BESARNYA PERAN DAN KONSEKUENSI
Kapten Sepak bola, Wasit, dan Presiden
“Bukan hal mudah, memiliki peran yang penting.”
Part 2 (Wasit Sepak bola)
Halo semua!
Kembali lagi, kita akan melanjutkan
pembahasan sebelumnya tentang figur-figur menarik dengan perannya yang tak begitu
mudah untuk dilakukan semua orang. Pada bagian kedua ini, kita akan membahas
tentang figur wasit, sang pengadil di lapangan permainan sepak bola dengan
peran, perkembangannya dan konsekuensinya. Mengapa (hanya) wasit sepak bola?
Karena secara pribadi, penulis belum terlalu familiar dengan wasit di olahraga
cabang lainnya (takut salah menilai L). Secara pribadi pula, menilai bahwa peran wasit di
sepak bola cukup berat. Apalagi menuju masa kini, yang mana seorang wasit tak
hanya dituntut memiliki kecakapan internal (tegas, jujur, adil, berpengetahuan—jelas),
juga eksternal (dapat bekerjasama dengan asistennya, official liga dan federasi, serta mengetahui adanya intrik-intrik
tertentu yang dapat mencederai fairplay).
![]() |
| Thoriq Alkatiri (wasit Indonesia FIFA) BW Edited |
Wasit sepak bola dewasa ini, sudah tak lagi hanya menjadi
‘penghias’ di tengah lapangan. Berada di antara 22 pemain sepak bola yang
biasanya jauh lebih dikenal publik penggila bola (gibol), sosok wasit kini juga
dikenal oleh gibolers. Tentu bukan
tanpa sebab. Figur olahraga yang identik mengenakan seragam dengan dominan
warna hitam tersebut kini tak asing lagi untuk diperbincangkan. Selain karena
kinerjanya, juga karena adanya keunikan-keunikan lainya yang mungkin menarik
minat publik untuk membahasnya.
Sejenak kita bernostalgia dengan turnamen Piala Dunia di
Rusia kemarin yang menghadirkan 26 wasit dan 63 asisten wasit
(liputan6.com). Meski tanpa wasit asal Inggris dan Britania Raya, perjalanan
turnamen ini tetaplah seru dan penuh cerita.
Turnamen 4 tahunan ini dibuka oleh pertandingan yang mempertemukan Rusia
sebagai tuan rumah hajatan sepakbola terbesar di Bumi melawan Arab Saudi. Laga ini
dipimpin oleh wasit asal Argentina, Nestor
Pitana. Kepemimpinannya dinilai cukup mengesankan, meskipun di laga
tersebut tidak menuai banyak hal menarik untuk dibahas selain lahirnya banyak
gol ke gawang Arab Saudi dari rekan-rekan Akinfeev
(penjaga gawang sekaligus kapten tim Rusia). Justru menariknya ada di sosok
Nestor Pitana. Wasit yang sudah berkarir di turnamen besar Piala Dunia sejak
2010 tersebut, ternyata juga terpilih menjadi wasit di final Piala Dunia 2018
yang memanggungkan duo Eropa, Perancis
vs Kroasia. Menurut penulis dalam menilai sosok Nestor Pitana ini secara
gestur, lalu cara dia berkomunikasi dengan pemain, dan secara fisik, wasit ini
memang pantas untuk menjadi pengadil di laga-laga besar yang biasanya akan
menghadirkan intrik-intrik terselubung dalam permainan.
