WELCOME AFF CUP 2018!


Mengulik peluang timnas Indonesia untuk akhiri nirgelar

Indosport.com

Kompetisi sepakbola bergengsi di ASEAN kembali hadir di akhir kalender 2018, yaitu Piala AFF. Gelaran dua tahunan ini sudah digelar sejak 1996 atau tahun ini merupakan edisi ke-12 Piala AFF digelar sebagai pesta sepakbola jagad Asia Tenggara. Menariknya, di edisi ini terjadi sesuatu yang baru untuk diterapkan, yaitu format pertandingan yang berlangsung secara kandang dan tandang (tidak ada tuan rumah penyelenggara seperti edisi-edisi sebelumnya). Bersama 10 timnas ASEAN yang berhasil masuk ke fase grup maka kita dapat menyaksikan masing-masing tim melakoni 2 laga kandang dan 2 laga tandang.
Foxsportsasia.com

Dari informasi yang diperoleh tentang format baru dari penyelenggaraan Piala AFF ini, ada pertimbangan tentang atmosfer dukungan suporter masing-masing tim peserta yang diharapkan dapat meningkat ketika adanya perhelatan pertandingan yang dapat digelar di stadion tim tersebut. Hal ini menjadi solusi bagi fenomena menurunnya dukungan sebuah timnas yang berlaga ketika harus berada di tempat penyelenggara turnamen dan tidak memiliki peluang lolos dari fase grup (hasil pertandingan yang negatif akan menurunkan animo dukungan dari publiknya apalagi jika harus bertandang ke negara lain). Selain itu, dengan perubahan format ini, aroma pertandingan jauh lebih menarik dan persaingan  akan lebih sengit. Karena setiap tim pasti punya perhitungan tersendiri untuk memanfaatkan laga kandangnya sebelum membuka peluang menang di laga tandang.

Termasuk Indonesia yang di gelaran tahun ini akan memulai kiprahnya dengan bertandang ke markas timnas Singapura. Suatu tantangan besar dan ajang pembuktian bagi skuad Garuda untuk menjawab rasa lapar gelar publik Indonesia yang sudah 5 kali pupus (Indonesia berhasil masuk ke fase final 5 kali termasuk di edisi terakhir—2016 yang kembali gagal jadi kampiun). Apakah Indonesia berhasil menjadi juara di gelaran AFF tahun ini dengan format pertandingan yang baru?

Memupus label runner-up terbanyak dengan gelar juara adalah jawaban terbaik terhadap pertanyaan publik gibolers terhadap level sepakbola Indonesia. Langganan partai final 5 kali memang bukan hal yang mudah. Selain Thailand, Singapura, Vietnam, dan Malaysia, hanya Indonesia yang belum meraih gelar juara setelah berhasil menapaki partai puncak. Artinya, secara level sepakbola Indonesia tidaklah buruk, namun kurang pembuktian. Tanpa gelar juara, kita akan sulit untuk mengingat perkembangan sepakbola Indonesia. Karena sepakbola adalah olahraga dan olahraga identik dengan kompetisi, maka tak salah jika pengukuran prestasi adalah dengan adanya perengkuhan trofi juara.

Di sinilah letak dari fokus utama persepakbolaan Indonesia—tim nasionalnya menjadi juara di Piala AFF. Bersama dengan keberhasilan sebuah timnas di Asia Tenggara dalam meraih titel juara di level ini, maka perkembangan sepakbolanya akan segera melaju dan boleh beralih fokus untuk bersaing di level selanjutnya. Seperti Piala Asia. Suatu hal yang dilakukan oleh Thailand. Menariknya, negara yang tak pernah terjajah oleh bangsa kolonial ini menjadikan Piala AFF sebagai standar minimal mereka untuk bisa menjadi tim kuat dan kompetitif. Regenerasi yang harus terjadi di timnas manapun juga terjadi di timnas Thailand, namun mereka tidak kehilangan kekuatan untuk tidak bersaing memperebutkan gelar juara. Bahkan tak hanya di level senior, namun di level junior pun mereka berupaya keras untuk menyamai capaian dari skuad masa lalu. Artinya, ketika berhasil menjadi juara, maka ada patokan jelas bagi sebuah tim untuk membuat standar minimal namun tetap kompetitif. Bahkan timnas yang berhasil meraih juara akan mempengaruhi atmosfer kompetisi di level klub di negara tersebut. Terbukti bahwa kompetisi di Thailand sudah sangat profesional dan menghasilkan klub-klub yang berupaya berpacu dengan klub-klub dari negara lain untuk mengejar prestasi. Bisa ambil contoh dengan klub yang cukup familiar di publik Indonesia adalah Chonburi FC. Klub ini sampai saat ini masih menjadi klub raksasa di level ASEAN, dan mereka cukup konsisten untuk berpartisipasi di kompetisi Asia, baik itu Liga Champions maupun Piala AFC—kompetisi antar klub se-Asia kasta kedua.

