Djajang Nurdjaman
Kiprah sang pelatih di kompetisi sepak bola Indonesia
dan strategi menyerang all out di paruh akhir babak kedua.
![]() |
| (Liputan6.com) |
Pria yang akrab disapa “Coach Djanur” ini tentu telah tak
asing bagi gibolers kompetisi sepak bola nasional. Sosok yang memang kabarnya
identik dengan skuad biru dari Bandung ini sudah cukup dikenal sebagai calon pelatih
masa depan ketika pernah menangani Pelita Jaya, baik dengan statusnya sebagai
asisten pelatih maupun pelatih. Menariknya di sini adalah Pelita Jaya pada masa
itu nyaris sama dengan Persib masa kini. Yaitu, memiliki skuad yang cukup kuat
untuk dapat kompetitif di kancah persepakbolaan tanah air. Hanya saja, dirinya
harus bersusah payah menyelamatkan Pelita Jaya dari bahaya degradasi di musim
terakhirnya yang justru naik pangkat dari asisten pelatih menjadi pelatih.
Setelah berada di kursi kepelatihan Pelita Jaya, mantan
pemain Persib Bandung yang juga pernah mengantarkan Persib menjadi juara
sebagai pemain dan juga ketika menjadi asisten pelatih ini mendapatkan tawaran
untuk pulang kampung. Ya, dia mendapatkan kursi pelatih di Persib Bandung.
Kisah ini sedikit mirip dengan kisah Kenny
Dalglish yang menjadi pelatih Liverpool
ketika dirinya sebelumnya merupakan mantan pemain Liverpool. Namun, ada
perbedaannya, yaitu keberhasilan Djajang Nurjaman yang mampu membawa Persib
menjadi juara di Liga Super Indonesia 2014 saat menjadi pelatih (artinya Djanur
telah berhasil berada di skuad juara Persib dalam tiga langkah karirnya sebagai
pemain, asisten pelatih dan pelatih). Di tahun 2015, Persib juga diantarkan ke
tangga juara Piala Presiden. Sungguh luar biasa, bukan?
Namun, seperti yang pernah diungkapkan sendiri oleh
pelatih yang kini menjadi salah satu pelatih elite di Indonesia, bahwa “seorang pelatih juga akan mengalami masa
naik dan turun”. Hal yang lumrah dalam bentuk kompetisi, baik di dunia olahraga
dan bidang-bidang lainnya. Seperti di bidang bisnis yang terkadang mengharuskan
kita untuk menyicipi kegagalan berkali-kali sebelum merengkuh manisnya
keberhasilan dalam meraup keuntungan. Inilah yang mungkin ingin dimaklumkan
juga di dalam dunia kepelatihan.
Setelah beberapa tahun berada di Persib Bandung, mantan
pemain yang berposisi sebagai striker ini akhirnya harus angkat kaki dari klub
yang membesarkan namanya hampir di seluruh karirnya sebagai pelaku sepakbola
aktif Indonesia (pemain, asisten pelatih, pelatih tim junior, dan pelatih tim
senior). Bukan tanpa sebab, pria asal Majalengka ini hengkang. Ya, hampir sama
seperti pelatih pada umumnya yang pergi dari klubnya, yaitu menurunnya performa
tim dan situasi klub yang mulai terendus media sedang penuh gonjang-ganjing.
Padahal, coach Djajang ini
meninggalkan skuad yang pada saat itu masih ada Michael Essien yang direkrut sebagai marquee player. Secara tim pun sebenarnya tidaklah teramat buruk.
Karena, di sana masih ada banyak pemain berpengalaman dan pernah turut membawa
Persib meraih beberapa gelar juara di musim-musim kompetisi sebelumnya. Termasuk
secara sokongan dana yang masih cukup untuk merayu pemain-pemain hebat agar
bergabung ke tim bermarkas di Stadion
Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) tersebut. Namun, mungkin karena situasi
dan nasib yang mengharuskan sang pelatih yang sudah menjadi bagian dari
keluarga besar Persib ini untuk pergi. Menariknya lagi, dia pergi bukan untuk
merapat ke tim besar lainnya yang berkompetisi di Liga 1, melainkan menjadi
‘juru selamat’ untuk tim besar yang telah lama ‘tidur’. Yaitu, PSMS Medan. Ya, klub klasik asal
Sumatera Utara ini pada saat itu masih berkompetisi di Liga 2 (kompetisi di
kasta kedua setelah Liga 1).
