REVIEW PIALA DUNIA 2018 (Chapter 3)
Part 1
Hello guys! Berjumpa lagi di rubrik seputar Piala Dunia. Kali ini, kita akan membahas beberapa pertandingan lagi dan masih di laga fase grup (meskipun sekarang sudah berlangsung fase gugur—telah berakhirnya babak perempat final), yang menurut penulis masih asyik untuk ditinjau lagi, “bagaimana sih laga-laga itu menurut penulis?”
Nah, tak perlu berlama-lama lagi, mari kita langsung membahas sebuah laga menarik yang mempertemukan Argentina melawan Kroasia. Laga ini seperti yang diketahui semua orang, bahwa skuad bertabur bintang dari Amerika Selatan, Argentina harus takluk dengan skor telak 0-3 dari skuad yang juga tak kalah mentereng khususnya di barisan tengahnya—Kroasia. Di laga ini pula, penulis sangat banyak memberikan pendapat pribadi khususnya kepada permainan timnas Argentina. Ya, bukan tanpa alasan selain karena mereka kalah tentunya, juga karena publik pecinta sepakbola sendiri tak percaya bahwa skuad dengan beberapa pemain depannya merupakan top skorer klub-klub papan atas Eropa harus mengakui kekalahan tanpa mencetak satu gol pun.
Tak perlu berlama-lama lagi, mari kita mulai dari penilaian sektor lini belakang yang menurut pengamatan pribadi, 4 bek dengan dikomandoi oleh Nicolas Otamendi gagal melindungi penjaga gawangnya yang kali ini dipercayakan kepada Willy Caballero yang karakter bermainnya mirip penjaga gawang klasik yang cenderung menunggu datangnya bola ke gawangnya daripada melakukan penyelamatan dengan memotong laju bola seperti yang dilakukan Neuer, Ter Stegen, atau mungkin Thibaut Courtouis. Argentina perlu penjaga gawang yang agresif dalam melakukan save area ketika kondisi para pemain bertahannya tidak begitu agresif dan mampu membaca situasi serangan lawan. Di laga ini terlihat Otamendi dkk tak mampu menjaga area pertahanan dengan militansi tinggi, guna menjauhkan bahaya datang ke gawangnya. Tempo yang dimainkan saat menguasai bola juga cenderung lambat dan terlalu hati-hati, yang pada akhirnya berbuah blunder untuk gol pertama Kroasia.
Kerapuhan lini belakang Argentina sebenarnya sudah terendus sejak laga melawan Islandia. Gol Islandia tercipta dengan kondisi kotak penalti Argentina penuh dengan pemain Argentina, namun mereka tidak mampu menahan agresivitas lawan, khususnya membaca arah bola. Mereka seperti penonton yang membayar terlalu mahal tiket masuk gedung teater hanya untuk menyaksikan adegan kucing kawin. Artinya, mereka seperti blank saat menghadapi serangan cepat dan kemudian tidak berusaha segera bereaksi saat bola tendangan pertama dapat dihalau oleh penjaga gawang. Inilah yang kemudian menjadi rumit ketika menghadapi tim yang lebih matang kualitasnya seperti Kroasia. Mereka semakin down ketika gol jarak jauh Luka Modric menjauhkan asa Messi dkk untuk mengejar ketertinggalan.
Naik ke tengah, di sana penulis melihat kurangnya kepastian tentang siapa yang memiliki porsi lebih untuk mengoordinir alur serangan. Sosok pemegang sentral permainan sangat diperlukan untuk dapat membebaskan Lionel Messi dari penjagaan ketat lini belakang Kroasia. Karena di laga ini, cenderung Messi tak mendapatkan porsi bola yang dibutuhkan untuk dapat merubah permainan menjadi positif bagi Argentina. Padahal di lini tengah Argentina terdapat pemain berkelas seperti Ever Banega yang cenderung dijadikan sebagai playmaker dan Angel Di Maria yang seharusnya menjadi second opinion dalam upaya mengalirkan bola dari tengah ke depan. Terlepas dari apapun strategi Jorge Sampaoli—juru taktik Argentina, (menurut penulis) Paulo Dybala dapat menjadi pemain alternatif yang berpotensi mampu men-drive bola untuk dapat menarik perhatian lini belakang Kroasia. Karena untuk merespon strategi covering pemain Kroasia terhadap Lionel Messi. Harus ada pemain lain yang dapat menonjol ketika pemain kuncinya telah dimatikan pergerakannya. Seharusnya (mungkin) seperti itu.
