Sedikit Mengenal Puisi Sonian

Gambar dari penulis


Sebenarnya baru beberapa hari lalu saya mengetahui adanya jenis puisi ini. Sekilas mengingatkan saya pada jenis Patidusa. Sama-sama 4 baris dengan bait bebas, namun “hitungannya” berbeda.

Jika Patidusa dihitung berdasarkan kata. Sedangkan Sonian dihitung berdasarkan suku kata. Artinya, jika kamu menulis “Aku cinta kamu” itu berarti kamu telah menulis 6 suku kata dan harus berada di awal baris (lead), karena di baris selanjutnya harus berjumlah 5 suku kata, 4 suku kata, dan 3 suku kata.

Menurut saya, jenis ini lebih sulit dibandingkan Patidusa. Meski Patidusa juga sulit jika tidak terbiasa berhemat kata. Nah, pokok permasalahannya adalah di situ, berhemat kata. Atau, kalau di persastraan biasanya “kata” disebut “diksi”.

Sebagai penulis puisi pemula, saya tentu lebih suka untuk menulis sakarepe dewe. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menemukan banyak bentuk-bentuk puisi yang pada akhirnya membuat saya juga tertantang untuk mencoba membuat puisi yang sedemikian rupa.

Dari situlah saya mulai mencoba beberapa jenis puisi. Namun, sejauh ini yang paling membekas adalah Patidusa dan Terzina. Beberapa puisi, saya wujudkan sebagai Patidusa maupun Terzina. Namun, untuk Patidusa saya menemukan dampak yang selama ini saya cari. Yaitu kemampuan menghemat kata.

Namun, ternyata ada yang lebih hemat dari Patidusa, yaitu Sonian. Sonian adalah jenis puisi yang dilahirkan oleh Soni Farid Maulana, sedangkan Patidusa adalah dari Agung Wig. Saya kurang ingat berapa durasi saya untuk melahirkan puisi Patidusa saat pertama kali mencobanya. Namun untuk puisi Sonian, saya harus menghabiskan nyaris 1 jam untuk melahirkan 1 judul saja (tautan ada di akhir).

Beruntung, secara ide sudah solid. Tinggal pemolesan ke dalam bentuk Sonian yang cukup keteteran. Sungguh, saya tidak mengada-ada. Bahkan, saya harus terpecah konsentrasi antara menonton siaran London Derby antara Arsenal vs Chelsea. Bagi yang pernah membaca ini, pasti tahu klub mana yang saya dukung.

Bongkar pasang terjadi secara keseluruhan demi membuat tubuh puisi itu sempurna sebagai Sonian. Bahkan, uniknya saya sempat salah mengetik istilah Sonian dengan istilah lain (dapat dicek di hyperlink-nya), karena saya ternyata juga lupa namanya. Hehehe.

Pasca rilisnya tulisan tersebut, saya berpikir bahwa Sonian adalah jenis puisi yang akan cukup sering saya gunakan untuk berpuisi. Meski, saya tahu itu sulit. Begitu pula bagi pembaca yang mungkin belum terbiasa membaca puisi yang seolah terbata-bata, padahal tidak.

Karena, beberapa waktu lalu, ketika masih asyik berkutat dengan Patidusa, saya cukup sering melihat tulisan sesama penulis puisi yang menghadirkan Patidusa secara terbata-bata. Seolah-olah dia memahami Patidusa sebagai puisi yang melahirkan kepingan teka-teki. Padahal seharusnya tidak demikian.

Patidusa juga dapat dihadirkan cukup mengalir meski tidak semengalir jenis puisi lain, termasuk prosa. Salah satu cara untuk membuat susunan diksi pada Patidusa terasa mengalir adalah dengan si penulis harus membekali dirinya dengan kebiasaan merangkai kata yang sempurna alias membentuk kalimat (SPOK). Ketika hal itu sering dilakukan, dia hanya tinggal membuat kalimat itu menjadi kata/kalimat yang dapat mewakili satu kalimat utuh tersebut.