![]() |
| (indosport.com) |
Sebagai juru selamat di PSMS, Djanur mampu merealisasikan
harapan tim tersebut untuk mentas ke kompetisi tertinggi di Indonesia. PSMS
promosi ke Liga 1 dan sampai artikel ini ditulis, masih berkompetisi dan
bertarung mati-matian untuk tetap bertahan di Liga 1. Lalu, bagaimana kiprah
Djanur bersama tim yang identik dengan warna hijau itu? Sungguh disayangkan
bahwa kebersamaan keduanya gagal berlangsung lama. Karena, PSMS gagal
menunjukkan performa yang kompetitif untuk dapat bersaing dengan tim-tim
lainnya, termasuk dengan sesama klub-klub legendaris lainnya seperti Persija Jakarta, PSM Makassar, Persib Bandung,
dan Persebaya Surabaya. Bahkan kini,
pasca berpisah dengan Djajang Nurdjaman, posisi PSMS masih di zona degradasi
tepatnya di urutan ke-18 (juru kunci).
Apakah ada yang salah dengan Djajang Nurjaman
(taktiknya)? Atau ada yang salah juga di kubu PSMS sendiri (kepemilikan pemain
berkualitas di skuad dan manajerial di dalam tubuh klub)?
Mari, kita bedah sedikit dan dengan satu-satu dulu.
Artinya, kita akan membahas terlebih dahulu tentang coach Djanur dan nanti akan dilanjut dengan pengulikan sederhana
terhadap PSMS Medan.
Jika dirunut ke latar belakang Djajang Nurjaman,
sebenarnya sudah sempat disebutkan bahwa dirinya adalah mantan pemain depan.
Meski tubuhnya tak terlalu tinggi dan besar, namun kemampuannya di masa lalu
kabarnya juga tidaklah sembarangan. Termasuk ketika awal mula menjadi pelatih,
dirinya sebelumnya juga berada di bawah bayang-bayang pelatih-pelatih yang
memiliki taktik menyerang yang sangat dominan, salah satunya adalah pelatih
asal Moldova, Arcan Iurie. Termasuk
juga ketika dirinya pernah berada di Pelita Jaya yang pada saat itu memiliki
penyerang tajam seperti Safee Sali
(pemain asing asal Malaysia). Sehingga, dirinya seperti sudah terbiasa bermain
taktik dengan gaya menyerang yang dominan dan cukup cepat. Hal ini dapat
dilihat ketika Djanur sudah mengambil alih kursi kepelatihan Persib Bandung. Di
sana terdapat Ferdinan Sinaga, Tantan, Atep dan Airlangga Sucipto.
Bahkan sampai saat ini dua pemain terakhir masih berada di Persib meski dengan
performa yang sudah tak segemilang 4-5 musim sebelumnya. Bahkan sebenarnya,
ketika Djanur keluar dari pintu Persib, mereka masih memiliki Sergio van Dijk
yang sayangnya sudah tenggelam dengan cederanya dan penurunan performa. Selain
itu, perekrutan Carlton Cole juga
tidak memenuhi ekspektasi. Dan merapatnya Ezechiel
N’douassel yang agak terlambat, membuat keputusan untuk berpisah di antara
Persib dan Djajang Nurjaman harus tetap terjadi.
