REVIEW PIALA DUNIA 2018 (Chapter 4)
(laga ketiga di fase grup bagi masing-masing timnas; Nigeria vs Argentina, Korea Selatan vs Jerman, Swiss vs Kosta Rika)
![]() |
| Telstar 18 via Goal.com |
Pembahasan kali ini dibuka dengan laga mendebarkan bagi para pendukung timnas Argentina, karena di laga pamungkas di fase grup ini, nasib Argentina dipertaruhkan. Mampukah mereka lolos dari hadangan tim yang juga punya peluag cukup besar untuk lolos dari fase grup, Nigeria. Argentina jelas dituntut untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk dapat memenangkan laga ini. Demi meyakinkan publik, bahwa mereka masih layak untuk dipertaruhkan sebagai salah satu kandidat juara—karena banyak pihak yang menjagokan Argentina dapat mengulang capaian di 4 tahun sebelumnya (menjadi finalis Piala Dunia 2014). Namun, dalam dua laga di fase grup sebelumnya tim asuhan Jorge Sampaoli ini gagal meraih haasil maksimal. Imbang dengan tim debutan Islandia, dan kalah telak dari tim kuda hitam (tanpa mengurangi rasa hormat) yang penuh pemain-pemain kelas A—Kroasia. Maka, hasil maksimal di laga terakhir, jelas harus dicapai oleh Lionel Messi dkk.
Laga ini berjalan menarik, penuh drama. Termasuk ketika Messi akhirnya mampu mencetak gol di Piala Dunia tahun ini sekaligus membuka asa timnas Argentina untuk dapat melaju ke fase knock-out terbuka lebar. Skor 1-0 pun berakhir hingga jeda. Tentu, kepercayaan diri para pemain Argentina sangat menanjak saat itu, sampai pada akhirnya kesalahan pemain Argentina—yang lagi-lagi dengan cerobohnya, membuat lawan dapat kesempatan mencetak gol penyeimbang melalui tendangan penalti oleh Victor Moses. Jalannya laga tentu menarik pasca skor 1-1 ini terus berjalan, termasuk ketika terdapat sebuah kontroversial bola yang menyentuh tangan Marcos Rojo (secara tidak sengaja—menurut penulis dan dapat dilihat ulasannya di artikel sebelumnya yang membahas tentang “Gerakan Natural Pemain Sepakbola” yang cukup menyinggung tentang kejadian tersebut) di dalam kotak penalti Argentina. Publik Nigeria jelas mengharapkan ada penaliti kedua untuk Nigeria. Namun, setelah wasit Cuneyt Cakir meninjau hasil rekaman Video Assistent Referee (VAR), tidak ada penalti dan laga kembali berlanjut. Sampai akhirnya momentum Argentina untuk mencari gol kedua sekaligus gol kemenangan berhasil dituntaskan oleh tendangan first time Marcos Rojo setelah menerima umpan lambung dari sisi kanan penyerangan Argentina.
Gol kedua tercipta dan kemenangan pun berhasil diraih. Kemenangan Kroasia atas Islandia pun juga membantu mengantarkan Argentina untuk lolos ke fase gugur sebagai runner-up (4 poin) grup mendampingi Kroasia (9 poin) sebagai juara grup. Di sini, penulis menilai bahwa laga berjalan cukup berimbang bagi kedua kesebelasan. Perbedaannya adalah penguasaan bola Argentina lebih baik, sedangkan Nigeria lebih mengandalkan serangan balik cepat dan tajam—mampu merepotkan barisan pertahanan Argentina (lagi). Minus dari Argentina adalah penyelesaian akhir dan kerja sama 1-2 sentuhan harus dipoles lagi agar pergerakan bola lebih cepat dan susah diprediksi oleh pemain lawan. Seperti catatan di laga sebelumnya (saat melawan Kroasia), penulis menilai bahwa di laga ini, Argentina berani mencoba melakukan passing-passing jauh. Terbukti dengan dua gol tercipta dengan skema long pass dan crossing, dua bentuk operan yang memang bisa dijadikan sebagai alternatif ketika passing jarak dekat susah menembus pertahanan lawan.
Bagi Nigeria, mungkin ini sudah menjadi laga maksimal dalam berduel dengan tim seperti Argentina meskipun secara permainan, mereka tak kalah jauh dari Messi cs.
Di laga selanjutnya, ada pertemuan menarik antara Korea Selatan (Korsel) melawan Jerman. Duel dua tim yang berbeda misi di laga pamungkas fase grup ini. Ya, Korsel cenderung lebih lepas—nothing to lose, sedangkan Jerman harus meraih tiket lolos ke fase gugur—mirip seperti Argentina. Bedanya, mereka memiliki 3 poin dari hasil kemenangan atas Swedia di laga sebelumnya. sehingga bukan langkah sulit bagi Jerman untuk mampu lolos dari fase grup. Hanya saja, prediksi harus dibalikkan oleh jalannya pertandingan. Ya, Korsel di luar dugaan mampu mengalahkan Jerman dengan skor 2-0 dengan kerja keras selama 90 menit meski secara stamina, terlihat mereka sudah tidak maksimal—beberapa momen terlihat para pemain Korsel mudah jatuh dan terengah-engah. Mereka memang harus sangat fokus bertahan selama 90 menit karena dari awal sampai akhir, pertahanan mereka dibombardir oleh serangan bertubi-tubi skuad der Panzer. Nahasnya, Thomas Muller dkk gagal menceploskan satu gol pun ke gawang lawan—faktor penampilan apik penjaga gawang Korsel pada laga itu, dan faktor ketidakberuntungan. Peluang demi peluang datang dari kepala Matt Hummels, sentuhan Mario Gomez, tendangan Marco Reus, dan pemain-pemain lainnya.
