MENULIS BUKAN SEBUAH KEAJAIBAN

I

Part 2



Berbagai cara tentu dilakukan untuk mengantisipasi kebosanan termasuk di dalam proses creative writing. Di dalam dunia tulis-menulis beragam sekali objek yang dapat dijadikan bahan tulisan. Namun, tak semua dapat menentukan sedari awal. Contohnya, seorang blogger dengan konten khusus tentang resensi pendidikan. Dia akan punya potensi deadlock atau buntu dalam meneruskan aktivitas sebagai blogger basis pendidikan ketika dirinya kekurangan atau kehabisan bahan untuk membahas tentang pendidikan tersebut. Termasuk seperti blogger berbasis pecinta alam. Dirinya akan vakum menulis ketika aktivitasnya mulai menjauh dari hal-hal yang berkaitan dengan pecinta alam. Seperti seorang pendaki gunung yang juga aktif menjadi blogger. Kontennya pun berisi tentang hal-hal yang bertujuan mengeksplorasi kekayaan alam di negerinya. Kemudian di suatu kesempatan, dia terpilih menjadi pekerja di bagian manajerial di pabrik sepatu. Lalu, di tengah kesibukannya yang sangat padat itu, apakah dia mampu menjaga ritme (tetap berkelanjutan dalam mengunggah konten) dan konsistensi konten (tema besar) di dalam blog-nya? Hal inilah kemudian menjadi pertimbangan dan perhitungan bagi penulis pula di saat berupaya untuk kembali aktif dalam tulis-menulis, termasuk (memulai langkah) berkecimpung di blog.

Kembali lagi ke latar belakang menulis, penulis di masa SMA pernah menjadi admin di beberapa fanpage (fp) di sebuah platform media sosial yang kala itu sangat beken. Yaitu, Facebook. Di sana, penulis membangun pengalaman sebagai penyambung kabar dari berita yang sudah disebar di media massa online ke pengikut atau followers dari akun fp tersebut. Di situlah penulis juga harus belajar untuk menjadi re-author berita yang dapat meminimalisir adanya hoax yang kala itu tentu tidak seganas dan seviral sekarang—istilah hoax sekarang lebih viral dibandingkan konten hoax-nya. Lucu bukan? Apalagi penulis memiliki sifat yang sangat tidak menyukai adanya perdebatan konyol di laman sosial media (sosmed) pada saat itu—bagi penulis ini adalah sikap yang sudah cukup bijak di bocah yang masih berusia belasan tersebut. Konten yang diunggah ketika penulis yang mendapat giliran mengunggah kabar selalu berisi hal-hal yang tidak menimbulkan banyak perdebatan. Terkesan adem ayem memang, namun tidak dapat membuat akun tersebut viral karena tidak dapat menimbulkan kontroversial. Pada saat itu undang-undang penyalahgunaan media elektronik masih belum begitu ketat. Hanya yang marak terjadi pada saat itu adalah fitnah dan pencemaran nama baik. Dua kasus yang cukup berkaitan erat ini selalu muncul di setiap berita. Hal ini pula yang membuat penulis cukup berhati-hati dalam mengunggah status atau berita baik di akun pribadi maupun di akun fanpage tersebut. Jika sedikit diperbolehkan untuk bernostalgia, viralnya kabar di zaman kemarin (4-6 tahun ke belakang) dalam beberapa fenomenanya jauh lebih berbobot dibandingkan sekarang. Setidaknya, kita bisa lebih mengenal banyak dukun dan orang ajaib pada saat itu, dibandingkan sekarang (hehehe...). Tapi kelebihan di masa kini, banyak media-media yang jauh lebih dewasa dalam menganalisa kabar yang beredar, khususnya media penyiaran televisi. Orang yang banyak menginspirasi akan lebih besar kemungkinan diundang di acara-acara talkshow dibandingkan orang yang banyak sensasi.


Nah, dari pengalaman menjadi admin tersebut, penulis mencoba mempelajari cara berkomunikasi sebagai penyaji publik. Artinya tulisan kita harus dapat dibaca dan dipahami oleh orang banyak yang berkemungkinan besar membaca tulisan tersebut. Dari upaya itu pula, penulis juga harus memastikan bahwa tulisan kita yang terpublikasi secara luas tersebut tidak akan menimbulkan kontroversi yang dapat merusak keharmonisannya netizen—julukan masyarakat internet pada saat itu sepertinya masih belum muncul. Sebagai author di fanpage juga menjadikan diri kita sebagai pelayan sekaligus teman yang positif bagi mereka yang mengikuti laman kita dan telah mempercayai segala informasi yang telah kita berikan. Artinya, di sini kita belajar membangun kepercayaan dan menjaga kepercayaan tersebut. Sebagai penulis, salah satu hal yang perlu dicermati ketika sudah masuk ke ranah publikasi, memang seyogyanya mampu membawakan tulisannya sebagai sajian yang dapat dipercaya. Jika tulisan itu berkaitan dengan reportasi, maka kepercayaan yang dimaksud adalah percaya terhadap keabsahannya—fakta dan rasionalitas seimbang. Jika tulisan itu berkaitan dengan ranah kreativitas seperti tulisan sastra dan karya ilmiah, maka kepercayaan di sini selain keabsahan data dan orisinalitas karya, juga akan menuntut kepercayaan tentang kualitas dari tulisan tersebut. Nah, menjadi penulis yang baik tentu harus mempertimbangkan hal tersebut, agar dirinya dapat memastikan bahwa pembacanya percaya bahwa tulisan yang dibaca adalah tulisan yang terbaik untuk dibaca.


Bagian selanjutnya:

Comments

Popular Posts