![]() |
| Saat masih melatih PERSIB (gonews.co) |
Masa keberhasilan Djanur ketika di Persib adalah
kesuksesan dalam mengusung taktik menyerang yang dominan dan mampu menghasilkan
banyak gol untuk memenangkan laga. Hal ini cukup terlihat dari perekrutan
pemain depan Persib yang semuanya bertipikal menyerang dengan kecepatan tinggi
dan memiliki skill individu luar
biasa. Tantan adalah pemain lincah namun mampu menjaga bola dalam penguasaan
kakinya. Ferdinan memiliki skill
individu luar biasa ketika memiliki kesempatan menguasai bola. Dukungan luar
biasa juga muncul dari barisan kedua ketika di sana masih ada M. Ridwan, Makan Konate dan Firman
Utina untuk menyuplai bola ke depan dan menguasai tempo permainan. Di sini,
Persib terlihat superior karena tak ada yang mampu menandingi kemampuan
menyerang Persib selain Persipura pada saat itu yang kebetulan juga menjadi
lawan terakhir di kompetisi tersebut untuk dapat memastikan diri sebagai juara
ISL 2014.
Setelah juara di ISL 2014, Persib juga menjadi juara di
Piala Presiden 2015. Menariknya, skuad Persib tak beda jauh dan begitu pula
strategi pelatih berkumis tersebut. Yaitu, menyerang dengan mengandalkan
kecepatan para pemainnya untuk membuat transisi dari bertahan ke menyerang.
Mereka bukannya hanya solid bertahan dengan adanya Vujovic, namun transisi cepat dari bertahan ke menyerang ini
seperti menjadi momok bagi pertahanan lawan ketika mereka tidak memiliki
pemain-pemain bertahan yang sanggup mengimbangan kecepatan pemain depan Persib.
Selain itu, ada gaya khas dari pelatih yang kini menangani Persebaya Surabaya
di paruh kedua musim kompetisi 2018 ini. Yaitu, strategi menyerang total di
paruh akhir babak kedua ketika sedang mengejar poin dan/atau kemenangan.
Hal yang menjadi lumrah ketika strategi seperti itu diterapkan di Persib.
Karena adanya faktor keseimbangan komposisi pemain di lini belakang sampai lini
depannya (kualitas pemainnya). Meskipun, ketika di Persib pada saat itu juga
tidak menutup kemungkinan untuk gagal meraih hasil yang diharapkan dengan
strategi semacam itu. Namun setidaknya, untuk klub seperti Persib dengan gaya
permainan offensive dari awal sampai
akhir pertandingan bukanlah hal tabu. Hanya saja menjadi catatan tersendiri,
ketika mereka gagal meraih hasil saat menggunakan strategi full offense tersebut. Hal ini dikarenakan, agak kurang jelinya
pelatih yang pernah menimba ilmu kepelatihan di Inter Milan tersebut untuk melihat kontra strategi dari pelatih
lawan. Ketika dirinya bernafsu untuk menekan habis-habisan pertahanan lawan
agar terciptanya gol penentu hasil positif (dengan memasukkan nyaris semua
pemain bertipikal menyerang di babak kedua), justru digagalkan dengan strategi
lawan yang memilih fokus bertahan dan mengandalkan serangan balik cepat.
Bukannya beruntung, malah bisa jadi buntung. Mungkin seperti itu istilahnya.
Dan menariknya, strategi yang sudah diterapkan selama berada di Persib ini juga
diterapkan di PSMS Medan.
![]() |
| Djajang Nurjaman dengan skuad junior Inter Milan (pojoksatu.id) |
Memang sangat menghibur bagi mata penonton apalagi di
rumah yang menonton siaran pertandingannya dengan dipandu om Valentino ‘JEBRET!’ Simanjuntak, ketika
adanya pola permainan yang terus menyerang dan membuat jantung ‘dagdigdugder’
(D4) baik itu di kubu lawannya tim asuhan coach
Djanur maupun di kubu timnya coach
Djanur. Keberadaan pelatih dengan strategi seperti itu juga membuat tim
memiliki potensi cerah dalam memenangkan pertandingan dibandingkan hanya
sekedar memainkan ball possession dan
permainan cantik. Permainan di arahan Djajang Nurjaman ini justru terkadang
terlihat pragmatis (asal menyerang) namun nyaris selalu mampu menembus
pertahanan lawan. Dan di kompetisi Liga 2 (tanpa mengurangi rasa respek besar
terhadap semua klub yang berkompetisi di dalamnya), strategi milik Djanur ini
nyaris 100% berhasil untuk menaklukkan lawan. Kualitas bertahan dan koordinasi
permainan lawan tidak terlalu ‘serumit’ tim-tim yang berlaga di Liga 1 (bukan
hanya karena faktor adanya pemain asing di posisi bek, meski itu juga salah
satu faktornya). Namun, ini tak lepas dari pengalaman Djajang Nurjaman
berkompetisi alot melawan pelatih-pelatih unggulan di kasta tertinggi selama
bertahun-tahun.
