SAMPAI HARI INI MASIH MEMBACA PUISI

Gambar dari Bahasa.foresteract.com

Semoga Anda yang membaca tulisan ini tidak baper. 😁

Puisi adalah karya yang lebih banyak dijumpai dibandingkan karya tulis lainnya dewasa ini. Bisa saja angkanya bersaing ketat dengan berita-berita online hingga hoax yang bertebaran di media sosial dan lainnya.

Sama seperti berita dan tulisan-tulisan lainnya, puisi juga beragam kualitasnya. Ada yang bagus sekali, ada yang sangat biasa dan bahkan seharusnya tidak disebut puisi. Namun, berhubung puisi semakin identik dengan Senhuko alias senja, hujan, dan kopi, maka setiap ada lantunan kata-kata yang disisipi tiga diksi itu (kabarnya) adalah puisi.

Unik, namun bisa saja memang demikian adanya. Lalu, apakah itu membuat penulis bosan membacanya?

Ada kalanya hal itu memang terjadi. Bahkan tidak hanya pada aktivitas membaca puisi, membaca surat cinta pun kadang bisa dilanda kebosanan. Sayangnya hal itu jarang terjadi. Karena sudah bukan zamannya surat-suratan, bukan?

Ada satu hal yang membuat penulis merasa perlu menulis uneg-uneg ini, yaitu ketika penulis merasa mulai kesulitan merangkai kata-kata menjadi (seperti) puisi. Mengapa?

Awalnya penulis berpikir bahwa itu disebabkan oleh menurunnya rutinitas membaca puisi. Namun ternyata tidak sepenuhnya demikian.

Memang awalnya penulis cukup sering membaca puisi, khususnya dari pemuisi yang sudah “bernama”. Namun, seiring berjalannya waktu, tuntutan untuk membaca puisi itu merembet ke keharusan dalam memikirkan apa yang ingin disampaikan pemuisinya, bukan hanya untuk dinikmati saja.

Artinya, puisi yang awalnya menjadi salah satu media hiburan di kala penat, malah menjadi tambahan beban dalam berpikir meski sebenarnya itu bagus. Mengapa?

Karena akan ada stimulus untuk mencoba menulis puisi pula meski tak harus sebagus puisi dari pemuisi bernama tersebut. Itulah sebenarnya yang menjadi nilai positif yang dulunya penulis cari. Lalu, mengapa penulis justru berhenti dan (mengaku) bosan? Bukankah selama ini penulis membaitkan puisi banyak terbantu oleh karya mereka?

Sebenarnya antara iya dan tidak.

Iya, karena ketika melihat kemampuan mengolah diksi yang sesuai kapasitas layak dibaca di buku tersebut, maka penulis tahu sekitar 40% tentang how to create (good) poetry like that. Namun, sama seperti perjalanan aktivitas membaca yang terkadang mengalami kejenuhan, menulis puisi terkadang juga membosankan, apalagi jika kehilangan cara mengolah diksi.

Ide sih tidak pernah berhenti bertaburan (tidak bermaksud sombong), namun terasa biasa-biasa saja hasilnya jika diksi yang digunakan sama saja dengan sebelumnya. Inilah yang membuat proses kreatif dalam berpuisi tersendat-sendat, dan penulis memutuskan untuk berhenti membaca puisi dari yang bernama.

Satu-satunya judul terakhir yang dibaca adalah puisi lama dari Joko Pinurbo di Kumpulan Puisi (Kumpus) “Selamat Beribadah Puisi”, itu pun sekitar 12 Desember 2019. Saat itu membaca judul itu lagi (judul dirahasiakan) hanya untuk menyampaikan apresiasi terhadap karyanya pada saat dirinya juga hadir di acara Ketemu Buku di Taman Krida, Malang (12/12).
Gambar dari penulis

Kebetulan melalui judul itu pula, penulis memutuskan untuk membeli buku Kumpus tersebut. Namun sayangnya penulis tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan beberapa patah kata meski itu dimediasikan melalui sesi tanya jawab. Tidak masalah, itu hanya bagian cerita masa lalu.