![]() |
| Nestor Pitana (Fifa.com) |
Ketegasannya cukup terbukti dari banyaknya kartu kuning
yang dia keluarkan selama memimpin beberapa laga di Piala Dunia 2018 (±5
pertandingan—termasuk final). Meski bukan tanpa sebab tentunya. Di laga
tertentu, sebenarnya dia juga tak banyak mengeluarkan kartu kuning jikalau
memang jalannya pertandingan tidak diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran berat
yang harus diberikan sanksi kartu kuning. Mengingat pula bahwa dia berasal dari
Argentina (Zona Conmebol) yang mana di zona persepakbolaan Amerika Latin tersebut
cukup identik dengan permainan keras, sehingga membuat wasit berambut klimis
ini sudah terbiasa menilai permainan yang harus dihukum kartu, maupun mana yang
masih cukup hanya diberi peringatan saja. Namun di Eropa, permainannya tak
cukup pada keras dan cepat, namun juga dengan taktik. Termasuk taktik negatif
dari pemain yang mencari keuntungan bagi timnya agar mendapatkan peluang besar
mencetak gol. Banyak wasit Eropa sendiri yang masih kesulitan menilai mana yang
murni pelanggaran dan mana yang ada unsur kesengajaan pemain untuk mudah jatuh
di area rawan pertahanan lawan. Sehingga hal ini perlu membutuhkan wasit yang
tak hanya netral (tidak se-benua dengan timnas negara yang sedang bertanding),
namun jeli dalam mengambil keputusan—tepat dan ada aturannya. Contoh
dari kinerja wasit Nestor Pitana ini adalah saat dia mampu menilai diving dari Kylian Mbappe di salah satu
laga di Piala Dunia tersebut. Mampu memutuskan diving atau tidaknya pemain, dewasa ini mulai terlihat rumit. Selain
karena faktor terhalang jarak pandang, juga karena kelihaian pemain yang
mampu menyamarkan ‘adegan’ tersebut menjadi seolah-olah tersakiti 100%. Faktor
semacam ini juga yang membuat Piala Dunia 2018 dan beberapa kompetisi liga di
Eropa menerapkan VAR demi meminimalisir adanya kekeliruan dan keraguan dari
wasit untuk memutuskan apa yang telah terjadi dalam waktu singkat tersebut.
Namun, kembali lagi pada kecakapan wasit juga, apakah mampu tetap mengandalkan
kemampuan secara konvensional (diri sendiri dan asisten wasitnya non VAR) atau
tidak dalam memutuskan sebuah pelanggaran atau bukan.
Tak hanya Nestor Pitana yang mampu menjalankan laga
dengan cukup apik. Ada juga wasit lainnya yang secara pribadi cukup menarik
perhatian berdasarkan ketegasan dan kemampuannya mengombinasikan antara kemampuannya
dengan kinerja para asisten dan juga dengan kehadiran VAR. Terkhusus di Piala
Dunia 2018 kemarin, ada Damir Skomina
yang mampu mengeluarkan pemain asal Kolombia dari lapangan setelah si pemain dengan
sengaja menyentuh bola dengan tangannya. Lalu ada wasit asal Uruguay, Cunha Andres yang tak segan menggunakan
VAR untuk memutuskan pelanggaran di laga Perancis vs Australia. Juga wasit-wasit
asal Afrika yang kinerjanya tak kalah apik dengan wasit-wasit asal Eropa dan
Amerika. Sedangkan untuk wasit asal Asia, kinerjanya juga tak perlu lagi diragukan. Setidaknya tidak terlalu banyak memberikan keputusan ‘sulit’
bagi pemain di lapangan.
Sebenarnya, ada isu jika laga antara Maroko dan Portugal di Piala Dunia kemarin dinilai kurang adil karena wasit enggan menggunakan VAR dalam memutuskan
kejadian di laga tersebut (penulis belum mencaritahu wasit yang bersangkutan). Hal
itu sebenarnya, kembali lagi pada bagaimana sang wasit mengombinasikan
kemampuannya dengan hal-hal lain. Seperti yang sempat disinggung di paragraf
awal, bahwasanya wasit tak hanya mengandalkan kemampuan internal namun juga
kecakapan eksternal. Mengenali peran teknologi yang mulai menghiasi olahraga
sepak bola dengan kombinasi kemampuannya saat belajar mengejar lisensi wasit
FIFA. Toh, keputusan semua ada di wasit juga, bukan dengan intervensi dari
pemain maupun pihak lain. Meskipun terkadang keputusan yang diberikan juga tak
serta-merta 100% fair. Untuk itulah,
seorang wasit juga dibantu oleh dua asisten (hakim garis) dan wasit pengawas di
tepi lapangan. Termasuk VAR dan GLT yang juga guna membantu kinerja wasit
tersebut. http://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/08/review-piala-dunia-2018-chapter-10.html (baca juga artikel di link ini tentang VAR&GLT, ini juga jadi lanjutan part 1-nya chapter tersebut. hehe...)
Dewasa ini menjadi wasit sangat tak mudah, apalagi di
kompetisi sepak bola di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Alasannya?
