Pelatih Asing Berkualitas di Persepakbolaan Indonesia
Mereka hadir untuk memperkaya warna sepak bola Indonesia
Part 1
Nyaris tak ada habisnya untuk membahas tentang dunia
sepak bola nusantara. Olahraga yang sangat dicintai masyarakat Indonesia dan
bahkan mampu memicu fanatisme di mana-mana dan segala lapisan masyarakatnya.
Namun, kali ini kita akan membahas tentang kiprah dan sumbangsihnya para
pelatih asing yang memilih untuk berkarir melatih tim sepak bola di Indonesia
baik itu di level klub maupun tim nasional. Berbicara soal pelatih asing tentu
kita akan melihat sejarahnya atau lebih tepatnya siapa kira-kira yang menjadi
pelatih asing pertama di Indonesia. Ada yang tahu?
Jika dirunut ke sejarah kompetisi sepak bola Indonesia
secara profesional dan kompetitif berawal, secara resmi kabarnya Liga Indonesia
dimulai sejak 1994 atau 1995. Dari sini, kemudian kita merunut siapakah yang
menjadi pelatih asing pertama (ketika di-search di laman internet) muncul nama
Henk Wullems. Pelatih ini awalnya melatih di klub yang dulu bernama Mtrans
Bandung Raya. Mungkin sekarang kita mengenalnya Pelita Bandung Raya atau PBR,
gabungan dari Pelita Jaya dan Bandung Raya. Itulah dia, pelatih asing pertama
yang berkarir di persepakbolaan Indonesia. Henk Wullems juga kabarnya pernah
menjadi pelatih di timnas Indonesia pasca keberhasilannya membawa MBR juara di
Ligina 1996. Memang secara pribadi tidak begitu mengenalnya, karena faktor usia
penulis yang masih muda (bahkan baru lahir ketika Liga Indonesia dibentuk) jadi
yang diketahui pun pelatih-pelatih yang berkarir setelah 2000-an. Hehehe.
Nah, setelah menyebutkan tentang pelatih asing pertama
yang berkarir di Indonesia. Kini, langsung pada siapa pelatih-pelatih yang
memberikan sumbangsih cukup besar di sepak bola Indonesia. Dari sekian banyak
pelatih asing yang berkualitas, penulis akan menyebut beberapa saja. Yaitu,
Peter Withe, Ivan Kolev, Jacksen F. Thiago, Robert Rene Albert, Alfred Riedl,
dan Luis Milla.
Peter Withe saat berada di masa latihan bersama timnas Indonesia (sidomi.com) |
Dimulai dari Peter
Withe yang pada saat itu diketahui secara pribadi mampu membawa timnas
Indonesia mencapai partai puncak di Piala Tiger 2004. Hanya saja, sangat
disayangkan gagal meraih trofi Piala Tiger, karena kalah melalui adu penalti
melawan Singapura. Laga tersebut secara pribadi menjadi memori yang cukup
mengesankan meskipun tahu bahwa Indonesia gagal menjadi yang terbaik di ASEAN. Di
timnas tersebut, kita sudah mengenal seluruh pemain yang kini sudah menjadi
pemain legenda, baik di timnas maupun di klub masing-masing. Termasuk sebagai
legenda di posisi bermainnya. Seperti Hendro Kartiko yang menjadi kiper
legendaris di timnas sebelum akhirnya muncul nama-nama kiper hebat seperti
Jendri Pitoy, Markus Horison, sebelum kita mulai lebih familiar dengan
nama-nama seperti I Made Wirawan, Kurnia Meiga, Andritany, dan Awan Setho.
