuk membukakan mata publik luas, bahwa di Liga Champions semua klub berhak untuk meraih kemenangan. Namanya juga “Liga sang Juara”, maka semua punya kesempatan untuk menunjukkan mental juaranya, dan ini selalu dimulai dengan bukti kemenangan pada setiap laga. Setidaknya, mampu mempersulit lawan-lawan yang diunggulkan saat menjamu di kandang sendiri.

Inilah yang dapat dilihat dari laga menarik antara Red Star saat berhadapan dengan Liverpool. Statistik jelas menunjukkan betapa superiornya Liverpool, namun hasil pertandingan justru menunjukkan bahwa peranan taktik yang berhasil dijalankan dengan baik, mampu menghasilkan target yang diinginkan. Secara statistik, Liverpool unggul di nyaris segala hal. Penguasaan bola sampai 72%, menghasilkan 23 tendangan(!), 637 operan dengan akurasi mencapai 82%, 9 tendangan sudut dan 4 kali offside. Melihat fakta ini, tentu tidak pernah terbersit di pikiran gibolers bahkan pendukung The Kops, bahwa tim yang sedang berada di puncak klasemen Premier League musim ini harus menelan kekalahan dari lawannya. Namun, memang fakta lainnya adalah Red Star berhasil mengalahkan The Reds dengan skor 2-0.

Dua gol diciptakan oleh satu orang dan berasal dari umpan satu orang. Ya, kolaborasi Marko Marin dan Milan Pavkov sukses menghasilkan petaka bagi tamunya. Menariknya, dua gol tercipta di waktu yang cukup berdekatan—22’ dan 29’, menunjukkan bahwa pertahanan Liverpool masih mampu ditembus oleh lawan di saat mereka masih belum terlihat nyaman dengan pergantian pemain di starting eleven. Ya, pemasangan Daniel Sturridge bisa jadi menjadi pertanyaan bagi penonton laga tersebut. Kenapa harus dia, bukan Roberto Firmino?
Salah, Firmino, Mane. (esporteinterativo.com.br)

Pemasangan penyerang asal Inggris bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah kepercayaan bagi Jurgen Klopp terhadap perkembangan pemain bernomor 15 ini pasca sembuh dari cedera panjangnya. Sturridge seringkali menjadi penyelamat Liverpool ketika dibutuhkan, khususnya di babak kedua. Gaya permainannya yang lebih fokus menjadi target man tentu memberikan penawaran lain saat Liverpool sudah terlanjur bergantung dengan trio Firmino-Mane-Salah. Ketiga pemain tersebut selalu menjadi pilihan utama bagi Klopp. Karena, ketiganya selain memiliki insting mencetak gol tinggi, mereka juga mampu membuat lawan kesulitan menjaga pergerakan mereka yang mobile—bergerak ke setiap posisi yang kosong di lini pertahanan lawan. Hal ini tentu akan berbeda ketika Liverpool bermain dengan Sturridge. Bahkan bersama Sturridge, Liverpool seharusnya mampu memaksimalkan pergerakan Mane dan Salah yang bisa lepas dari penjagaan lawan. Namun jika dilihat dari pertandingan ini, bukan tentang kesalahan taktik Klopp yang memainkan Sturridge di babak pertama, melainkan keberhasilan taktik Milojevic, pelatih Red Star dalam mengorganisir pertahanan dan tak segan melancarkan serangan ke area pertahanan lawan. Dua gol adalah bukti sah dari taktik berani menyerang tim tuan rumah tersebut.