Karena, pengetahuan dan pengalaman bermain sepak bola kadangkala menjadi
kendala oleh pemain sepak bola. Hal ini penting guna adanya upaya untuk menghargai
kehadiran dan keputusan wasit. Tak sedikit pemain yang selalu memprotes dan
mengomel tak jelas ketika wasit menetapkan pelanggaran dan lainnya dalam laga
tersebut. Hal ini tentu, membuat wasit harus sangat tegas meski tidak juga
membuat keputusan kontroversial berdasarkan kebaperannya. Melainkan, harus atas
dasar tindakan pemain dalam memprotes atau melakukan pelanggaran sudah di luar
batas kemakluman. Kejadian semacam ini kadangkala membuat wasit sangat
kesulitan untuk mengembangkan kinerjanya saat di lapangan. Meskipun itu juga
akan dipengaruhi oleh pengetahuan dan jam terbang dalam memimpin pertandingan.
![]() |
| (bolabanget.com) |
Jam terbang akan mempengaruhi bagaimana sikap wasit dalam
menjalankan tugasnya sebagai pengadil di lapangan hijau. Pengetahuan dengan kelas belajar perwasitannya akan
membantunya dalam ketepatan mengambil keputusan. Semakin tinggi lisensinya,
maka kinerjanya akan cukup matang dibandingkan wasit lainnya yang masih belum
memiliki lisensi tinggi. Namun, tak sedikit juga wasit yang berlisensi membuat
keputusan kontroversi saat memimpin jalannya pertandingan. Hal ini bisa dipicu
oleh kurang kenalnya dengan atmosfer kompetisi tersebut. Seperti, wasit
luar negeri yang didatangkan untuk menjadi wasit di laga domestik. Maka, dia
akan menjalankan pertandingan seperti gayanya di luar, tidak seperti di tanah
yang dia pijak saat itu.
Contohnya, wasit yang didatangkan adalah wasit asal
Australia. Dia akan menganggap adu badan di sepak bola itu hal wajar, sehingga
tidak akan ada pelanggaran. Namun, di Indonesia, adu badan di sini terkadang
tidak berimbang. Pemain asing mengadukan badannya yang lebih besar dengan
pemain lokal kadangkala akan membuat si pemain lokal terjatuh dan murni
kesakitan. Namun, hal ini tidak menjadi pelanggaran. Karena, selama itu tidak
merupakan tackling keras dan bukan
upaya mencederai ke pemain lawan, maka itu masih wajar. Hal ini benar secara rule. Namun agak kurang benar bagi orang
domestik yang sudah terbiasa melihat pemain jatuh adalah pelanggaran. Sehingga,
ketika pemain tim jagoannya jatuh dan tidak ada pelanggaran, maka wasit akan
disalahkan. Mungkin tidak berani melempari botol minuman ringan ke lapangan
seperti saat menghadapi wasit lokal yang mungkin membuat keputusan kontroversial.
Namun ternyata, ketika di sosial media orang-orang tak bertanggungjawab akan
melakukan aksinya menghujat sang wasit seolah-olah dia tahu aturan main di
sepak bola. Apalagi aturan perwasitan secara internasional. Hal ini menjadi
ironi ketika kita kadangkala menghujat kinerja wasit tanpa tahu aturan
sebenarnya. Padahal menjadi wasit berlisensi itu tak mudah. Jangankan level
FIFA. Level wasit di Liga 1 saja tak mudah (wasit yang memimpin laga di Liga 2
dan seterusnya standarnya berbeda dengan wasit di Liga 1).
Di sinilah ada penggaris-bawahan bahwa seorang wasit
seyogyanya tak cuma paham ‘aturan kerajaan’ namun juga paham ‘aturan rimba’,
dengan begitu dirinya dapat meminimalisir adanya kontroversi yang dapat
memacu emosi pihak-pihak tertentu. Ketegasan juga di sini sangat
diperlukan dalam membuat keputusan. Termasuk menghukum pemain yang cerewet
juga bukan hal yang tabu. Karena, itu meminimalisir adanya bentrokan di dalam
lapangan dan merusak fair play. Memahami
aturan kerajaan adalah aturan yang ada di peraturan resmi FIFA yang
merupakan federasi resmi internasional menaungi seluruh federasi sepak bola di
setiap negara dan benua. Artinya, sudah ada aturan main yang diketahui wasit
dalam memimpin jalannya pertandingan sepak bola di segala levelnya.