Posisi penjaga gawang di timnas Indonesia memang sangat sering menghadirkan
pemain-pemain berkualitas selain bek, dan pemain tengah. Sedangkan untuk pemain
depan, masih abu-abu. Baca di artikel sebelumnya yang sedikit membahas tentang
pemain depan untuk timnas Indonesia dan kompetisi domestik. http://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/06/bambang-pamungkas.html
Kemampuan Peter Withe dalam meramu taktik untuk dimainkan
oleh skuad yang terpadu antara pemain muda dan pemain senior dinilai cukup
berhasil kala itu. Mengingat setiap pelatih yang datang dari Eropa perlu
penyesuaian terhadap pola permainan di Asia khususnya di Indonesia yang
biasanya memiliki perbedaan pola mainnya. Namun, jika dilihat sedikit lebih
jeli, permainan timnas Indonesia kala itu sedikit mirip dengan pola permainan
Eropa yang bermain rapat antara satu pemain dengan pemain lainnya. Lalu
sesekali bermain long ball pass ke
depan ketika di sana ditemukan adanya ruang bebas bagi satu-dua pemain. Salah
satunya memanfaatkan kecepatan Boaz Solossa. Warisan skuad Peter Withe di
timnas 2004 ini juga pada akhirnya masih menjadi bagian dari skuad timnas di
era-era pelatih selanjutnya. Menariknya, pilihan pemain-pemain di era Peter
Withe adalah pemain-pemain yang selalu sedang atau mulai on fire di klub-nya, bukan bedasarkan track record saat bermain di timnas saja. Seperti Ilham Jayakesuma, misalnya. Bahkan di
sana sudah ada pemain masa depan yang kini sudah menjadi salah seorang
pesepakbola legenda di Indonesia, Boaz
Solossa.
Peter Withe mantan pemain Aston Villa (theleaguepaper.com) |
Mengingat jikalau dirinya adalah mantan pemain depan di
timnas Inggris dan di liga Inggris, maka tak mengherankan jika dirinya memiliki
kemampuan lebih dalam memilih pemain-pemain depan. Tipikal pemain cepat
juga disukai, namun lebih pada kemampuan menguasai bola cukup lama sepertinya
menjadi poin tersendiri bagi pelatih yang suka bertopi ini. Selain first touch dan finishing-nya yang juga menjadi harga mutlak bagi striker manapun. Kurniawan Dwi Yulianto masih bertahan
sebagai pilihan di skuad meskipun bermain dari bangku cadangan pun sepertinya
menjadi pertimbangan tersendiri bagi pelatih ini. Terbukti, bahwa pemain yang
akrab disapa Kurus ini masih mampu berkontribusi terhadap timnas.
Setelah Peter Withe, kita akan mengenal sosok Ivan Venkov Kolev, pelatih ini semakin disegani
ketika mampu membawa timnas berlaga di Piala Asia 2007 ketika Indonesia
bertindak sebagai tuan rumah kala itu—salah satu tuan rumah selain Thailand,
Malaysia dan Vietnam. Kemenangan atas timnas Bahrain adalah salah satu laga yang cukup diingat publik karena
mampu menunjukkan determinasi dari para pemain untuk tetap bisa memberikan
perlawanan yang cukup berarti—agar tidak terlalu mengecewakan publik sendiri,
apalagi di laga pembuka fase grup. Terlepas dari polemik di persepakbolaan
Indonesia kala itu—sepak bola Indonesia tanpa polemik seperti ‘sayur tanpa
gula’, namun mampu tampil cukup baik. Khususnya di laga melawan Bahrain.
Sebenarnya tidak adil jika hanya melihat satu laga saja. Meski memang, timnas
hanya sanggup meraih satu kemenangan saja, sedangkan di dua laga selanjutnya
Indonesia harus mengakui keunggulan tipis dari Korea Selatan (0-1) dan Arab
Saudi (1-2), yang kini keduanya tetaplah menjadi dua di antara timnas
raksasa Asia lainnya. Memang, tak ada prestasi yang diraih di masa-masa
kepelatihan Ivan Kolev. Namun, keberadaan Ivan Kolev memberikan gaya permainan
yang cukup baik. Yaitu, keberanian para pemain untuk bermain efektif dan
berani membangun serangan dari bawah. Tentu dengan serangan cepat khas
pemain-pemain Indonesia yang memang dikenal memiliki speed-dribbling luar biasa.