Sedangkan kekompakan taktik defense tim tuan rumah dapat dilihat dari keberhasilan mereka menjebak offside lawan sebanyak 4 kali. Bermain melawan tim yang memiliki pemain depan cepat seperti Mane dan Salah jelas bukan hal mudah. Meski toh, mereka masih mampu ditembus dengan 23 kali percobaan ke gawang. Mereka juga membiarkan Liverpool menguasai bola sampai nyaris ¾. Fantastis namun cukup ironis.
Para pemain Red Star rayakan gol. (Batam.tribunnews.com)

Tapi kekalahan bagi Liverpool bisa jadi dimaafkan, karena faktor laga tandang dan faktor harus menjalani laga big match melawan Arsenal di Premier League di laga sebelumnya. hanya saja yang menjadi nilai negatif adalah mereka gagal mencetak gol di laga ini. Sesuatu yang aneh, mengingat Liverpool merupakan tim besar yang produktif di setiap laga—meski saat melawat ke markas The Gunners beberapa hari lalu mereka juga hanya mampu mencetak 1 gol. permasalahan pada penyerangan sepertinya menjadi evaluasi yang serius, mengingat mereka mampu menguasai jalannya laga dan mampu mengkreasikan 23 kali percobaan. Tapi, menjadi catatan tebalnya adalah mereka hanya mampu mengarahkan bola 4 kali ke gawang lawan. Artinya, tingkat efektivitas penyerangan Liverpool bermasalah di laga ini.

Selain itu, penggunaan formasi 4-3-3 bagi Liverpool seperti terlalu klasik ketika harus berhadapan dengan formasi 4-2-3-1 yang digunakan Red Star. Menggunakan formasi 4-3-3 akan riskan ketika menghadapi serangan balik dari lawan. Karena ketika fokus membangun serangan, 5 pemain harus berada di daerah pertahanan lawan, dan hanya satu pemain yang tertinggal di area di antara lingkaran tengah dengan 10-15 meter dari kotak penalti lawan. Ketika bola penguasaan lepas dari pemain tengah terakhir di posisi tersebut, maka dua defender utama akan langsung berhadapan dengan 1-2 pemain lawan yang berhasil membawa bola ke depan. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan formasi 4-2-3-1, meski saat menyerang, pergerakan pemain bisa membentuk 4-1-2-3 atau 4-1-3-2, hal ini bisa terlihat lebih kompleks saat tim bermain menyerang maupun bertahan. Saat menyerang, mereka bisa membuat lini depan seperti menumpuk (mengepung) di area pertahanan lawan, dan di saat kehilangan bola, mereka masih memiliki satu pemain tengah yang mampu mencoba memotong laju bola yang mengarah ke pertahanan sendiri. Untuk itu, taktik menyerang melalui flank seringkali dimanfaatkan oleh tim yang harus berhadapan dengan tim yang berformasi 4-2-3-1—ketika mendapatkan momen counter attack. Lalu bagaimana saat bertahan? Seperti yang sudah disinggung di tiga kalimat sebelumnya, bahwa mereka akan menaruh satu pemain fighter (seperti Xhaka di Arsenal dan Brozovic di Inter Milan) di tengah untuk berupaya segera menghancurkan momen membangun serangan balik bagi lawan. Termasuk ketika harus menghadapi serangan dengan sistem build up dari bawah, maka dua pemain tengah di depan dua center back akan sangat fokus membantu pertahanan dengan menempel ketat pemain lawan atau salah satu dari double pivot itu berbagi tugas. Satu pemain menerapkan strategi man-to-man marking, satunya lagi menerapkan strategi zona marking membantu duet center back di belakangnya. Sehingga akan membentuk seperti 5 pemain bertahan saat menerima serangan dengan sistem build up dari belakang.
Formasi Red Star (google)

Lalu formasi yang mana yang lebih baik?
Formasi Liverpool (google)

4-3-3 bukanlah formasi buruk. Toh, banyak tim-tim besar yang masih menggunakan formasi ini. Karena ada beberapa hal yang dapat menjadikan formasi ini ideal, yaitu sebuah tim memiliki kekuatan lini depan yang luar biasa. Artinya, mereka tidak bergantung pada target man dalam urusan mencetak gol. Selain itu, dengan formasi ini, lini depan dan lini tengah akan terlihat menakutkan saat menyerang, karena pergerakan mereka akan lebih rapat, sehingga jangkauan bola antar pemain lebih baik dan tertata. Lihat saja tim seperti Barcelona yang memiliki trio lini depan yang sedang meregenerasi saat ini, yaitu Suarez-Messi-Coutinho/Dembele. Hal ini juga sama di kubu Liverpool dengan keberadaan trio Firmino-Mane-Salah (FIRMANSAH) di lini depan.