![]() |
| Kini menjadi pelatih Persebaya (newsmidnight.online) |
Dari sinilah, kita mulai melihat adanya taktik pelatih
kelahiran bulan Oktober ini mengalami kebuntuan ketika dirinya gagal
memiliki pemain hebat di lini depan klubnya. Hal ini bahkan diamini oleh
dirinya ketika pergi dari Persib. Dia mengaku gagal di Persib karena gagal
menghadirkan pemain depan yang sesuai harapan saat itu. Tak adanya penyerang
yang mampu menjadi tumpuan dalam mencetak gol seperti menjadi kartu joker
kesialan bagi pelatih ini. Ditambah lagi, kurang solidnya permainan bertahan
dan membangun serangan juga menjadi pekerjaan rumah besar bagi dirinya dalam
meramu taktik khasnya ke tim tersebut. Kendala ini semakin rumit ketika lawan,
khususnya pelatih lawan mampu membaca gaya permainan tim asuhan Djanur.
Termasuk ketika pelatih ini merapat ke Persebaya. Hasil terbarunya adalah Otavio Dutra dkk gagal mencegah tim
tamu, PS Tira untuk merayakan
kemenangan di kandang tim Bajul Ijo
tersebut. Agak beruntung, posisi Persebaya saat ini lebih baik dibandingkan
PSMS (tetap dengan respek terhadap tim besar klasik tersebut). Namun, secara
tim, atau secara permainan, Persebaya mulai seperti permainan PSMS. Bermain
terbuka di babak pertama (membiarkan lawan mencuri kesempatan menyerang
beberapa kali) dan mulai asyik menyerang di babak kedua. Hasilnya? Mereka
kerepotan ketika menghadapi tim yang memiliki gaya bermain spartan dan cukup
taktikal dalam membangun serangan dan saat bertahan. Seperti PS Tira yang di
babak pertama mampu mengeksploitasi pertahanan Persebaya dan kemudian mereka
masih mampu menangkap kelemahan Persebaya di babak kedua, yaitu kerapuhan di
lini belakang akibat fokus tim tersebut adalah menyerang untuk mencari gol
penyama kedudukan (skor pada saat itu masih 0-1 sebelum gol kedua di
menit-menit akhir membuyarkan mimpi The
Green Force). Inilah yang mungkin menjadi kendala bagi Djajang Nurjaman
ketika timnya yang sebenarnya lebih baik dibandingkan skuad di PSMS (lebih
seimbang). Yaitu saat berlaga, seringkali menghilangkan keseimbangan di
komposisi 11 pemain di atas lapangan, khususnya di babak kedua. Bayangkan, ada
tiga-lima pemain bertipikal menyerang dengan tiga striker dan dua winger ada di
sana. Jelas hal itu menjadi ‘ngilu’ ketika harus menghadapi serangan balik yang
kemudian menjadi awal dari peluang mencetak gol kedua PS Tira melalui tendangan
pojok. Ya, mungkin begitulah plus-minus
dari coach Djanur ini. Lalu,
bagaimana dengan PSMS Medan?
Mengenai PSMS Medan, penulis memperkirakan bahwa hal ini
ada sangkut-pautnya dengan kestabilan keuangan di tim. Artinya, seperti yang
sudah kita ketahui bersama bahwa berkompetisi di Liga 1 itu akan memerlukan
dana cukup besar untuk dapat kompetitif dari awal sampai akhir musim. Cara
kompetitifnya tak hanya dari keberhasilan mendatangkan pelatih hebat dan
berpengalaman, namun juga keberhasilan mendatangkan pemain yang berkualitas
pula. Soal pengalaman, bisa dipoles oleh pelatihnya saat kompetisi berjalan. Namun,
soal kualitas ini yang terkadang krusial. Meski tak mengurangi respek kepada
pemain-pemain yang sudah memperkuat PSMS selama musim ini berjalan, namun harus
diakui oleh penulis secara pribadi bahwa permainan yang luar biasa terkadang
tak bisa lepas dari keberadaan pemain yang luar biasa. Hal ini tak terpaku pada
kualitas individu saja, melainkan kemampuan berbagi bola itu juga penting.