Ivan Kolev (instahu.com) |
Pemilihan pemainnya pun selain menggunakan pemain-pemain
yang memiliki jam terbang tinggi di level timnas, juga menggunakan
pemain-pemain yang cukup bertaji di level klub. Ada tiga kiper yang sama-sama
sedang berada di level tinggi performanya, yaitu Jendri Pitoy, Markus Horison,
dan Feri Rotinsulu. Di bek ada Charis Yulianto dan Maman Abdurahman, kombinasi
palang pintu senior dan calon penerusnya. Di tengah ada Ponaryo Astaman, Firman
Utina, Syamsul Bachri, dan Eka Ramdani yang mendirijen permainan dari kaki ke
kaki. Mereka tentu akan bermain bergantian sesuai dengan taktik yang diinginkan
pelatih. Karena di sana sudah cukup balance.
Karakter gelandang penghancur serangan lawan ada di kaki Ponaryo dan Syamsul
Bachri Chaeruddin. Sedangkan Firman Utina dan Eka Ramdani akan menjadi otak
serangan timnas. Di depan ada pemain cepat seperti Ellie Aiboy dan Rahmat
Rivai, lalu ada target man Bambang
Pamungkas (BP) dan Zaenal Arief yang bisa bermain bergantian. Selain itu ada
Budi Sudarsono yang memiliki kemampuan dribbling
mumpuni dan visi membangun serangan dari tengah lapangan mendukung upaya playmaker Indonesia (Firman Utina, Eka
Ramdani, atau Atep). Skuad ini dirasa sudah cukup untuk membantu kinerja Ivan
Kolev yang memiliki aroma bermain yang sedikit berbeda dengan Peter Withe. Jika
Peter Withe menyukai gaya permainan cepat aliran bola dari pemain satu ke
pemain lainnya. Sedangkan di tangan Ivan Kolev, timnas Indonesia lebih berani
menguasai bola di lini tengah. Bahkan pemilihan pemain tengah yang memiliki
kemampuan berduel di lapangan tengah menjadi perhitungan utama. Termasuk
menyisipkan pemain-pemain cepat seperti Mahyadi Panggabean, Ismed Sofyan, Erol
Iba dan M. Ridwan untuk menjadi strategi lainnya dalam mengacak-acak pertahanan
lawan.
Saat merayakan gol di timnas Indonesia (alchetron.com) |
Berada di masa Ivan Kolev, kita setidaknya sudah tahu
bagaimana caranya memaksimalkan pemain-pemain terbaik dari Sabang sampai
Merauke. Hanya saja, ada pekerjaan rumah yang harus diperbaiki sang pelatih
kala itu untuk para pemain timnas yang pada masa itu semua pemainnya sedang
berada di masa emasnya. Apa yang perlu diperbaiki? Mentalitas dan sportivitas. Mentalitas
ini ada kaitannya dengan semangat juang selama 90 menit—menit tambahan. Ini
penting karena seringkali timnas Indonesia cepat down ketika menghadapi pemain
hebat, atau terlambat panas, atau bisa disebut juga dengan istilah ‘terlalu
hormat’ dengan lawan. Hal ini yang kadang menjadi halangan untuk bisa mengimbangi
permainan.
(kaskus.co.id) |
Sportivitas ada kaitannya dengan cara main. Maksudnya di sini adalah perilaku pemain
timnas Indonesia yang kadangkala mudah protes ketika ada kejadian-kejadian yang
menurut mereka harus dihentikan atau diadili oleh wasit. Hal ini kemudian
mengerucut pada konsentrasi permainan yang seringkali terganggu dengan hal-hal
semacam itu. Karakter-karakter keras seperti Mahyadi, Erol Iba, Charis Yulianto
(namun dia senior sehingga sudah lebih tenang dibanding rekan-rekannya), Ponaryo
Astaman yang terkadang terlalu beringas dalam menghadang laju pemain lawan.