Begitu pula dengan formasi 4-2-3-1 yang digunakan Red Star untuk menggebuk Liverpool 2-0. Formasi yang mengutamakan lini tengah yang solid tentu bukan 100% dapat menghasilkan hasil akhir positif jika tim tersebut tidak mampu membangun serangan dan memanfaatkan peluang yang minim. Terbukti bahwa, Red Star tidak mampu mencetak gol lagi di babak kedua, karena mereka sudah memilih untuk fokus bertahan dan itu boleh dilakukan oleh tim yang sudah siap untuk melakukannya—compact defense.

Berbicara tentang formasi dari Red Star dan Liverpool, maka kurang afdol jika tidak diteruskan dengan membahas hasil laga lainnya yang tak kalah seru. Karena laga ini merupakan big match yang sudah lama tak terjadi lagi pasca tahun 2010. Ya, setelah titel juara Liga Champions digondol Inter Milan, pertemuan antara Inter vs Barca seperti tinggal kenangan. Hal ini terjadi karena faktor menurunnya performa skuad Biru-Hitam dari Italia tersebut pasca ditinggal pergi pelatih yang mengantarkan mereka meraih treble winners kala itu, Jose Mourinho. Kepergian pelatih asal Portugal yang merapat ke Real Madrid—rival Barcelona, seperti menjadi awal mula mimpi buruk Inter berlangsung sampai baru bisa come back ke Liga Champions musim ini setelah beberapa musim menjelma sebagai tim papan tengah di Serie A. Begitu pula dengan memori duel sengit antara kedua tim saat 2010 yang kala itu juga diwarnai oleh duel antara kedua tim untuk memastikan langkah selanjutnya untuk membuka peluang meraih titel juara sebelum partai final. Inter kala itu berhasil menyingkirkan Barcelona-nya Josep ‘Pep’ Guardiola dan melenggang ke partai puncak. Mereka juga pada akhirnya mampu mengalahkan tim kuat lainnya asal Jerman, Bayern Munich dengan dwigol Diego Milito kala itu. Ya, memori pertemuan Inter vs Barcelona kini dapat kita saksikan kembali bahkan dua kali. Karena, kedua tim berada di grup yang sama. Menariknya, kedua tim saat ini sedang bersaing ketat untuk memastikan langkah selanjutnya yaitu lolos ke fase 16 besar. Semua harus ditentukan dari hasil laga keempat atau pertemuan kedua bagi kedua tim ini.
Kaltim.tribunnews.com

Hasilnya?

Tentu semua sudah tahu bahwa hasil imbang adalah hasil yang adil bagi kedua tim. Inter harus menerimanya karena mereka bermain dengan terus menerus ditekan oleh Barcelona yang mengkreasikan 26 peluang dengan 8 on target. Penguasaan bola juga tim asuhan Luciano Spalletti ini hanya kebagian ¼ saja. Mereka hanya unggul 11 pelanggaran, 2 kartu kuning, dan 2 kali offside. Selebihnya mereka harus mencari keajaiban dari satu peluang yang on target untuk membuyarkan peluang tim tamu untuk meraih 3 poin di Giuseppe Meazza Stadium. 

Adil? Cukup adil. Karena, Barcelona juga tidak sepenuhnya sempurna. Mereka memang bermain tanpa Lionel Messi di laga ini—seperti di pertemuan pertama di Camp Nou. Bedanya, di laga ini, Barcelona yang turun dengan trio Suarez-Coutinho-Dembele seperti kehilangan daya efektivitas dalam mencetak gol. Magis Suarez yang mampu mencetak gol di dua laga La Liga Spanyol secara berturut seperti musnah di laga ini. Dari 26 peluang, hanya 8 yang tepat sasaran. Mereka juga berhasil menjaga tradisi permainan mereka dengan 65% ball possession, namun seperti tak mampu menghasilkan laga dengan skor lebih dari 1 gol bagi mereka. Apakah formasi 4-3-3 bagi Barcelona sedang bermasalah?
Statistik Inter vs Barcelona (google)