Lalu kita mulai menuju ke lini depan Argentina. Jika menilik keberadaan Messi di Argentina dengan keberadaan Messi di Barcelona, ada perbedaan di sana. Di Argentina, Messi cenderung seperti ditempatkan sebagai pilar utama di depan. Sedangkan di Barcelona, dia adalah pemain bayang-bayang ujung tombak—Luis Suarez. Messi adalah pemain yang bergerak dinamis, sehingga dia akan lebih berbahaya ketika dia tidak terlalu dekat dengan lini belakang lawan. Inilah yang membuat mengapa Messi kesulitan berkembang di Piala Dunia 2018. Karena, Messi harus bertarung dengan lini belakang lawan yang terbukti sudah sangat hafal dengan gaya permainan Messi yang memang selalu akan menjadi tumpuan sebagai pencetak gol. Seharusnya strategi Argentina sama seperti strategi saat melawan Islandia. Memasang Aguero adalah hal yang tepat. Atau mungkin jika ingin membuat peluang dengan bola-bola atas, dapat mencoba memainkan Higuain yang secara postur lebih tinggi dan besar dibandingkan Aguero. Memasang striker murni adalah keutamaan dalam mengoptimalkan peran Messi di dalam permainan tim. Messi sudah bukanlah pemain individual yang harus selalu memegang bola dan membawanya sendiri ke dalam kotak penalti seperti Neymar misalnya. Namun, dia sudah terbukti mahir dalam berbagi bola dan justru mungkin dia sangat menginginkan rekan-rekannya dapat mencetak gol, seperti di Barcelona ada Paulinho, Coutinho, Dembele dan tentunya Luis Suarez yang dapat dilayani dengan umpan-umpan manja oleh pemegang 5 trofi Ballon d’Or ini. Inilah yang seharusnya terjadi di lini depan Argentina.
Miris sekali melihat fakta dari tim dengan lini depan terkuat secara individual pemainnya seperti Argentina (ada Messi, Higuain, Aguero, dan Dybala) namun kesulitan mencetak gol. Kendala ini bisa terjadi dengan faktor tidak berimbangnya kekuatan di lini tengah. Argentina butuh pemain yang handal dalam bertarung di lini tengah—Javier Mascherano, handal dalam mengatur skema permainan—Ever Banega, dan agresif dalam menusuk lini pertahanan lawan—Angel Di Maria. Namun hanya itu pemain yang terbukti kualitasnya sudah matang, jika ketiga pemain ini sedang ‘off’, maka tak ada lagi pemain lain yang dapat menggantikan tugas mereka. Di sini pemilihan pemain juga patut dipertanyakan sedari awal. Perlu keseimbangan skuad dari langganan starting line-up sampai penghangat bangku cadangan. Atau di sini perlu adanya perubahan peran pemain. Messi dapat menjadi playmaker, maka tugas sebagai juru gedor harus diserahkan semuanya pada di antara tiga pemain depan Argentina (Aguero, Higuain, atau Dybala). Atau ketika Di Maria sedang ‘tidak mood’, maka dicobalah Dybala untuk mengisi posisi sayap kiri. Memang terkesan berjudi, karena mempertaruhkan pemain-pemain untuk keluar dari peran aslinya, istilah kerennya mengajak para pemain untuk ‘keluar dari zona nyaman’. Hal inilah yang seperti tidak dilakukan atau dicoba oleh sang pelatih.
Di sini kemudian, mulai mencoba menyentil soal kemampuan teknik pemain. Menurut penulis, Argentina tidak memiliki pemain yang menggaransi dirinya sebagai pemain handal berduel udara saat setpiece untuk Argentina—jika di Barcelona, Messi dapat mengirimkan bola tendangan bebas untuk Pique, Busquets, Umtiti, dan Paulinho. Termasuk ketika strategi permainan bola datar sudah susah untuk menembus lini belakang lawan. Maka tak heran ketika deadlock, Argentina masih tetap kukuh untuk memaksakan bermain dengan passing datar, tanpa mencoba untuk intens melakukan operan bola-bola lambung. Karena mereka tidak memiliki pemain yang tangguh dalam berduel udara di kotak penalti lawan. Marcos Rojo, Otamendi, dan Higuain memang bisa diandalkan, namun mereka jarang memiliki momentum untuk dapat membantu tim menciptakan peluang dengan bola-bola atas. Hal ini menjadi pembeda dibandingkan tim-tim peserta Piala Dunia lainnya. Misalnya Spanyol memiliki Diego Costa, Perancis punya Olivier Giroud, Uruguay punya Edinson Cavani, dan Portugal memiliki Cristiano Ronaldo. Meskipun tim-tim tersebut juga tidaklah sering memainkkan bola-bola atas. Namun, strategi memainkan bola-bola atas juga dapat dijadikan alternatif untuk mencari peluang, seperti Belgia misalnya. Memainkan Marouanne Fellaini adalah kunci untuk merubah taktik permainan Belgia yang selalu berupaya membangun serangan serapi mungkin dari kaki Eden Hazard, Yannick Carrasco dan Kevin De Bruyne, menjadi permainan yang lebih pragmatis dan lebih mementingkan bola dapat segera mengarah ke area kotak penalti lawan—karena sudah menunggu pemain tinggi-tinggi seperti Romelu Lukaku, Fellaini dan mungkin tiga pemain belakang mereka yang overlapp, Tobi Alderweireld, Jan Vertonghen, dan Vincent Kompany.
