APAKAH MENGHAPUS KARYA SENDIRI DILARANG?

Gambar dari penulis

Perhatian: kata “penulis” di sini adalah kata ganti subjek “saya”.

Hm... pertanyaan ini sebenarnya sering berkutat pada para pengkarya, apapun itu bidangnya. Di balik itu, kemudian tidak hanya tentang proses yang ingin diketahui oleh orang lain/khalayak umum. Tapi juga tentang perlakuan terhadap karya yang sudah jadi. Yap! Benar-benar sudah jadi, alias sudah dibubuhi watermark (karya mural/lukisan),
sudah te-render (video/film), sudah ter-mastering (audio/musik), ataupun yang sudah tercantum kata “TAMAT” (karya tulis). Entah, itu karyanya sudah dipublikasikan maupun yang hanya disimpan/dikoleksi sendiri.

Lalu, apakah mereka semua “selamat”?

(1)
Beberapa pengkarya bisa saja bilang, “mereka selamat. Mereka tetap tumbuh dan besar bersama saya. Karena, seperti apapun bentuk mereka, mereka adalah saksi pertumbuhan dan perkembangan terhadap kualitas saya.”

Bagaimana? Ada yang setuju?

Penulis juga merasa ungkapan itu ada benarnya. Sebaik dan seburuk karya itu, mereka adalah bagian dari perjuangan kita dalam berkarya. Jadi, sudah seyogyanya mereka dapat tetap hidup bersama kita.

(2)
Namun, ada pula yang mengatakan begini, “mereka bisa datang dan pergi. Seperti kita yang bisa lahir, hidup, dan bisa kapan saja mati, tentu tanpa kita kehendaki sepenuhnya. Bahkan, bisa saja kita menghendaki diri kita mati, bukan? Itu juga berlaku untuk mereka. Mereka bisa muncul ke permukaan, juga bisa tenggelam dan tak pernah muncul lagi.”

Mereka ada di tangan kita. kita yang menciptakan, maka kita berhak untuk menentukan nasib mereka.” Apakah ada yang setuju dengan pernyataan kedua itu?

Lalu, bagaimana menurut penulis?

Penulis juga berpikir tentang kendali alias create and control.
Artinya, kita tidak hanya dapat menghasilkan karya tapi juga mengontrol karya-karya tersebut. Mengapa?

Karena, di situlah kita dapat belajar melihat kualitas dan objektivitas. Kualitas akan sulit muncul jika kita terlalu sayang dengan apa progres kita hari ini. Sedangkan di hari-hari selanjutnya kita tidak pernah dapat melebihi progres hari ini. Lalu, untuk apa kita menambah hari-hari kita jika apa yang kita lakukan sama saja?

Itulah mengapa, kita perlu kejam. Meski itu adalah untuk karya kita. Karena, sebelum orang lain menilai, tentu kita harus mampu menilai juga bagaimana karya kita. Tujuannya adalah untuk membuat kita lebih legowo.

Memang, sedikit mustahil bagi seorang pengkarya untuk legowo ketika karyanya dikritik habis-habisan. Apalagi jika berpikir bahwa menghasilkan satu karya saja sudah membutuhkan perjuangan yang tak sedikit. Exactly!

Namun, banyak orang di luar sana tidak peduli tentang itu. Kalaupun ada, mereka pun butuh jam terbang untuk terbiasa menerima kekurangsempurnaan karya kita, dan itu perlu kesempatan yang tepat untuk bertemu dengan orang-orang yang sedemikian rupa.

Sedangkan kita tidak semuanya dapat menemukan ruang dan orang-orang yang tepat untuk dapat menilai karya kita dengan kapasitas pemahaman kita. Maksudnya adalah pentingnya kita dalam memahami lingkup tempat kita beradu karya dan orang-orang yang dapat menilai karya kita.

Hal itu bisa berhasil jika kita juga sudah membekali diri dengan mentalitas yang tangguh, khususnya dalam memperlakukan karya. Termasuk salah satunya adalah menghapus karya. Menurut penulis, menghapus karya bukanlah hal yang dilarang. Kita sangat punya hak untuk itu.

Namun, tetap dengan catatan, bahwa kita menghapusnya karena sudah siap untuk melakukannya. Jika sudah siap, maka kita akan ikhlas untuk kehilangan karya itu, SELAMANYA. Kita juga tidak akan menganggap itu adalah karya kita ataupun jika kita masih mengingatnya, maka anggap saja bahwa itu adalah bagian dari pengalaman kita atau lebih tepatnya eksperimen/ujicoba.

Melalui metode itu, kita bisa belajar dari karya-karya yang (dianggap) gagal dan yang terhapus. Selain itu, ada faktor tertentu yang mendorong penulis untuk lebih pro terhadap tindakan menghapus karya yang sudah jadi namun dianggap gagal. Yaitu, adanya dorongan lebih untuk menghasilkan karya baru lagi dan lagi.

Ketika satu karya lenyap, maka harus ada karya baru. Bahkan, tidak jarang satu judul tulisan hari ini yang lenyap harus “diganti” dengan dua-tiga judul di hari esoknya. Artinya, menghapus karya juga harus dibarengi dengan keinginan kuat untuk membuat karya lagi secara terus-menerus dan itulah yang kemudian membuat kita semakin tangguh.

Berbeda dengan cara yang berdasarkan pendapat pertama (1). Menurut penulis, cara itu hanya diuntungkan dengan menumpuknya arsip-arsip. Artinya, secara kuantitas memang akan sangat terlihat luar biasa banyaknya. Namun secara objektif, cara itu hanya akan identik dengan istilah “pengumpulan sampah”.

Penilaian yang memang sungguh kejam. Namun, pada realitasnya orang lain seringkali melihat rumah yang penuh barang lama yang tak terpakai sering disebut sebagai rumah lusuh atau rumah yang banyak sampah.

Meski kita mati-matian menganggap itu bernilai dan lain sebagainya, orang lain tak akan menggubris. Kejadian semacam ini yang seringkali membuat kita pada akhirnya sering merasa sakit hati, karena berpikir bahwa orang lain sangat kejam. Padahal apa yang mereka nilai bisa saja memang benar. Hanya, kita saja yang terlalu sayang dengan apa yang dimiliki sampai mengabaikan satu kata yang sangat sakral, yaitu kualitas.

Ketika kita terlalu sayang dengan karya-karya kita, kita akan sulit menemukan kualitas pada karya-karya kita. Karena, ibarat di mata orang yang jatuh cinta; seburuk apapun sifat dan sikap orang yang kita cintai, kita akan tetap menganggap si dia patut dibela habis-habisan. Itulah letak kesalahannya -di mata orang lain, dan itu juga berlaku dalam hal berkarya.

Jadi, apakah Anda salah satu orang yang terlalu sayang dengan karya Anda?
Atau Anda adalah “algojo” bagi karya Anda sendiri?
Hm... semoga Anda punya jawabannya sendiri-sendiri.



Indonesia, 13-14 Januari 2020
Deddy HS.

Comments

  1. Yes.. i like this write son. Tidak terlalu sayang. Kita adalah raja atas tulisan kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Raja saja bisa menghukum rakyatnya yang dianggap bersalah kan, bu? Hehehe. Salam hangat Bu Anis! Terima kasih sudah berkenan hadir dan menanggapi.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts