MENULIS BUKAN SEBUAH KEAJAIBAN
I
“Segalanya dapat dipertaruhkan demi ‘hanya’ untuk menulis.”
Part 1
Sebelumnya, penulis ingin menyampaikan terlebih dahulu bahwa secara pribadi bukanlah seorang penulis handal bahkan untuk disebut semipro saja belum sampai. Mungkin masih sangat amatiran; berarti belum sampai ke jenjang amatir. Namun, ada upaya untuk berbagi kisah dan pengalaman meski masihlah sangat sedikit dan mungkin belum sampai seujung kuku dari pengalaman dan pengetahuan para penulis lainnya. Apalagi jika disandingkan dengan yang sudah sering wara-wiri di dalam forum-forum diskusi mengenai “creative writing”, tentu sangatlah jauh. Namun, kembali ke niat baik penulis untuk berbagi sesuatu yang mungkin dapat membantu teman-teman yang ingin menjadi penulis hebat, sekaligus memberikan sumbangsih terhadap pemikiran orang lain.
Langsung saja dimulai dari awal mula, mungkin di proposal riset atau karya ilmiah (karil) ada yang namanya bab Pendahuluan yang dimulai dengan Latar belakang. Nah, dari latar belakang, penulis memiliki garis yang berasal dari titik awal yang menjadi cikal bakal lahirnya keinginan untuk menulis. Yaitu, sosok ibu. Ibu dari penulis dulunya memiliki kegemaran menulis berbagai hal, seperti puisi dan cerita pendek (cerpen). Zaman dulu kesempatan untuk menjadikan dirinya sebagai penulis (meskipun belum sampai ke jenjang profesional) tentu tidaklah sama dengan sekarang. Khususnya dalam hal berbicara soal medianya. Media komunikasi massa pada saat itu sangatlah bergantung hanya pada surat kabar atau koran dan majalah. Karena pada saat itu ibu penulis masih sekolah antara SD atau SMP, sehingga media yang dipilihnya adalah majalah anak-anak. Meski dirinya juga kesulitan untuk membeli majalah bahkan ketika beberapa karya tulisnya berhasil menembus redaksional dan dipublikasikan ke dalam majalah tersebut. Secara latar belakang dari ibu memang sangat kuat dalam hal menulis dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan cerdas cermat kala itu, dan dari sanalah penulis mendapatkan spirit yang luar biasa untuk mulai mengikuti jejaknya. Setidaknya menyambung kembali tali yang terputus dari produktivitas sang ibu yang kala itu memang sangat minim dukungan dari keluarga termasuk orangtuanya. Berbeda hal dengan penulis saat ini yang cukup mendapatkan beberapa media yang dapat membantu langkah-langkah penulis dalam menulis segala hal yang tidak terlalu menyia-nyiakan waktu.
Media dalam menulis juga cukup beragam. Tentu dimulai dari gadget (laptop dan ponsel) yang sangat berkaitan erat dengan perkembangan teknologi komunikasi massa dewasa ini. Namun, sebelumnya penulis harus memulainya dari media tulis yang sangat klasik, yaitu buku tulis. Kebiasaan pada saat itu adalah selalu mengambil satu buku tulis dari selusin buku yang dibeli sebelum memasuki semester baru. Bahkan buku tersebut disengaja untuk dikhususkan dalam upaya menulis hal-hal lain di luar dari kaitannya terhadap pelajaran di sekolah; saat itu penulis masih sekolah tentunya. Antara SMP dan SMA, penulis mulai melakukannya dan dari hal yang sangat aneh (jika dipikir saat ini), yaitu menulis tentang formasi klub sepakbola. Tak hanya satu klub saja, melainkan nyaris semua klub-klub besar dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebut saja Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Persik Kediri (kala itu masih menjadi salah satu klub hebat di Jatim), Arema Malang, Persib Bandung, dan PSMS Medan. Lalu di luar tak jauh-jauh dari Liverpool, Chelsea, Manchester United, dan Arsenal. Bonusnya adalah Inter Milan, AC Milan, Juventus dan duo raksasa Spanyol Barcelona dan Real Madrid. Ya, pada saat itu penulis sangat tertarik untuk mempelajari dunia sepakbola. Mengetahui pemain-pemainnya dan pelatihnya, lalu merambah ke formasi dan taktik antara menyerang dan bertahan. Ya, mungkin pada saat itu (sejak akhir SD sampai SMP) penulis juga didukung dengan atmosfer maraknya permainan virtual seperti Playstation (PS) 1, sebelum kemudian beralih ke PS 2, dan bahkan saat masih ada atau lebih tepatnya saat masih booming-nya Nintendo juga harus memainkan game sepakbola, meski terlihat lebih lucu saat memainkannya—lebih sederhana. Mungkin hal ini sedikit di luar dugaan, namun memang dari sanalah awal mula penulis ‘mencari modal’ untuk dapat menulis. Mungkin terlihat aneh bagi yang mungkin pernah menemukan hasil tulisanku (entah kakak atau ibu), meski keduanya sepertinya tidak akan menemukannya (hehehe...). Menyembunyikan hasil ‘karya’ bukan hal yang sulit pada saat itu.
