Sebuah Pendapat Pribadi tentang Arsene Wenger dan Arsenal FC

Tulisan ini bukan dihasilkan oleh seorang pengamat sepakbola yang sudah berpengalaman dan ahli. Melainkan hanya sebuah pandangan dari seorang penyuka permainan sepakbola yang menjadi salah satu cabang olahraga yang sangat populer di Bumi (karena tidak pernah tahu jika ada kehidupan di planet lain, hehe). Lalu, mengapa harus tentang Arsene Wenger dan Arsenal? Ada dua alasan sederhana. Pertama, karena secara pribadi mengidolai klub Arsenal (dengan jersey berwarna merah). Kedua, karena ada sisi menarik dengan adanya Arsene Wenger dan Arsenal. Dua hal yang seolah saling terkait dan susah untuk dipisahkan. Bagi pribadi, sangat mudah mengingat nama pelatih Arsenal karena namanya hampir mirip--Arsene. Arsene is Arsenal.
Menarik bukan?

Jika dibandingkan dengan pelatih klub sepakbola lainnya yang sering ganti-ganti pelatih--kecuali Manchester United dengan Sir Alex Ferguson dan Everton dengan David Moyes pada saat itu. Arsenal tetap memakai jasa Arsene Wenger sebagai peracik strategi yang mendewakan penguasaan bola dan permainan yang indah--terpola dengan baik saat membangun penyerangan. Sekiranya begitu dari hasil pengamatan pribadi saat mencoba mencari tahu penilaian permainan Arsenal dari (yang sekarang disebut) netizen. Arsenal memakai jasa pria asal Perancis sejak 1996 dan akhirnya memutuskan untuk berpisah di akhir musim 2017/2018 dengan pemberi gelar 3 kali kampiun Liga Primer Inggris, dan 7 kali gelar juara Piala FA. Antara sedih dan lega. Sekiranya begitu tanggapan pribadi dan mungkin mewakili para Gooner di seluruh penjuru planet ini yang mengenal Arsenal tentunya.

Mengapa sedih? Karena, berpisah dengan seorang legenda yang sudah pernah membawa Arsenal ke masa jaya--menjadi tim yang tak terkalahkan dalam satu musim (the Invincibles) adalah suatu hal yang sangat mengharukan. Jasanya jelas tak sedikit, dan dengan kejeniusannya mampu membuat tim ini tak pernah absen dari pentas Eropa meski pada akhirnya di dua musim terakhirnya hanya mampu mengantarkan Arsenal berpentas di zona Liga Eropa. Selain itu, berakhirnya kepelatihan Arsene Wenger di Arsenal membuat Liga Inggris tak lagi memiliki klub yang mampu mempertahankan pelatihnya (disebut manajer) dengan durasi yang lama. Sudah banyak klub di Inggris khususnya tim papan atas yang berganti-ganti pelatih. Seperti Chelsea yang sangat cepat pergantian pelatihnya sejak Claudio Ranieri, Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, Rafael Benitez, Villas Boaz, Roberto Di Mateo, sampai kembali dilatih dengan Jose Mourinho pasca melatih Real Madrid. Hingga pelatih asal Italia yang kembali digaet Abramovich--Antonio Conte (si pembangkit kehebatan klub Juventus di Serie A) dan berhasil memberikan gelar juara Liga Inggris ke Stamford Bridge Stadium setelah Leicester City mampu merengkuh trofi liga di musim 2016/2017 dan menghasilkan cerita dongeng bagi netizen jaman now.
Selain Chelsea, ada pula Liverpool yang sempat yakin dengan kemampuan Brendan Rogers (dilihat dari kinerja saat melatih Swansea City), dan sempat juga mempercayakan kursi pelatih pada salah seorang legenda The Reds--Kenny Dalglish, hingga akhirnya kursi panas tim Merah-Merah diduduki dengan cukup nyaman oleh Jurgen Klopp. Si pelatih nyentrik penuh enerji yang selalu berteriak-teriak di pinggir lapangan untuk mengubah ciri bermain Liverpool lebih ofensif meski harus banyak kebobolan pada masa awal kepelatihannya.
Ada pula Manchester United yang secara ironis menjadi tim besar yang kehilangan asa dalam menggapai trofi Liga Primer setiap musimnya pasca pensiunnya Sir Alex. Posisi fantastis itu digantikan David Moyes yang dianggap cocok bahkan direkomendasikan langsung oleh sang legenda tersebut. Namun, kemudian menjadi cikal bakal penurunan prestasi dari Setan Merah. Lalu muncul nama Louis van Gaal yang dinilai sanggup membawa MU kembali ke jalan yang benar dengan embel-embel sebagai mantan entrenador Barcelona dan cukup sukses saat berkarir di Liga Belanda. Namun, pada akhirnya justru hanya sebagai pintu masuk bagi talenta-talenta Belanda pasca turnamen internasional seperti Daley Blind dan bintang muda nan potensial Memphis Depay. Menariknya, sempat juga kursi kepelatihan diberikan pada pemain legenda MU, Ryan Giggs. Meski pada akhirnya, MU sudah membukakan pintu masuk kepada Jose Mourinho untuk membangun ulang dinasti Old Trafford yang seharusnya identik dengan raihan segala trofi di setiap musim.