Contoh:
(A)
“Kamu selalu menangis setiap malam
Membuatku resah dan tak berdaya
Aku harap esok kau lebih kuat
Karena aku selalu di sisimu” (jenis non patidusa)

Menjadi
(B)
“Setiap malam kau menangis
Aku tak berdaya
Berharap esok
Tegar” (jenis patidusa)

Perbedaannya, si A berusaha selengkap mungkin untuk mengungkap apa yang sedang terjadi. Sedangkan si B hanya mengambil yang paling penting saja. Mengapa hanya “Aku tak berdaya” dan “resah” dihilangkan? Karena semua orang tahu bahwa ketika ada orang menangis, orang lain pasti ikut resah. Sedangkan “aku tak berdaya” itu adalah sikap subjektif dari orang tertentu yang biasanya tidak mampu membuat si menangis itu menjadi diam/tenang, dan itu harus diungkapkan.

Begitu pula dengan “berharap esok”. Dua kata ini cukup familiar dan biasanya memang diungkap secara terpisah dengan apa yang diharapkan. Misalnya, “aku berharap esok akan lebih sukses.” Biasanya kalimat ini akan dibaca demikian, “aku berharap esok(/)akan lebih sukses(//)”. Ingat kan cara bermain jeda? Yaitu dengan menggunakan garis miring satu untuk koma (jeda) dan garing dua untuk titik (akhir atau jeda lama).

Itulah kenapa saya memutuskan untuk membuat “berharap esok” dibandingkan “berharap kamu”. Karena, itu akan membuat alur tuturnya terasa (sangat) dipaksa untuk terpotong -dengan perbedaan baris. Logikanya kan seperti ini, “(aku) berharap kamu baik-baik saja,” tanpa jeda. Tidak seperti, “aku harap(/)kamu baik-baik saja(//)”.

Bagaimana? Clear atau Head on Shoulder?

Menurut saya, contoh itu cukup mampu untuk membuat pembaca masih dapat memahami dan menikmati bagaimana alur tuturnya dari diksi yang sedemikian rupa. Meski, secara penyampaian sudah tidak “sevulgar” yang non-Patidusa.

Saya sebenarnya ingin membuat yang versi sedikit acak susunan diksinya, namun saya kurang bisa mewujudkannya. Jadi, sekiranya begitulah cara untuk membuat Patidusa yang masih dapat dibaca dan dimengerti alur tuturnya.

Alur tutur di sini penting, karena tidak sedikit puisi yang ada di sekitar kita akan dilafalkan jika puisi itu sangat menarik. Misalnya, puisi WS Rendra dan Wiji Tukul yang dikenal sarat isu sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apabila ada puisi-puisi Patidusa yang mampu menghadirkan isu-isu menarik seperti milik dua penyair tersebut, bisa saja puisi itu akan dipanggungkan.

Apabila ingin dipanggungkan, tentu akan sangat dibutuhkan alur tutur yang tepat dari puisi Patidusa tersebut. Meski di sisi lain, juga diperlukan keterampilan membaca puisi dari si pelafal puisi tersebut.

Hal ini juga berlaku untuk jenis puisi Sonian. Meski, secara pribadi saya baru melahirkan satu judul puisi Sonian, saya berharap puisi-puisi Sonian yang beredar di sekitaran kita nantinya dapat terasa “normal” alur tuturnya. Sehingga, meringankan beban pembaca untuk memahami apa pesan yang terkandung didalamnya.

Jadi, selamat mencoba!



Indonesia, 30 Desember 2019
Deddy HS.

Baca puisi Sonian saya di sini! Jangan lupa untuk menanggapinya, ya! Agar saya juga dapat terus mencoba merangkai diksi-diksi yang lebih pas!

Salah satu referensi Sonian yang dapat dibaca:

Comments

Post a Comment

Popular Posts