![]() |
| (law-justice.co) |
Memahami aturan rimba adalah mengetahui seluk-beluk (atmosfer) kompetisi di
setiap jenjangnya. Di kompetisi profesional akan seperti apa cara memimpinnya,
di kompetisi golongan usia seperti apa cara memimpinnya. Termasuk di pertandingan-pertandingan
skala regional dan internasional akan membedakan cara memimpin bagi wasit. Di sini
bukan soal beda aturan, melainkan cara berkomunikasi dan bagaimana
menjelaskan keputusan tersebut, agar dapat dimengerti oleh para pemain. Dan
kinerja wasit tentu juga akan tergantung pada level pemain yang berada di
lapangan. Bagaimana mereka juga harus memiliki edukasi terhadap figur wasit dan
perannya, sehingga mereka mampu menghargai keputusan wasit apapun itu.
Kontroversi tak hanya dimiliki oleh pemain sepak bola. Wasit
pun juga bisa melakukannya, entah disengaja atau tidak. Contoh yang dapat
memunculkan konflik antara pemain dan wasit adalah ketidakmampuan wasit dalam
menilai pelanggaran dengan tepat. Karena, sebenarnya keberadaan wasit di
dalam lapangan tak hanya berperan sebagai pengadil dalam permainan, namun juga
menjadi ‘pelindung’ bagi pemain. Ya! Adanya pelanggaran dan sanksi bagi
yang melanggar itu adalah untuk meminimalisir adanya cedera yang dialami
pemain. Hal ini tentu sangat dibutuhkan oleh pemain dan tim—termasuk pendukungnya.
Tapi, terkadang ada momen tertentu yang membuat wasit ragu dalam menetapkan
apakah itu pelanggaran. Jikalau pelanggaran apakah tepat diganjar kartu
kuning/merah, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena selain jarak pandang,
lalu koordinasi dengan asisten yang juga tidak menemukan buktinya, juga di sisi
lain adalah adanya upaya-upaya manipulasi dari pemain untuk berpura-pura
cedera saat mendapat pelanggaran. Hal ini, membuat wasit mungkin juga harus
menerka-nerka di situ. Inilah yang sebenarnya menjadi hal yang harus dipahami
bahwa konsekuensi dari wasit adalah dirinya harus tetap memutuskan apapun
itu dengan cepat dan tepat. Meskipun cepat jika tidak tepat, akhirnya akan muncul
gelombang protes dari pemain yang merasa dirugikan. Apabila tepat namun lambat,
itu juga akan membuat tempo permainan berubah karena waktu yang tertunda untuk
segera melanjutkan permainan terganggu oleh upaya wasit untuk meninjau ulang
kejadiannya agar menghasilkan keputusan yang tepat (ada kaitannya dengan penggunaan
VAR dan komunikasi dengan asisten/hakim garis).
![]() |
| (bolasport.com) |
Ya, begitu rumitnya konsekuensi menjadi wasit. Namun,
seiring berjalannya waktu, peran wasit akan cukup mudah—karena semakin
profesional, para pelaku olahraganya akan lebih memahami aturan main. Kuncinya
di sini adalah FAIR PLAY. Tak hanya
wasit yang meneriakkan dan menjalankannya tapi juga seluruh elemen di sepak
bola. Perkembangan teknologi juga akan membuat tugasnya wasit akan sedikit
bertambah. Yaitu, mempelajari sistem baru ketika ada teknologi yang diselipkan
ke sepak bola. Tinggal bagaimanakah sang wasit menghasilkan keputusan tepat,
itu (dari dulu sampai sekarang sebenarnya) 50-50. Mengapa 50-50?
Kita nantikan ulasan terakhir nanti yang akan ada baris
khusus yang menjawabnya. Ya, di post selanjutnya akan membahas tentang
presiden. Presiden negara mana? Hanya Indonesia atau juga negara lainnya?
![]() |
| Aurelie Sara Bollier (football-tribe.com) |
Let’s
we wait and see! Stay tune!









Comments
Post a Comment