Apa yang terjadi di beberapa klub tersebut, khususnya seperti di Manchester United dapat dilihat bahwa pergantian kursi manajer juga sangat beresiko. Apalagi jika mengingat bahwa klub tersebut sudah sangat lama dipimpin oleh satu manajer saja. Bisa jadi Arsenal akan mengalami hal yang sama. Yaitu, sebagai klub besar yang harus menata ulang dari nol. Liverpool perlu waktu untuk dapat memastikan bahwa mereka sudah nyaman dengan Jurgen Klopp. Chelsea yang masih sangat terikat dengan ambisi pemilik klubnya, sehingga tak menjamin Antonio Conte untuk bisa bertahan. Dan salah satu yang menarik, adalah contoh dari sebuah klub kaya raya--Manchester City yang sudah berganti-ganti pelatih, namun masih cukup konsisten dalam mengarungi pertarungan liga di setiap musimnya. Adaptasi pelatih sudah mulai dibiasakan oleh klub biru langit tersebut meski juga tak dengan durasi yang lama. Sampai pada akhirnya mereka (mungkin) berjodoh dengan Josep "Pep" Guardiola yang pernah diidentikan dengan strategi permainan tiki-taka saat di Barcelona. Mereka juga cukup konsisten dengan Manuel Pellegrini, dan Roberto Mancini yang pernah memberikan gelar juara Liga Primer kepada The Citizens. Kini, Pep sudah mulai dapat meyakinkan publik bahwa dia adalah salah satu pelatih hebat yang mampu membawa tim asuhannya juara di setiap liga di tiga negara yang berbeda (Liga Spanyol dengan Barcelona, Bayern Munchen di Bundesliga Jerman, dan kini Manchester City di Liga Primer Inggris).

