Menjadi Penulis dalam Kacamata Saya itu...
![]() |
Gambar dari penulis |
Sulit. Itu adalah kata yang tepat untuk mengawali ulasan bebas di blog ini. Sebenarnya saya juga tidak terlalu berharap bahwa tulisan ini akan mengangkat topik penulis secara khusus dan mendetil maupun secara umum dan luas. Ulasan ini hanya bersifat curahan dari pikiran saya saja terhadap apa itu penulis dan bagaimana perannya ketika harus bersandingan dengan status-status lainnya.
Ada banyak orang yang menyangka menjadi penulis adalah hal yang paling mudah untuk dilakukan di dunia ini. Terbukti, banyak orang yang berlomba masuk ke ranah media menulis rame-rame, seperti Kompasiana, Kaskus, IDNTimes, Medium, dan lainnya. Mereka tidak hanya menjadi pembaca di situs-situs tersebut, namun juga menulis. Namun, apakah mereka dapat bertahan?
Lebih dari 50% bisa dikatakan tidak, dan itu dapat menunjukkan bahwa menjadi penulis (berarti) tidak gampang, bukan?
Saya tentu tidak akan menyebutkan faktor-faktor yang membuat mereka banyak berguguran di medan tempur aksara tersebut. Namun yang pasti, menjadi penulis sama halnya ketika kita berharap menjadi PNS. Dari sekian juta orang yang mendaftar, siapa yang dapat masuk dan bertahan sebagai PNS yang sebenar-benarnya PNS?
Begitu pula ketika kita berharap menjadi status-status yang lain. Misalnya menjadi komikus. Dewasa ini, sejak platform komik online muncul di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Membuat banyak orang yang menyatakan diri sebagai pemilik otak kreatif berlomba untuk berkarya di bidang tersebut. Berhasilkah?
Tentu, ada yang berhasil. Namun, dengan jumlah calon komikus yang sebanyak itu, tentu ada yang gagal. Mengapa?
Mindset.
Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa menjadi komikus adalah satu step di atas penulis. Penulis di sini dapat difokuskan sebagai penulis naskah fiksi (novel, cerpen, dan sejenisnya). Jika sedikit dibandingkan, mereka yang “hanya” menulis, hanya mampu menyajikan karya dalam bentuk tulisan. Sedangkan komikus dapat menghadirkan kisah dalam dua bentuk langsung; teks (dialog dan situasi) dan gambar (tokoh, tempat, dan adegan). Bisa dikatakan komplit. Betul?
Lalu, apakah benar keduanya tidak berada di level yang sama?
Ada yang bisa menjawab, “iya, mereka berbeda levelnya”. Boleh saja dijawab demikian, jika memang patokannya seperti yang sudah diungkap di atas. Namun, ada yang dapat mengatakan “tidak. Mereka sama”. Mengapa?
Karena, tanggung jawab mereka sama. Si penulis tanggungjawabnya adalah menghasilkan tulisan yang sudah selesai dan selamanya boleh hanya menjadi karya tulis, alias tidak perlu ngebet untuk diangkat menjadi film, serial, maupun teater, meski tulisannya dapat disebut bagus. Sedangkan si komikus tanggungjawabnya adalah menuntaskan karyanya dalam bentuk komik. Dia juga tidak perlu berharap bahwa karyanya harus difilmkan, dianimasikan, ataupun diadaptasi ke bentuk-bentuk lain. Toh, tanggungjawabnya sudah selesai kok.
Artinya, keduanya hanya perlu menuntaskan tanggungjawabnya sesuai statusnya, dan itulah letak di mana mereka dapat disebut sejajar. Apakah argumentasi ini dapat dipatahkan?
Bisa. Misalnya, si komikus sudah memiliki banyak karya (komik) dan kemudian beberapa komiknya juga diangkat ke bentuk karya lain, seperti film ataupun animasi. Maka, tidak akan mengherankan jika si komikus menganggap menjadi komikus lebih sempurna dari penulis. Karena mereka bisa memberikan gambaran lebih nyata kepada pembacanya dan memudahkan para pengadaptasi karya lain untuk membayangkan penokohan dan penyettingannya. Apakah mau ambil contoh?