Termasuk Syamsul Bachri yang sama-sama lugas bermainnya seperti Ponaryo. Dan
ini terkadang bisa menjadi blunder tersendiri bagi tim secara keseluruhan.
Sekaligus dapat dimanfaatkan bagi lawan untuk memancing emosi dari pemain tim
Garuda di dada ini.
Jacksen dan istri (sport.detik.com) |
Setelah Ivan Kolev, kita kemudian mulai mengenal
kedigdayaan mantan pemain Petrokimia Gresik, PSM dan Persebaya. Jacksen Fereira Thiago. Pria yang
identik dengan gaya menaruh sedotan plastik minuman gelas mineral di mulutnya
ini, mulai menjadi pelatih yang sangat disegani di kompetisi sepak bola
Indonesia setelah berhasil membawa Persipura menjuarai Liga Indonesia atau saat
itu sudah berganti format menjadi Indonesia Super League (ISL)—menjadi kompetisi
penuh semusim seperti liga-liga di Eropa. Tak tanggung-tanggung, dia memberikan
3 gelar ke tim berjuluk Mutiara Hitam tersebut. Latar belakangnya dari Brazil,
membuat banyak orang menyebut jika dirinya memang tidak begitu kesulitan untuk
menerapkan gaya main khas Brazil yang cepat, dipadu dengan skill individu berkelas,
juga dengan kemampuan bermain kompak saat bertahan dan menyerang ke Boaz Solossa dkk.
merayakan juara bersama Persipura di ISL (bola.kompas.com) |
Persipura adalah salah satu klub pencetak pemain berkualitas dari
tanah Papua dari masa ke masa yang sudah turut pula menyumbangkan banyak
pemain-pemain hebat untuk timnas Indonesia. Keberadaan Jacksen F. Thiago
sebagai pelatih pun seperti berkah bagi Persipura untuk dapat membuat tim yang
seringkali disponsori oleh Freeport
dan Bank Papua ini mampu berbicara
banyak di kancah sepak bola Indonesia dan Asia (Liga Champions Asia dan Piala
AFC). Permainan kompak menjadi kunci dan identitas dari arahan Jacksen
terhadap Persipura. Tentu tak lupa dengan memaksimalkan speed dan skill
pemain-pemainnya untuk dapat mendobrak pertahanan lawan. Hal ini menjadi gaya
yang seolah sedikit berbeda dibandingkan permainan klub-klub lain di Indonesia.
Permainan Persipura yang cantik dalam membangun serangan didukung dengan permainan
tenang dalam bertahan. Hal ini sangat menakjubkan, mengingat pemain-pemain
asal Indonesia Timur kadangkala diidentikkan dengan permainan keras. Hal ini
jelas menjadi nilai plus dari Jacksen
yang mampu memberikan taktik sekaligus menjadi identitas (merubah gaya main
secara individu maupun tim), sekaligus merubah persepsi orang lain dan membuat
Persipura bisa dikatakan sangat komplit pada saat itu—susah dikalahkan baik
laga kandang maupun tandang.
Jacksen latih timnas (republika.co.id) |
Menariknya adalah Persipura tak jarang untuk mengirimkan
salah satu penyerangnya sebagai peraih gelar penyerang tersubur kompetisi.
Seperti Boaz dan Alberto ‘Beto’ Goncalves. Terkhusus bagi Boaz yang tak hanya
menjadi striker ‘terganas’, namun juga menjadi pemain terbaik, mengingat
dirinya tak hanya menjadi tulang punggung mencetak gol saja. Pemain dengan
nomor punggung 86 ini juga mampu menjadi kapten tim yang berkharisma—mampu
meredam keresahan di timnya ketika sedang menghadapi perdebatan dengan pemain
lawan. Ban kapten inilah yang disinyalir menjadi salah satu faktor pendewasaan
dalam bermain sekaligus mengembangkan perannya sebagai dirijen permainan di
lini tengah untuk mendampingi playmaker
seperti Robertino Pugliara, Zah Rahan, atau pemain lainnya kala itu.