Faktor seri sebagai hasil akhir di laga ini bukan semata-mata karena kegagalan Barcelona dalam mengefektifkan pola serangan mereka, namun juga karena Inter Milan merupakan tim yang cukup tangguh dalam bertahan—terlepas dari beberapa gol yang sudah bersarang ke gawang Handanovic di semua ajang. Ada perubahan isi pemain di strating eleven yang juga menentukan hasil akhir. Dembele di kubu tim tamu adalah pemain yang akhirnya merumput sejak peluit kick-off ditiup oleh wasit. Begitu pula dengan Inter Milan yang memasang De Vrij, Politano dan Nainggolan di starter—sesuatu yang berbeda di pertemuan pertama.

Berubahnya susunan pemain tentu mempengaruhi permainan. Meski secara kualitas, kedua tim sama-sama memiliki kedalaman skuad yang berimbang antara line-up utama dengan skuad cadangan. Bahkan Barcelona membawa beberapa pemain junior termasuk memasukkan pemain yang jarang nongol namun menjadi pencetak gol pembuka di laga ini. Yaitu, Malcom. Masuknya Malcom seperti memberikan bukti bahwa masuknya pemain bagi Barcelona adalah sebagai pencarian jawaban atas permasalahan yang terjadi di atas lapangan. Hal ini membuktikan bahwa Ernesto Valverde masih sangat peka terhadap permainan timnya, termasuk permainan lawan. Hanya saja, kendala yang dihadapi oleh Barcelona adalah Mauro Icardi.
Icardi sukses bobol gawang ter Stegen (bola.net)

Ya, penyerang asal Argentina ini adalah tantangan yang terlupakan oleh lini belakang Barcelona ketika mereka sudah merayakan gol telat yang bakal menjadi gol kemenangan. Kubu Blaugrana seperti masih belum bisa melupakan momen buruk—nyaris kalah seperti di laga melawan Rayo Vallecano. Konsentrasi lini belakang seperti menjadi kontradiksi dari kegemilangan lini depannya, dan itu sepertinya diketahui oleh lawan yang memiliki striker tajam di sang kapten Mauro Icardi. Gol balasan yang tercipta tak lama setelah Les Cules melonjak kegirangan, membuat hasil 1-1 adalah hasil yang justru membuat laga ini terlihat dramatis.

Menariknya, di laga ini juga menyajikan dua tim yang menggunakan formasi 4-2-3-1 dan 4-3-3, persis di laga Red Star vs Liverpool. Bedanya memang di skor. Selain itu, bedanya kita melihat permainan tim yang solid di kedua tim yang sama-sama memiliki corak warna biru di jersey utamanya.

Selain itu, skuad Inter sedikit lebih baik dalam menerapkan pola 4-2-3-1 karena kualitas para pemainnya adalah pemain-pemain yang bisa menjadi buruan bagi tim-tim besar lainnya di bursa transfer—terlepas dari kebobolan 1 gol berbanding clean sheet di Red Star. Tim yang berbeda tentu akan menghasilkan permainan yang berbeda meski secara formasi keduanya memiliki kesamaan. Patut digaris bawahi adalah laga ini dapat mengembalikan pamor dari tim tuan rumah, bahwa mereka patut kembali diperhitungkan, meski juga belum sepenuhnya dapat dimasukkan ke jajaran tim calon juara Liga Champions musim ini. Namun secara mentalitas, permainan Nainggolan cs cukup perlu diperhitungkan. Mengingat jika mereka seringkali mampu memutarbalikkan keadaan, sehingga siapapun lawannya sangat patut mewaspadai tim ini secara penuh 90 menit (plus menit tambahan). Jika lengah, maka Icardi dkk akan berupaya memaksimalkan peluang, termasuk satu-satunya peluang mereka miliki yang on target dari 10 percobaan di laga ini.
Vrsaljko dan Suarez (bola.kompas.com)

Selamat buat Inter yang berhasil menahan imbang salah satu kandidat juara Liga Champions musim ini dan selamat bagi Barcelona yang dengan hasil imbang ini mampu memastikan tiket lolos ke fase 16 besar. Enhorabuena!

Comments

Popular Posts