Apa Klub Favorit Saya? (Premier League Edition)

                (Spesial Sepakbola Inggris)
Sumber gambar: Jawapos.com

Setiap penggemar bola pasti memiliki klub favorit, baik itu yang ada di negaranya sendiri ataupun dari negara lain. Begitu pula pada saya. Walau awalnya saya sebenarnya tidak terlalu fanatik.

Alasan besarnya, saat itu saya masih kecil dan pertandingan sepakbola kebanyakan berada di jam malam. Kalaupun ada pertandingan sore hari, itu adalah sepakbola Indonesia dan di waktu yang sama di jam-jam itu juga berbenturan dengan serial drama Korea.

Mungkin bagi generasi kelahiran 98 ke sini (2000-an) baru menonton drama Korea di tahun 2010-an atau paling cepat adalah pada tahun 2006-an. Karena, di tahun itu anak berusia 7 tahunan lebih siap untuk mengetahui, mengerti, dan mengingat tontonan seperti drakor dan sinetron. Itu pula yang saya alami sebagai anak kecil yang tentunya lebih mudah mengingat pertandingan olahraga dan acara kartun.

Namun, dalam tontonan olahraga seperti sepakbola yang saya cari hanya permainannya dan juga memanfaatkan kesempatan untuk membangun harapan agar kelak dapat menjadi pesepakbola (saat itu). Begitu pula dalam hal daya tarik yang biasanya masih berpaku pada terciptanya gol. Tim manapun yang mencetak gol, bagi saya saat itu adalah suatu hal yang menyenangkan untuk ditonton. Kalaupun ingin menjagokan klub/tim yang bertanding, biasanya berdasarkan warna jersey-nya, bukan namanya -masa bodoh dengan namanya yang saat itu juga belum terlalu saya kenali.

Bahkan, karena terlalu random-nya “tim jagoan” di dalam setiap pertandingan, saya pernah menjagokan tim yang ber-jersey hijau untuk menang atas tim yang berwarna putih dan seingat saya itu adalah Juventus. Bahkan, uniknya ibu saya mengingatkan jika Juventus adalah tim kuat. Namun, saat itu saya tidak peduli soal kuat ataupun tidak, yang penting saya melihat warna bajunya yang lebih “berwarna”.

Hal ini juga berlaku di sepakbola Inggris yang kebetulan sudah cukup mudah saya kenali nama-nama klubnya (dibandingkan negara lain) dan sama jumlahnya seperti saya mengetahui klub-klub di Indonesia. Saat itu saya bahkan sudah tahu Fulham, Aston Villa, West Ham, Birmingham, Blackburn Rovers, Bolton Wanderers, bahkan Leeds United dan Sheffield Wednesday.

Saking banyaknya klub Inggris yang saya tahu nama-namanya, membuat saya seringkali susah untuk menentukan siapa yang saya jagokan dalam suatu pertandingan untuk menang. Walau pada akhirnya saya mulai menjagokan berdasarkan nama besar tim tersebut ataupun juga berdasarkan para pemainnya.

Di situ, saya pun mulai menyukai klub yang berdasarkan penampilan pemainnya yang menyita perhatian saya dan itu adalah Liverpool. Ya, sebelum saya kini identik dengan tim Gudang Peluru London, saya sebenarnya menyukai Liverpool. Namun, bukan karena Steven Gerrard, Fernando Torres, ataupun Xabi Alonso. Saya menyukai Liverpool karena ada Sami Hyypia.

Sumber gambar: Sport.net

Saat itu ada pertandingan yang kemudian ada momen di mana Hyypia harus menyelamatkan gawangnya dari kebobolan dengan menyundul bola tepat sebelum bola melewati garis gawang. Gawang yang mungkin saat itu dikawal oleh David James ataupun penjaga lainnya akhirnya selamat. Tapi, saya sudah lupa apakah Liverpool memenangkan laga itu atau tidak yang pasti aksi Hyypia saat itu berhasil membuat setiap malam saya bermimpi akan melakukan hal yang serupa ketika bermain bola bersama teman-teman saya.

Selain itu, saya menyukai Liverpool karena warna jersey-nya yang merah. Walau ada Manchester United dan Arsenal, namun, saya merasa warna merah yang dimiliki Liverpool lebih murni sebagai warna merah. Permainan mereka juga lebih cepat (kini saya lebih menyukai istilah spekulatif) dan bersemangat seperti adrenalin anak seusia saya saat itu. Apalagi warna merah saat itu juga merupakan warna favorit saya yang juga merepresentasikan masa-masa “keberanian” saya.

Mungkin jika ada yang percaya tentang psikologi warna, maka saya bisa disebut sebagai salah satu orangnya. Apalagi saya juga mengetahui makna tentang warna dari ibu saya yang kebetulan sampai saat ini masih menyukai warna merah dan itu sesuai dengan karakternya yang selalu berani “menantang dunia” -dari dulu hingga sekarang.

Namun, masa romantisme saya dengan Liverpool semakin pudar. Khususnya saat saya sudah menginjak bangku SMP. Walau saat itu saya juga menjadi saksi atas keberhasilan Spanyol menjadi juara dan Fernando Torres adalah pencetak golnya.