Misalnya, komik “Samurai X” di Jepang. Atau “Journal of Terror” di Indonesia. Para pembaca komik yang kemudian tahu bahwa karya-karya itu diadaptasikan ke bentuk film dan lainnya, akan lebih mudah “menargetkan” seperti apa wujudnya. Karena, mata dan imajinasi mereka sudah terbentuk dari komiknya. Sebenarnya hal ini juga sama seperti ketika kita membayangkan Gundala versi komik (Hasmi) dan versi filmnya (Joko Anwar). Kita akan berusaha mematri sosok Gundala seperti yang ada di komik di kepala kita, meski pada akhirnya Gundala 2019 hadir dengan wujud yang berbeda.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena komikusnya (maaf) tidak ada (sudah almarhum). Sehingga, ketika logika pengisahan dari sutradaranya sudah solid, siapa yang dapat membantahnya selain komikusnya? Tidak ada.
Itulah mengapa tidak begitu mengherankan jika komikus juga perlu berperan besar di balik layar pada bentuk karya lain, ketika karya komiknya diadaptasi. Faktor inilah yang dapat membuat sinar komikus semakin terang. Lalu, bagaimana dengan penulis?
Sama! Penulis pun dapat mengalami level yang serupa. Bahkan, mereka adalah sosok yang lebih selfish dibandingkan status-status pengkarya yang lain. Karena, mereka memiliki standar tersendiri, dan standarnya sulit diraba oleh orang lain. Kok bisa?
Ambil contoh seperti film Harry Potter. Memangnya, siapa yang bisa membayangkan Harry Potter yang seperti Daniel Radcliffe jika itu bukan J.K Rowlings? No one! Hal ini tentu di luar dari faktor non-teknis, seperti keberadaan Radcliffe “lainnya” di balik layar film Harry Potter.
Sedangkan melalui komik, kita bisa membayangkan Clark seperti apa, Bruce Wayne seperti apa, Diana from Amazon idealnya seperti apa. Itulah mengapa, tidak sedikit para penulis turun tangan untuk menjadi sutradara, bahkan kebanyakan sutradara berangkat dari keahliannya menyusun naskah. Correct!
Inilah zaman sekarang. Kita perlu skenario, kita butuh alur, kita butuh kejelasan. Melalui tulisanlah, hal itu dapat diwujudkan. Namun, apakah semua dapat melakukannya? Tidak banyak. Karena, menyusun cerita yang sistematis dan mudah dicerna pembaca tidak gampang. Hanya orang-orang yang berani menghadirkan tulisan yang mencerminkan dirinya yang dapat bertahan. Misalnya, Sir Arthur Conan Doyle dengan serpihan kisah detektifnya hingga yang pasti dengan Sherlock Holmes-nya.
Di sini kita mulai digiring pada fase keberhasilan penikmat karya untuk bebas memilih. Manakah karya yang dapat dinikmati, dan itu tidak penuh dengan paksaan. Sehingga, itu akan menentukan karya apa yang bakalan paling mudah dikonsumsi.
Melalui perkembangan media komik online seperti saat ini, tentu karya komik akan banyak disukai. Namun, apakah itu artinya menjadi komikus adalah hal yang paling menjanjikan? Tidak juga. Karena, jika basis berkaryanya adalah teknik visual, dia akan sedikit mengabaikan kemampuannya dalam menyusun cerita. Ceritanya menjadi mudah ditebak ataupun mudah terseret arus, dan lainnya. Selain itu, dia akan lebih baik menjadi ilustrator saja dibandingkan menjadi komikus yang artinya dia harus menjadi pemilik asli ide cerita dan dia juga yang harus memvisualkan cerita tersebut.