Begitulah sekiranya tentang permainan Argentina saat melawan Kroasia sekaligus menjadi aib besar yang harus segera ditanggapi oleh kubu timnas Argentina untuk segera berbenah lebih baik pasca helatan Piala Dunia 2018 ini. Lalu bagaimana dengan timnas Kroasia saat mereka mengalahkan Argentina? Kunci kesuksesan mereka ada di kekompakan tim, dan memiliki skuad dengan kemampuan yang merata dari penjaga gawang sampai striker. Danijel Subasic jelas menjadi mimpi buruk bagi skuad Argentina dengan kematangannya di bawah mistar yang sudah teruji oleh pengalamannya membela klub-klub di liga-liga Eropa. Lalu di belakang ada Vida dan Dejan Lovren yang juga memiliki jam terbang tinggi saat berkarir di klubnya masing-masing. Determinasi dan kemampuan duel dengan pemain depan lawan, sudah tak diragukan lagi. Selain lini depan yang memiliki Mario Mandzukic dan Ivan Perisic, Kroasia juga memiliki lini tengah yang bisa dikatakan menjadi lini tengah idaman. Karena di sana terdapat pemain-pemain tengah yang berkualitas seperti sang kapten Luka Modric, pemain Inter Milan Brozovic dan mantan pemain Inter Milan—Mateo Kovacic, serta gelandang elegan milik Barcelona Ivan Rakitic. Kualitas lini tengah inilah yang bagi penulis merupakan kunci keberhasilan mereka mengalahkan Argentina, selain karena gol-gol yang diciptakan oleh pemain-pemain tengah. Namun lebih ke strategi mereka untuk dapat meladeni lini tengah Argentina di babak pertama, mampu meredam agresivitas pemain Argentina dan membuat Argentina kesulitan mengembangkan permainan. Baru di babak kedualah mereka mulai mengeluarkan strategi menyerang yang cepat dan pressing tinggi membuat lini belakang lawan gugup dalam menguasai bola sehingga terciptalah kesalahan dari pemain lawan. Transisi cepat dari bertahan ke menyerang mampu membuat lini belakang Argentina kedodoran khususnya saat Argentina sedang mencari gol penyeimbang, yang mana itu artinya fokus Argentina sudah mengarah pada skema permainan menyerang 100%. Namun, justru dipukul mundur oleh serangan balik cepat dan upaya spekulasi jitu dari Modric yang membuahkan hasil bagi Kroasia. Terlihat bahwa gol kedua Kroasia membuat laga sudah seperti berakhir bagi Argentina. Membuat Kroasia semakin percaya diri dan mampu melahirkan gol ketiga dan mengunci skor akhir menjadi 0-3.
Kemenangan Kroasia atas Argentina menjadi bagian dari fakta bahwa negara-negara Eropa sudah berkembang pesat dewasa ini. Mereka (timnas asal Eropa) berupaya sangat serius meladeni kekuatan dari benua Amerika yang memang dikenal memiliki pemain-pemain hebat yang selalu menjadi tumpuan bagi klub-klub papan atas di Liga-liga Eropa. Namun, bukan sebuah jaminan bahwa tim-tim asal Amerika khususnya Amerika Selatan selalu lebih kuat dari tim-tim Eropa khususnya negara-negara yang bukan menjadi perhitungan, salah satunya adalah Kroasia. Kroasia menjadi salah satu bukti nyata bahwa sebuah tim dapat sukses dengan skuad yang merata kualitasnya dan matang mentalitasnya. Sehingga mereka pun tak gentar dalam menghadapi tim sekelas Argentina.
Demikian ulasan panjang tentang laga menarik Argentina vs Kroasia di fase grup Piala Dunia 2018 Rusia, dan nantikan pembahasan selanjutnya di part 2.



Comments
Post a Comment