(sidomi.com) |
Keberhasilan Persipura nyaris tak bisa dilepaskan dari
pengaruh tangan gempal Jakcsen F. Thiago. Setelah mengantarkan Persipura untuk
terus konsisten di papan atas kompetisi nasional, Jacksen pun dipanggil PSSI
untuk melatih timnas. Kiprahnya memang tak lama di kursi kepelatihan tim Garuda,
sehingga masih belum maksimal untuk memberikan yang terbaik untuk timnas.
Namun, filosofi permainannya sampai saat ini masih menjadi salah satu yang
terbaik. Bahkan sudah mulai digunakan oleh klub-klub Indonesia lain untuk dapat
bersaing kompetitif di liga domestik maupun Asia. Terakhir, tim yang mampu
menjalankan strategi bermain solid saat bertahan dan menyerang adalah Persija—khususnya saat bermain di Piala
Presiden 2018 dan Piala AFC, meskipun bukan dengan arahan Jacksen F. Thiago,
melainkan Stefano ‘Teco’ Cugurra.
Kompetisi sepak bola Indonesia pernah dianggap mengalami
masa jayanya. Hal ini tak lepas dari keberadaan banyak pelatih-pelatih hebat
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain Jakcsen F. Thiago, kompetisi ISL
pada saat itu juga menghadirkan juru taktik asing lainnya yang berasal dari
Belanda. Betul sekali! Dia adalah Robert
Rene Albert. Pemberi nama Arema Indonesia dan sekaligus membuat Stadion Kanjuruhan
menggelora dan menggelar pesta karena keberhasilan Noh Alam Shah dkk merengkuh
gelar juara ISL menghentikan laju impresive Persipura kala itu. Permainan cepat
satu-dua sentuhan diperagakan skuad Singo Edan kala itu, dan mampu merepotkan
barisan pertahanan lawan. Hanya saja yang menjadi kelemahan tim asuhan Rene
Albert adalah pertahanan yang tidaklah kokoh. Karena, mereka cenderung gemar
bermain terbuka. Mereka berani keluar menyerang ketika menghadapi tim manapun,
baik di Indonesia maupun di Asia. Seperti dua mata pisau yang sama-sama tajam,
yang satu untuk menusuk lawan, yang satunya bisa menusuk diri sendiri. Namun,
filosofi permainan yang mirip taktik sepak bola Belanda yaitu all-out dan cepat
dalam menyerang tersebut menjadi daya tawar tersendiri di kompetisi sepak bola
nasional kala itu dan terbukti berhasil membuahkan satu gelar untuk Arema.
Robert Albert di Arema (tribunnews.com) |
Kini, ketiadaan Rene Albert di Arema menjadi kehilangan
besar yang harus segera diatasi cepat maupun lambat—menemukan pelatih yang
dapat memberikan strategi yang dapat dilakukan oleh pemain-pemain yang sudah
ada saat ini. Agar Arema kembali dikenal sebagai tim besar yang siap bersaing
memperebutkan gelar juara setiap musim di Liga 1. Mencari sosok seperti Rene
Albert memang tidaklah mudah, meski bukan berarti tidak ada. Namun kejelian
dalam pemilihan pemain, memaksimalkan pemain yang ada, juga mendapatkan
dukungan manajemen klub juga menjadi faktor lain selain kehebatan meramu taktik
dari pria yang bertopi ala atlet tenis lapangan itu. Kala itu, Arema meskipun
sedang terpecah dengan dualisme liga—ada Arema IPL dan Arema ISL, sebenarnya
berada dalam finansial yang cukup. Menariknya, mereka cukup cerdik dalam
mencari pemain asing. Mereka memilih mendatangkan pemain asing asal Asia
Tenggara yang tidak mahal namun berkualitas. Yaitu Noh Alam Shah dan Muhamad
Ridhuan. Mereka berdua juga sedang on
fire pasca gelaran kompetisi antar negara kala itu. Kehadiran keduanya plus
keberadaan pemain asing seperti Roman
Chemelo, Esteban Guillen dan
kapten Pierre Njanka sudah cukup
untuk menguatkan kualitas pemain lokal pilihan Robert Albert di tim juara ISL
2009/2010 tersebut. Momen kala itu benar-benar dimanfaatkan oleh Arema untuk
mendapatkan komposisi tim yang tepat dan mampu menerima strategi dari pelatih
asing yang kala itu masih belum mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Rene Albert perlu asisten pelatih yang mampu menerjemahkan instruksinya dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, dan peran itu jatuh ke Lestiadi.