Hal ini tentu harus dicontoh oleh Indonesia. Tak hanya berupaya membangun federasi yang kondusif-produktif, lalu membentuk liga yang kompetitif dan mencakup seluruh level usia (junior sampai profesional), namun juga harus membangun skuad timnas yang solid dan totalitas. Keberadaan skuad yang diyakini dapat meraih gelar juara di Piala AFF bukan sekedar dengan mendatangkan pelatih hebat bergaji mahal, namun juga membentuk kompetisi klub yang kompetitif, fair dan profesional. Tidak ada intervensi dalam bursa transfer pemain domestik untuk bermain ke luar negeri, dan termasuk penunjukan pelatih yang harus tepat dan cepat. Jika sudah yakin pilih pelatih tersebut, maka seyogyanya langsung diikat dengan kontrak yang sah dan permanen—jangka panjang.
Alfred Riedl saat masih melatih timnas Indonesia (bola.com)

Jika menilik dari penunjukan pelatih, timnas Indonesia hampir selalu berhasil mendatang pelatih yang faham dengan cara melatih pesepakbola di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Alfred Riedl salah seorang pelatih era zaman now yang sebenarnya berhasil membawa Indonesia kompetitif setidaknya di  level AFF Cup. Dua kali runner-up bersama satu pelatih tentu bukan hal yang buruk bagi kiprah pelatih asal Austria tersebut. Namun, kekurangjelasan bagaimana sistem kontrak yang terjalin antara PSSI dengan pelatih timnas, membuat publik harus melihat adanya pergantian pelatih (PSSI mendatangkan Luis Milla dengan gaji yang mahal untuk ukuran timnas di Asia Tenggara). Pelatih baru saat itu terbilang menarik perhatian. Karena berasal dari Spanyol dan masih muda (sebagai pelatih). Mungkin segenerasi dengan pelatih-pelatih hits zaman now seperti Zinedine Zidane misalnya. Namun, permasalahan di timnas Indonesia seperti tak kunjung surut meski sudah memiliki pelatih yang cukup potensial dalam mengantarkan timnas Indonesia semakin menuju jenjang prestasi.
Luis Milla saat melatih timnas Indonesia (bangka.tribunnews.com)

Tekanan target yang kurang realistis dan komunikasi antara federasi dengan jajaran pelatih timnas seperti ada yang kurang baik dan ini sepertinya mengganggu proses perkembangan timnas. Sampai puncaknya adalah pasca Asian Games 2018, pelatih baru timnas saat itu yang juga merangkap di level U-23 mulai pelan-pelan tersingkir dari kursi kepelatihan. Berakhirnya gelaran olahraga multievent yang juga mempertandingkan cabang olahraga (cabor) sepakbola ini, menjadi pintu perpisahan Luis Milla dengan timnas (U-23 dan senior). Sampai harus menunggu akhir Oktober, Indonesia memiliki pelatih baru yaitu Bima Sakti. Kandidat pelatih pengganti Luis Milla yang memang lebih besar kemungkinannya untuk melatih Hansamu Yama dkk.
Bima Sakti saat masih aktif bermain (tribunnews.com)

Bersama Bima Sakti yang notabene adalah mantan pemain yang berposisi sebagai gelandang ini, publik Indonesia akan memulai kembali membuka asa untuk dapat meraih target mutlak. Yaitu, JUARA. Berbeda dengan 2012 dan 2014, timnas Indonesia saat ini terlihat cukup menjanjikan. Dilihat dari skuad yang dibawa oleh Bima Sakti, 23 pemain ini adalah pemain-pemain yang sedang menanjak dan ada yang cukup konsisten permainannya bersama klubnya masing-masing. Sebut saja karir Evan Dimas yang menjadi sorotan pasca resmi mengikuti jejak Andik Vermansah untuk berlabuh ke ex-klubnya, Selangor FA. Bersama alumnus U-19 lainnya Ilhamudin Armain, Evan Dimas tampil cukup memuaskan di klub luar negeri pertamanya tersebut. Keberhasilannya menembus skuad utama Selangor tentu menjadi pertimbangan kuat Bima Sakti untuk memasukkan namanya di 23 daftar pemain.