![]() |
| Ekspresi para pemain timnas Jerman pasca kekalahan atas Korsel. Sumber gambar: indosport.com |
Di sini, penulis menilai bahwa di babak pertama Jerman mengalami dead-lock, di babak kedua murni kesialan, dan faktor ketiga adalah pemilihan pemain—starting line-up. Sedangkan, Korsel cenderung full defense, dan mengandalkan serangan balik yang beruntungnya sukses menembus pertahanan Jerman yang memang sudah tampil all-out untuk menyerang—termasuk Manuel Neuer. Gol kedua Korsel jelas karena tim asuhan Joachim Loew tak ada misi selain mencari gol (penyeimbang), sehingga kiper sekaligus kapten tim pun turut naik ke lini depan guna menambah jumlah pemain tim juara bertahan di kotak penalti lawan. Hasil ini pun membuat publik tercengang dan merasa bahwa kutukan juara Piala Konfederasi dan juara bertahan Piala Dunia tak mampu bermain optimal di gelaran Piala Dunia, seolah-olah bukan sekedar isapan jempol belaka. Namun, membicarakan soal mitos, penulis lebih tertarik soal fakta yang terjadi di permainan timnas Jerman yang memang sudah terlihat ada yang aneh, pasca kekalahan dari Meksiko. Yaitu kegagalan mereka meladeni tim yang full defense dan memiliki serangan balik yang sporadis—seperti yang ditunjukkan oleh Meksiko dan Korsel.
Hal ini tak lepas dari tak adanya pemain keras di lini tengah yang dapat melindungi barisan pertahanan yang diisi oleh dua pilar pertahanan Bayern Munchen (Jerome Boateng dan Matt Hummels). Fenomena ini sudah terendus saat melawan Meksiko, di mana ada pendapat tentang tak adanya perebut bola di lini tengah Jerman. Meskipun di skuad Jerman sebenarnya ada Toni Kroos dan Sami Khedira—dua gelandang tengah yang menyokong Mesut Ozil sebagai kreator serangan. Namun, menghadapi tim yang tidak diunggulkan (Meksiko, Swedia, Korsel) kadangkala dapat membuat konsentrasi tim yang diunggulkan (Jerman) lebih dominan pada ‘how to handle the game’ dan ‘how to attack’ dalam pertandingan. Di sini kemudian muncul pertanyaan, mengapa mereka bisa menang lawan Swedia namun kalah melawan dua tim lainnya, khususnya saat melawan Korsel? Di sini merunut pada gaya permainan dan momentum. Gaya permainan Swedia berbeda dengan Meksiko dan Korsel. Swedia lebih terbuka dibandingkan dua timnas beda benua tersebut. Hal ini membuat skema penyerangan Jerman lebih berkembang dan faktor keberuntungan juga menyertai jalannya laga—gol kedua Jerman melalui skema free-kick.
Jadi, kekalahan Jerman murni karena strategi antitesis yang dijalankan Meksiko dan Korsel berhasil dibandingkan Swedia, dan inilah yang membuat Jerman harus mengikuti jejak Perancis, Italia, dan Spanyol sebagai tim juara bertahan yang harus gugur di gelaran Piala Dunia selanjutnya. Dan menambah deretan statistik kegagalan tim peraih juara Piala Konfederasi, seperti Brazil di gelaran pra-Piala Dunia 2014. Namun, ini tak lepas dari pemilihan pemain, persiapan pra-Piala Dunia dan strategi yang gagal menaklukan lawan-lawan di fase grup yang mana lawan-lawannya juga punya keinginan menang karena membawa nama negaranya masing-masing di turnamen terbesar antar negara ini.
Di laga lainnya, tersajikan laga seru yang mempertemukan Swiss vs Kosta Rika. Mengapa seru? Karena jalannya pertandingan sangat menarik. Kedua tim saling serang, mencari peluang, dan berusaha memenangkan pertandingan. Di laga ini, penulis memberikan pendapat tentang permainan Swiss. Yaitu, tentang permainan keras dalam bertahan yang terlihat dapat menghadirkan blunder, sekaligus keuntungan bagi lawan untuk memiliki momentum mencetak gol. Banyaknya pelanggaran yang dibuat oleh pemain Swiss membuat tim ini memiliki koin dengan dua sisi berbeda. Ya, lini tengah dan depan mampu menyerang dengan baik—menghasilkan dua gol. Namun, di lini belakang mereka juga kebobolan dua gol—tak lepas dari ‘kebrutalan’ pemain tengah juga pemain belakang dalam bertahan. Penulis pun mengeluarkan sebuah statement, “Percuma sebuah tim dapat mencetak gol (dengan susah payah), jika mereka juga gagal bertahan dengan bersih—fair.” Dan gaya permainan seperti itu sulit menjamin langkah mereka (Swiss)—tetap dengan rasa hormat, untuk dapat melaju jauh. Karena, di babak sistem gugur biasanya akan menghadapi tim-tim unggulan yang lebih cerdik dalam menghadapi tim yang gaya permainannya seperti Granit Xhaka dkk. Namun, kelebihan dari gaya permainan Swiss ini adalah mampu menghadirkan permainan yang penuh semangat selama 90 menit, sehingga membuat penonton turut berpacu adrenalinnya.
So, demikian ulasan dari penulis tentang tiga laga menarik dari tiga grup yang berbeda yag kebetulan bagi penulis menarik untuk diulas. Segera akan hadir artikel berikutnya tentang laga-laga menarik di fase 16 besar Piala Dunia 2018 Rusia. Stay tune!




Comments
Post a Comment