Lalu bergerak ke menulis tentang bahasa. Pada saat itu sepertinya sudah masuk ke SMA, dan mulai tertarik dengan bahasa asing, selain bahasa Inggris. Seperti Mandarin, Belanda, Spanyol dan lainnya. Termasuk ingin mempelajari bahasa Korea dan Jepang. Mungkin karena sedang maraknya girlband, boyband dan idol group. Sehingga atmosfer itu lumayan mendukung keinginan. Namun, lagi-lagi hal itu tak lepas dari tulisan. Meski yang sangat disayangkan adalah tidak ada lagi keseriusan untuk mendalami bahasa tersebut ke jenjang selanjutnya seperti pelafalan dan penghafalan meski sudah ditulis (disalin) ke buku tulis. Sungguh disayangkan bukan?
Di masa SMA itu, penulis mulai memiliki keinginan untuk dapat menulis biografi pribadi. Memang pada saat itu, penulis melihat banyak publik figur yang mengeluarkan buku biografinya dan bagi penulis itu adalah hal yang menarik. Artinya, kita dapat mengabadikan perjalanan hidup sendiri yang kemudian direkam dan divisualisasikan ke dalam tulisan. Bahkan, pada saat itu penulis mulai mengkhususkan satu buku tulis untuk menjadi medianya. Baru beberapa halaman terisi, dan akhirnya terbengkalai. Karena (jika dipahami saat ini), pada saat itu mungkin penulis belumlah banyak memiliki kisah yang seru dan beragam untuk diabadikan ke dalam tulisan. Kalau seandainya dituliskan dalam bentuk diari mungkin bisa. Karena diari sangat cocok menjadi media instan untuk merekam jejak individu dalam keseharian. Maka dari itu lebih tepat disebut sebagai buku catatan harian (note daily) daripada diary/diari—yang notabene istilah itu lebih dekat dengan perempuan (identik dengan hasratnya untuk mencurahkan isi hati), sehingga buku diari akan diidentikan sebagai buku curahan hati (curhat). Namun, apapun jenis medianya yang penting ada media yang tepat dan isi yang tepat, sehingga akan jelas arah tulisannya. Pada saat itulah, penulis masih belum dapat menemukan solusi dari titik permasalahan tersebut. Yaitu arah dalam menulis. Segala cara dicoba namun terasa seperti belum tepat antara isi dan medianya. Dari sana, penulis mulai masuk ke masa stop writing, khususnya untuk menuju model creative writing. Kalau menulis tentang pelajaran, pasti setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu. Kecuali hari libur panjang, pasti jauh dari media menulis, namun kadangkala dekat dengan media membaca. Pada saat itu, penulis gemar membaca komik dan beberapa novel. Karena, kakak dan ibu juga gemar membaca. Bahkan untuk membaca komik, penulis sudah melakukannya sejak sebelum masuk SD—membuat nilai di awal masuk sekolah ambruladul dan disalahkan kegemaran tersebut. Mungkin antara usia 4-6 tahun pada saat itu, dan membaca komik terus berlanjut sampai mungkin berhenti saat SMA dan masuk kuliah. Baru kembali membaca komik saat sudah memasuki semester akhir kuliah sampai sekarang. Namun komik yang dibaca juga ada filter-nya. Tidak semua genre dibaca, karena membaca yang bukan genre favorit terkadang terasa merusak mood. Namun untuk langkah kreativitas berpikir, sangat diperlukan untuk mencoba-coba membaca yang bukan genre favorit. Hal ini perlu dilakukan agar kita tidak terkesan tutup mata dengan perkembangan hal lain yang jauh dari kesukaan kita. Biasanya hal semacam ini sering terjadi di individu-individu yang terlalu mengeksklusifkan kegemarannya. Sehingga, dia hanya tahu dan expert di hal yang dia sukai, bukan yang orang banyak sukai. Fakta semacam itu bisa menjadi batu sandungan bagi orang yang ingin menjadi penulis di awal ‘karirnya’. Kalau sudah di puncak karir, boleh bebas menentukan genre atau kegemarannya, karena orang lain atau pembacanya juga akan bersedia untuk mengikuti polanya. Hanya saja, akan kehilangan penggemar yang bertipikal mudah bosan, karena mereka tentu butuh ‘aroma’ lain yang datang untuk menyelingi kepenatan dalam menghadapi hal yang sama dan terus-menerus. Faktor kebosanan ini juga yang menjadi pertimbangan dari penulis secara pribadi. Penulis memahaminya bahwa dari awal menulis sampai sekarang, penulis melihat suatu pola yang jelas dan itu menjadi rintangan yang nyata bagi penulis dalam proses menulis, yaitu kebosanan. Kebosanan yang tak bisa dihindari oleh semua manusia termasuk manusia-manusia yang telah mengabdikan dirinya sebagai penulis.
baca selanjutnya:
https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban_18.html
baca selanjutnya:
https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban_18.html
Comments
Post a Comment