Robert Albert persembahkan trofi juara ISL untuk Arema (flickr.com) |
Dari situlah, akhirnya Arema berhasil menjelma menjadi
tim asal Jawa Timur yang disegani setelah kurang bertajinya klub-klub lain
seperti Persebaya, Deltras Sidoarjo dan menurunnya performa Persik Kediri.
Filosofi bermain terbuka dan efektif dalam menyerang menjadi strategi yang
sangat tepat bagi Arema saat itu. Namun, jika dirunut perbedaannya kala itu
dengan permainan Arema saat ini adalah kemampuan passing dan penguasaan bola yang jauh berbeda. Di masa
keberadaan Rene Albert, hal paling mendasar adalah akurasi operan sudah ‘lulus
verifikasi’. Hal ini membuat kerja sama tim dapat terbangun. Kepercayaan
diri menguasai permainan juga akan terbentuk. Sehingga, permainan tak hanya
melulu menyerang cepat dengan membiarkan lawan menyerang terlebih dahulu, namun
juga menyerang dengan penguasaan bola terlebih dahulu. Di tim ini memang
memiliki segudang pemain cepat di flank
kanan dan kiri. Ditambah dengan akselerasi mumpuni dari target man mereka, Noh Alam Shah dan Roman Chemelo. Namun,
keberadaan pemain-pemain tersebut tak akan maksimal jika secara tim tidak
dibangun dengan kemampuan kerja sama yang bagus. Hal ini menjadi pembeda saat
dilihat di Arema saat ini yang berkompetisi di Liga 1.
Mereka kesulitan untuk menguasai permainan, dan ketika
berada dalam tekanan, mereka sulit untuk keluar menyerang. Mereka cenderung
tergesa-gesa melepaskan operan jauh yang kadangkala tidak mampu dikuasai dengan
baik. Sehingga berhasil dipotong dan kemudian kembali dikuasai permainannya
oleh lawan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi tim Arema untuk dapat secara
sadar melatih kembali teknik-teknik dasar untuk dapat membangun kekuatan
bermain secara komunal. Pelatih tak melulu membicarakan strategi mengantisipasi
permainan lawan, namun juga memperhatikan kualitas tim sendiri. Hal inilah
sepertinya sedikit luput dari pengawasan pelatih lainnya. Sedangkan bagi
pelatih asal Belanda tersebut cukup menjadi pondasi yang penting demi membangun
skuad juara. Yaitu, memberikan kemampuan kerja sama tim dan
ketenangan—outputnya adalah permainan terbuka.
Kerja sama tim dapat dilihat dari beberapa kesempatan
mereka dalam menciptakan peluang dengan membangun serangan secara cermat, tidak
terburu-buru dan akurat. Meskipun melakukan long
pass, operan tersebut dapat dijamin mampu diraih oleh rekan yang ada di depan
maupun di seberang sisi lain (crossing)—atau
pemindahan bola dari antar sisi lapangan. Hal ini mungkin terlihat dasar, tapi
sangat penting untuk membuat secara mentality
permainan tim tidak akan ambruadul dan tidak mudah didikte oleh gaya permainan
lawan.
next part 2. soon!!
Sumber-sumber yang membantu mengingat kiprah pelatih-pelatih tersebut:
Fourfourtwo.com
Liputan6.com
Striker.id
Bolalob.com
Bolasport.com
Indosport.com
Idntimes.com
Bolakompas.com
Cnnindonesia.com
Football-tribe.com
Comments
Post a Comment