Sumber gambar: Independent.co.uk


Rasa jatuh cinta saya kepada tim ber-jersey merah lainnya akhirnya ditandai dengan keberadaan laga yang mempertemukan Liverpool dengan Arsenal. Melalui laga itu saya yang saat itu melihat gol yang dicetak oleh Andrey Arshavin memutuskan untuk “hijrah” dari Merseyside ke London Utara. Walau saya tahu betul jika sejak saat itu, Arsenal tidak lagi segarang sebelumnya, namun saya seperti melihat cara hidup saya ada di sana.

Penuh perjuangan (struggling) dan ujian terhadap kesetiaan (loyality). Dua hal yang pada akhirnya memang saya alami hingga (mungkin) sampai saat ini. Lalu, apakah saya menyesal karena Arsenal gagal menang di final Liga Champions 2006?

Tentu saja tidak. Karena, saat itu saya juga masih bukan penggemar Arsenal. Bahkan, saat itu saya tidak terlalu peduli dengan sepakbola. Karena, seingat saya pada waktu itu saya harus fokus ujian kelulusan. Namun, saya tentu tahu final itu dan saat itu saya berpikir jika pemenangnya adalah Barcelona. Mengapa?

Saat itu saya juga tidak bisa berpikir tentang alasannya. Kalaupun saya sedikit ingat tentang alasannya, mungkin saya akan ceritakan di artikel selanjutnya. Lalu, apakah kemudian saya semakin galau ketika melihat Liverpool dapat juara Liga Champions -karena saya sudah bukan penggemarnya?

Jujur saja, saya tetap senang saat melihat pemenangnya adalah Liverpool, bukan AC Milan. Mengapa? Di lain artikel akan saya ungkapkan alasannya.

Lalu, apakah saya juga senang melihat Liverpool menjadi juara Liga Champions 2019? Tentu saja. Selain karena mampu mengalahkan Tottenham Hotspur (rival sekota Arsenal), saya juga sudah memprediksikan jika pemenangnya memang harus Liverpool.

Kali ini, faktor logisnya adalah keberadaan Jurgen Klopp yang lebih berpengalaman di kancah Liga Champions. Karena, perlu diketahui jika Klopp pernah mengantarkan Borussia Dortmund mencapai final, walau harus kalah dari Bayern Munchen. Modal itulah yang membuat siapa pun (termasuk saya) akan lebih menjagokan Liverpool dibandingkan Spurs (tanpa meremehkan Kane dkk).

Begitu pula dalam hal skuad. Bagi saya, klub Inggris yang memiliki kedalam skuad yang cukup baik selain Manchester City adalah Liverpool. Kebetulan Liverpool harus menghadapi sesama klub Inggris, maka faktor tersebut dapat menjadi kartu As mereka.

Kini, saya memang lebih bahagia menjadi penggemar Arsenal, walau saya tahu betul jika klub tersebut kesulitan untuk mencapai kejayaan (seperti tahun 2003). Bahkan ketika mereka seharusnya dapat menjadi juara, namun justru “mengalah” dari Leicester City. Begitu pula di musim 2019 yang mana The Gunners lagi-lagi gagal merengkuh trofi besar meski sudah bersama manajer baru, Unai Emery.

Bersama Emery, seharusnya pemenang Liga Eropa adalah Arsenal. Karena UEL sudah menjadi DNA Emery dan bahkan kepanjangan UEL saja bukan lagi UEFA Europa League, melainkan Unai Emery League. Namun, pada kenyataannya Petr Cech dkk takluk telak dari Chelsea yang masih dilatih Maurizio Sarri.

Menyedihkan, namun perjalanan bersama Arsenal masih tetap berlanjut. Bahkan, tidak ada alasan bagi saya untuk berpisah dengan Arsenal, kalaupun mereka pada akhirnya tidak mampu merengkuh trofi besar seperti EPL ataupun kompetisi Eropa (UCL/UEL). Bagi saya, Arsenal adalah simbol kehidupan yang tidak pernah sempurna dan itu selalu ada di dalam kehidupan saya.

Walau saya secara pribadi selalu menginginkan yang terbaik. Namun, jika mata saya harus melihat kenyataan, maka kenyataan itulah yang harus saya terima pada akhirnya. Begitu pula dalam hal memfavoritkan Arsenal. Meskipun tim itu harus melawan tim sekuat Barcelona, saya tetap legawa untuk berada di pihak Arsenal. Karena, melihat tim yang selalu berupaya kembali tegak ketika limbung adalah suatu motivasi besar bagi saya yang terkadang sangat membutuhkan inspirasi agar dapat tetap kuat dalam menghadapi kehidupan yang "kerad". Hehehe....

Akhirnya, saya sudah menyampaikan perjalanan saya dalam menyukai klub sepakbola. Namun, ini masih tentang sepakbola di Inggris. Karena, saya juga menonton dan cukup mengikuti persepakbolaan di negara lain; Italia, Spanyol, dan tentunya Indonesia. Maka, saya juga akan mengulas tentang klub favorit saya dari negara-negara itu. See you!


Malang, 7 Oktober 2019
Deddy HS.

Comments

Popular Posts