Nah, kembali lagi ke permasalahan tadi, yaitu kebosanan dan juga muncul pertanyaan, “apakah artinya diksi-diksi para pemuisi itu juga itu-itu saja, sampai kamu enggan menirunya (lagi)?”

Sebenarnya bukan karena permainan diksi yang sepenuhnya penulis amati ketika membaca puisi mereka, melainkan karena how to send their messages to us/to everyone who read them. Itu yang lebih penting. Namun, ketika itu berkaitan dengan diksi, penulis memutuskan untuk no comment, karena diksi-diksi mereka juga sebenarnya banyak yang “baru” bagi penulis, hanya selama ini fokus membaca penulis biasanya perlu dibagi-bagi. Antara mana yang dipraktikkan, mana yang harus dipikirkan saja, mana yang hanya dikagumi saja.

Dari situlah penulis memutuskan untuk break dalam membaca puisi. Namun, bukan berarti tanpa membaca puisi sama sekali. Penulis justru mulai lebih eksploratif dalam membaca puisi, khususnya puisi-puisi yang diciptakan oleh rekan-rekan penulis di media yang sama, yaitu media menulis online.

Ada banyak keuntungan dalam melakukannya.

Pertama, karena menambah pertemanan dan membangun silaturahmi walau cukup dengan by rate dan comment. Tidak perlu lebih dari itu, kecuali ada bisnis penting, baru yuk pc-an!

Kedua, karena ide-ide mereka biasanya aktual. Itu yang biasanya sangat membantu penulis untuk menemukan “apa sih yang sedang dibicarakan saat ini?”

Ketiga, karena proses tumbuh dengan mendongak pada akhirnya perlu dilanjutkan dengan proses diam dan melihat sekitar. Terkadang kita butuh break, baik dalam membaca maupun menulis. Tidak perlu terlalu tergesa-gesa (keterpaksaan) dalam menciptakan karya, karena otak kita juga perlu istirahat.

Dari situlah proses membaca puisi-puisi rekan seprofesi menjadi hal yang menarik dan tepat untuk mengatasi kebosanan. Dari proses tersebut pula, penulis juga dapat mengakui bahwa sudah ada karya-karya yang menarik dan (mungkin) layak dibaca di buku seperti karya-karya Jokpin, Tia Setiadi, Hasta Indriyana, Afrizal Malna hingga sang veteran Sapardi Djoko Damono.

Ternyata keputusan untuk jarang memuisi dan berhenti (sejenak) membaca puisi tidak benar-benar buruk, bahkan sangat baik. Karena, pada akhirnya tetap dilanjutkan dengan membaca kembali puisi-puisi yang bertebaran lebih banyak, lebih up to date, dan tentunya tidak menuntut sang pembaca (termasuk penulis) untuk menulis ataupun memikirkannya. Terkadang kita perlu rileks dalam membaca puisi dan cukup dengan mengapresiasinya seperti saat kita mendengarkan musik ataupun menonton film.

Bagaimana? Apakah ada yang sepakat? Atau justru Anda saat ini sedang getol membaca karya-karya di buku dari nama-nama besar tersebut?




Indonesia, 3-6 Maret 2020
Deddy HS.


Jangan lupa untuk membaca tulisan bebas lainnya di label yang tertera di bawah! 
Atau, kunjungi karya puisi sederhana saya di label ini!
Terima kasih dan salam!

Comments

  1. Waduh gelap mas, sampai aku zoom mau komen, mencari kolomnya ha ha

    Jangan membaca puisi nanti bosan
    Menulislah apa adanya, jangan pikirkan diksinya
    Ha ha haaa

    Itu saya yang ambyar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahaha... Inggih, bu. Sengaja gelap, biar kyk papan tulis jaman doeloe. Makasih sudah menanggapi. Salam!

      Delete

Post a Comment

Popular Posts