Bahkan, menjadi ilustrator bisa saja menjadi lebih berkembang prospeknya, karena dia tidak akan terikat oleh satu proyek saja. Sedangkan, menjadi komikus, dia harus berkomitmen dan tentunya harus memastikan bahwa karyanya dapat berkembang dengan keberadaan judul-judul yang berbeda.
Jika hal itu yang terjadi, maka masa depannya sebagai komikus dapat berjalan lebih lama. Sama halnya, jika si komikus berbasis penulis. Karyanya akan lebih tertata dan tahu kapan berakhirnya satu judul yang dihasilkan. Sejauh ini, jarang komikus yang mampu menentukan kapan dia berakhir atau menuntaskan satu judul komiknya, karena basis ceritanya tidak tertulis. Tentu bagian ini tidak saya sebutkan contoh-contohnya. Namun, ini dapat menjadi masukan bagi calon-calon komikus. Mengapa?
Karena, ketika kita pernah menjadi penulis, kita tahu kapan kita mengakhiri kisah dan kapan kita membuat judul baru, dan ini seringkali hanya mampu dilakukan oleh penulis. Penulis tidak mungkin hanya memikirkan satu judul selama setahun, bukan? Dia pasti harus menyelesaikan satu judul dalam rentang waktu yang lebih efisien. Tujuannya, agar dia dapat menghasilkan judul-judul baru, memanfaatkan ide-ide segar, dan itu dapat membuat kemampuan menulisnya kian meningkat.
Bagaimana dengan komikus?
Kita bisa mengenali kinerja komikus melalui karya-karya komik yang beredar di sekitar kita dengan kacamata masing-masing. Dari sanalah kita (sedikit) dapat menilai bahwa menjadi komikus juga ada lubangnya, bahkan cukup besar. Sedangkan menjadi penulis, mereka hanya harus siap dianggap remeh ataupun dianggap terlalu dewa (sulit dipahami dan diikuti). Meski pada kenyataannya, siapapun dapat menulis. Hanya, apakah kita mau mencoba atau tidak. Itu yang menjadi persoalannya.
Sedangkan untuk menjadi komikus, tidak semua orang tertarik. Karena, menjadi komikus tidak hanya harus dapat menyusun cerita, tapi juga harus mampu menggambar. Begitu pula ketika mampu menggambar, dia juga harus mampu menulis. Jadi, buat apa repot-repot menjadi komikus, jika dua hal itu tak berjalan seiring? Biarkan saja mereka yang memang memiliki niat tinggi menjadi komikus yang bertahan. Sedangkan kita, cukup menjadi penikmat dan pengapresiasinya. Hehehe.
Sebenarnya, ada satu poin lagi yang dapat saya ulas di topik ini. Namun, akan saya tayangkan di waktu selanjutnya. Agar waktu Anda tidak terpotong banyak hanya untuk membaca tulisan bebas saya ini. Selamat berkarya, dan salam!
Indonesia, 8-18 Januari 2020
Deddy HS.
Aha.. Pinter sudah anak bunda rupanya
ReplyDeleteAsiyap bu Anis. Terima kasih sudah mampir dan menanggapi. Salam!
DeleteYup...
ReplyDeleteMakanya saya jadi coloring saja karena komikus itu butuh 2 keahlian.
Siap. Semoga bisa berkerlanjutan dan sukses. Salam!
DeleteKereen kak, I like this
ReplyDeleteTerima kasih! Semoga bermanfaat. Salam!
DeleteMantul, hanya yang kuat yang bertahan ya...
ReplyDeleteBisa jadi demikian Bu Annisa. Terima kasih telah mampir dan menanggapi. Salam!
DeleteEdukatif bangettttt. Sukses kak
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tika. Semoga bermanfaat. Salam!
DeleteMerkur Casino Review for 2021 | Pros and Cons + Pros
ReplyDeleteMerkur Casino is a poormansguidetocasinogambling.com reputable online ventureberg.com/ casino with more than herzamanindir.com/ 1000 games. This casino features over 1400 토토 games including classics https://septcasino.com/review/merit-casino/ like