Lalu ada pemain lain yang tampil cukup konsisten dengan kualitas individunya yang mampu membuat klubnya Bali United masih diperhitungkan dalam perburuan juara, yaitu Stefano Lilipaly. Pemain naturalisasi keturunan Maluku-Belanda ini memang selalu menjadi pilihan penting bagi pelatih timnas sejak 2016. Artinya, dia menjadi pemain yang telah merasakan tiga pelatih yang berbeda di masa pengabdiannya yang belum begitu lama—jika dibandingkan Boaz Solossa.

Selain Evan Dimas, banyak pemain yang terpilih di skuad Piala AFF edisi ke-12 ini berdasarkan performa yang sedang bagus. Sebut saja Irfan Jaya bersama Persebaya, Riko Simanjuntak bersama Persija, dan Dedik Setiawan bersama Arema FC. Nama terakhir bahkan merupakan pemain jebolan tarkam yang berhasil menembus skuad utama Arema FC asuhan Milan Petrovic. Bahkan Dedik salah seorang penyerang lokal yang tergolong produktif, usianya juga masih muda, sehingga punya peluang untuk masih bertahan di skuad Garuda di beberapa tahun ke depan jika berhasil menjaga konsistensi performanya.

Lalu bagaimana dengan kiprah penyerang lainnya, Alberto Goncalves?
Alberto Goncalves membela timnas Indonesia (sport.tempo.co)

Penyerang naturalisasi ini merupakan pemain yang bisa dikatakan paling diharapkan mampu memberikan banyak gol dan memuluskan langkah timnas Indonesia merengkuh trofi juara. Pesepakbola berusia 37 tahun ini jelas bisa dikatakan sangat terlambat untuk bergabung ke timnas Indonesia—senasib dengan penyerang naturalisasi sebelumnya Cristian Gonzales. Namun konsistensi performanya secara individu bisa dikatakan menjadi kunci dari alasan mengapa timnas Indonesia saat ini sangat membutuhkan pemain Sriwijaya FC ini.

Melihat skuad Merah Putih kali ini, sangat boleh bagi publik Indonesia untuk (kembali) berharap bahwa puasa gelar sejak Piala AFF ini digelar pada 1996 harus berakhir di edisi ke-12 ini.
Apakah bisa?

Pasti bisa.

Indonesia pasti bisa!
Skuad timnas Indonesia AFF 2018





Info tambahan:
Daftar peserta Piala AFF 2018
Grup A:
Vietnam
Malaysia
Myanmar
Kamboja
Laos

Grup B:
Thailand
Filipina
Indonesia
Singapura
Timor Leste

Skuad timnas Indonesia di Piala AFF 2018:
Penjaga gawang: 
Andritany Ardhiyasa (PERSIJA), Muhammad Ridho (BORNEO FC), Awan Setho (BHAYANGKARA FC)
Pemain belakang: 
I Putu Gede Juni Antara (BHAYANGKARA FC), Gavin Kwan Adsit (BARITO PUTERA), Rizki Rizaldi Pora (BARITO PUTERA), Fachruddin Wahyudi Aryanto (MADURA UNITED), Alfath Fathier (MADURA UNITED), Bagas Adi Nugroho (AREMA FC), Ricky Fajrin Saputra (BALI UNITED), Hansamu Yama Pranata (BARITO PUTERA)
Pemain tengah:
Zulfiandi (SRIWIJAYA FC), Muhammad Hargianto (BHAYANGKARA FC), Bayu Pradana (MITRA KUKAR), Stefano Yantje Lilipaly (BALI UNITED), Evan Dimas Darmono (SELANGOR FA), Septian David Maulana (MITRA KUKAR), Irfan Jaya (PERSEBAYA), Andik Vermansah (KEDAH FA), Febri Hariyadi (PERSIB), Riko Simanjuntak (PERSIJA)
Pemain depan:
Alberto Goncalves da Costa (SRIWIJAYA FC), Dedik Setiawan (AREMA FC)

NB: pemain yang namanya ditebalkan adalah prediksi pemain langganan starting eleven timnas di Piala AFF 2018.




Sumber informasi yang mendukung:
Bola.kompas.com
Bola.net
Tribunnews.com
Okezone.com
Liputan6.com

Comments

Popular Posts