Percuma dapat menggiring bola jauh, jika tidak mampu menghasilkan gol atau
mengirimkan bola ke rekannya yang memiliki potensi mencetak gol. Begitu pula
ketika permainan sudah cukup bagus secara komunal namun tidak ditunjang dengan
penyelesaian akhir yang jitu dari kualitas individual. Ini yang menjadi
halangan bagi tim PSMS untuk kompetitif dan meladeni permainan lawan dengan
strategi khas pelatihnya yang hobi menyerang.
Mari kita lihat ketika PSMS sudah ditinggal oleh Djajang
Nurjaman. Skema permainannya mulai sedikit berubah (tidak lagi bermain
terbuka), namun susunan pemainnya tidak banyak berubah. Akhirnya, hasil negatif
juga tak kunjung pergi dari kubu Abdur
Rohim dkk. Memang ketika di pertandingan terbaru mereka memiliki sosok Shohei Matsunaga yang perlahan namun
pasti mampu menguatkan lini tengah mereka, sehingga secara permainan mereka
tidak kalah telak. Ada petarung di lini tengah setidaknya berupaya untuk
meminimalisir kerapuhan di lini belakang. Dan itu cukup berjalan meskipun masih
menghadapi batu sandungan ketika harus berhadapan dengan lawan yang juga sedang
memiliki misi keluar dari jurang degradasi seperti PSIS Semarang. Kekalahan di
laga tersebut (2-3) menurut penulis dikarenakan fokus permainan PSMS sedikit
goyah di lini belakang, ketika laga sudah menjelang akhir dan mereka sudah
terlihat percaya diri untuk banyak menaruh pemain di zona pertahanan lawan. Sehingga,
ketika mendapatkan serangan balik, mereka kocar-kacir. Termasuk ketika menghadapi
bola sepak pojok pun terlihat seperti tidak fokus dalam menjaga pemain-pemain
lawan. Hal ini yang menjadi kekurangberuntungan bagi PSMS ketika mereka harus
bisa terus bertahan di Liga 1 musim depan—keluar dari zona degradasi.
Memang, kalah-menang adalah bagian dari pertandingan
sepak bola. Namun, kadangkala kekalahan dari kelengahan terlihat sangat
menyakitkan bagi tim yang sudah berusaha maksimal mencari hasil positif seperti
Djajang Nurjaman dan PSMS Medan. Meski, mereka berdua telah berpisah, namun di
antara keduanya seperti masih sama-sama memiliki cita rasa yang sama. Yaitu,
terus menyerang sampai peluit terakhir wasit terdengar.
![]() |
| Saat sedang di Italia (suratkabar.id) |
Semoga hasil positif segera menghampiri coach Djanur dan PSMS yang kini
sama-sama identik berwarna hijau meski dengan tanah yang berbeda. J
“Tak terasa gelap
pun jatuh...” eh, maksudnya tak terasa pembahasan tentang salah seorang
pelatih kelas atas Djajang Nurdjaman dengan pembahasan tentang strategi
permainan khasnya (menurut pengamatan penulis secara kasarnya) sudah sampai
pada garis finish. Semoga pembahasan
ini cukup bermanfaat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara kita semua.
Karena sportivitas harga mati!
Jangan lupa untuk tetap nantikan pembahasan selanjutnya,
termasuk pembahasan yang masih ‘to be
continue’ di artikel-artikel sebelumnya.
Silakan komentar apabila ada yang ingin dibagikan
informasi dan pengetahuannya kepada penulis. Karena, tak ada pengetahuan yang
mulia jika di antara kita tak saling berbagi. Hehehe...
Sekiranya begitu untuk akhir dari artikel ini.
Terimakasih dan SALAM OLAHRAGA INDONESIA!!!









Comments
Post a Comment