Kembali lagi pada Arsenal, khususnya perpisahan Arsene Wenger sebagai manajernya. Ketika fans bersedih karena akan adanya pembangunan ulang di tangan rezim sang manajer baru, membuat fans harus bersiap jika nantinya melihat tim kesayangan separuh warga London Utara (karena masih ada fans Tottenham Hotspur) tersebut akan terseyok-seyok di kompetisi musim baru. Namun, di sisi lain ada kelegaan bagi fans termasuk diri pribadi yang menilai bahwa akan ada masa yang baru dan lebih cerah dengan penuh keyakinan terhadap Arsenal bersama manajer baru. Mengingat komposisi skuad Arsenal tak begitu buruk ketika ditinggal oleh Arsene Wenger. Pria berlatarbelakang pendidikan ekonomi tersebut masih mewariskan Petr Cech dan David Ospina di posisi penjaga gawang. Di barisan pemain bertahan masih ada kapten Laurent Koscielny, Skhodran Mustafi (yang mulai menurun dan mungkin akan dijual), duo fullback Spanyol Nacho Monreal dan Hector Bellerin, serta fullback kiri yang tangguh dan gratis Sead Kolasinac. Di tengah, masih ada raja assist Mesut Ozil, gelandang produktif Aaron Ramsey, si pencetak gol jarak jauh Granit Xhaka, dan pemain barteran jempolan Henrikh Mkhitaryan. Untuk baris depan, tentu trio Alexandre Lacazette, Danny Welbeck, dan bintang baru pemilik nomor 14 Pierre-Emerick Aubameyang. Di luar penyebutan pemain-pemain tersebut masih banyak pemain lainnya yang tentu masih bisa dipertahankan. Seperti Chalum Chambers, Rob Holding, Alex Iwobi, dan deretan pemain-pemain muda hasil promosi dari akademi The Young Gunners. Mereka tentu harus bersiap menyambut figur baru yang akan memimpin sesi latihan dan berada di ruang ganti setiap pertandingan. Entah siapapun dia, dialah yang akan bersiap menanggung seluruh harapan fans Arsenal untuk dapat membawa Meriam London berjaya di pentas domestik dan Eropa.

Menilik kembali pada judulnya, bahwa kiprah Arsene Wenger di Arsenal masihlah patut disebut luar biasa, dan gelar legenda klub bahkan legenda Liga Primer Inggris juga sangat pantas disematkan ke Arsene Wenger.
Ya! Arsene Wenger memang sudah habis. Hal ini semakin dikuatkan dengan banyaknya protes dari fans dan suporter Arsenal untuk segera berakhirnya era Arsene Wenger di Arsenal. Bukan tanpa alasan tentunya, karena Arsenal semakin menurun performanya. Namun bukan hanya karena dia kehilangan kemampuan dalam meracik strategi yang sudah ketebak. Melainkan kehadiran manajer-manajer baru dan lebih muda yang mampu menghadirkan strategi yang mungkin bisa disebut "anti-Arsenal". Seperti, strategi full defense ala Jose Mourinho yang dapat menghambat produktivitas pemain-pemain Arsenal. Strategi pragmatis yang juga seringkali diterapkan oleh Stoke City era Tony Pulis dan tim-tim papan tengah dapat merepotkan taktik permainan khas Arsenal. Ditambah lagi dengan kehadiran taktik "Gegenpressing" dari Jurgen Klopp dan kehadiran permainan yang tak kalah cantik dan "fresh" dari Pep Guardiola dengan contoh kemenangan identik 3-0 atas Arsenal di dua pertemuan terakhir.
Fakta-fakta tersebut memang menjadi keresahan seluruh pecinta Arsenal hingga akhirnya, Arsene Wenger memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan dengan Arsenal meski tidak dengan hasil yang menyenangkan di akhir musim. Gagal lolos ke partai Final Europa League setelah dikalahkan Atletico Madrid dengan racikan strategi anti-Barca milik Diego Simeone. Namun setidaknya, sebelum itu Arsenal masih mampu mengalahkan AC Milan-nya Gennaro Gattuso yang dapat memperlihatkan bahwa si Tua juga masih bisa sulit dikalahkan oleh si Muda.

Lalu, bagaimana kisah Arsenal dengan manajer barunya nanti? Siapa yang akan terpilih dari sekian banyak calon yang dihembuskan media massa saat ini (Patrick Vieira, Mikel Arteta, Massimiliano Allegri, Buvac, Nigelsman, Luis Enrique, sampai Unai Emery dan mungkin lainnya)?

Siapapun dia, semoga seperti harapannya Arsene Wenger. Yaitu, seorang figur yang totalitas dalam memikirkan segala hal demi Arsenal.
Semoga!

#MerciArsene

Comments

Popular Posts