Pelatih Asing Berkualitas di Persepakbolaan Indonesia
Mereka hadir untuk memperkaya warna sepak bola Indonesia
Part 2
![]() |
| ilustrasi pelatih asing di Liga 1 2018 (palembang.tribunnews.com) |
Selanjutnya, kita akan mengenal sosok pelatih timnas
lainnya, yang masa kini sudah dikenal oleh publik sepak bola ‘zaman now’ dibandingkan figur-figur pelatih
timnas sebelumnya. yaitu pelatih asal Austria, Alfred Riedl. Pria yang sekilas
terlihat amat serius dan jutek dari ekspresi wajahnya, ternyata memiliki
filosofi sepak bola yang positif bagi timnas Indonesia kala itu. Yaitu,
DISIPLIN. Sehebat apapun pemain itu, jika tidak disiplin, maka kecil
kemungkinan untuk dapat mengenakan jersey
merah putih. Bahkan hal itu dapat dilihat dari minus-nya Boaz Solossa dan beberapa pemain lainnya di skuad timnas.
Padahal secara skill dan jam terbang di timnas sudah cukup banyak. Namun,
Alfred Riedl lebih respek dengan pemain yang disiplin dan terbukti mutunya.
![]() |
| saat masih melatih timnas Indonesia (sidomi.com) |
Menariknya di era Alfred Riedl adalah keberadaan pemain-pemain
naturalisasi dan pemain keturunan yang mulai membanjiri daftar pilihan pemain
untuk mengisi skuad Garuda saat itu. Tepatnya saat persiapan untuk Piala AFF
2010 yang kala itu Indonesia kembali bertindak sebagai salah satu tuan rumah,
selain Vietnam. Di gelaran ini, timnas Indonesia dibebankan dengan misi juara
untuk pertama kalinya. Sekaligus memupus trend
runner-up di turnamen dua tahunan tersebut. Skuadnya pun tak buruk. Bahkan
sudah cukup mumpuni. Di sana ada kombinasi antara pemain muda, senior dan
pemain naturalisasi Cristian Gonzales serta pemain keturunan Irfan Bachdim. Di
bagian pemain muda memang tidak banyak, selain dengan memanfaatkan
pemain-pemain jawara milik Arema kala itu (anak asuh Robert Rene Albert). Lalu
dikombinasikan dengan pemain berpengalaman seperti Bambang Pamungkas, Markus
Horison, Hamka Hamzah, Maman Abdurahman, Firman Utina, Ferry Rotinsulu dan M.
Ridwan. ada pula pemain asal jawara Arema seperti Kurnia Meiga, Zulkifli
Syukur, Benny Wahyudi, Ahmad Bustomi,
Arif Suyono, dan Yongki Aribowo. Sedangkan pemain muda ada Oktovianus Maniani.
Lalu ada warna baru dengan kehadiran Cristian ‘El Loco’ Gonzales dan Irfan
Bachdim, juga ada pemain-pemain lainnya termasuk pemain yang sangat diingat
gaya permainannya, yaitu M. Nasuha yang memiliki kemampuan mumpuni dalam
bertahan dan menyerang kala itu sebelum kini berkutat dengan cedera
panjangnya—semoga segera membaik dan kembali berkarir dengan sukses.
![]() |
| bersama Boaz Solossa dan Wolfgang Pikal (fourfourtwo.com) |
Kedisiplinan yang ditekankan Riedl kepada seluruh
pemainnya sejak training camp (TC)
juga berpengaruh ke dalam bentuk permainan. Timnas Indonesia bermain cukup
disiplin dalam membangun tembok pertahanan dan tenang dalam membangun serangan.
Mereka tidak tergesa-gesa melepaskan long
pass ketika memulai transisi dari bertahan ke menyerang. Para pemain
benar-benar membangun serangan dari kaki pemain terakhir yang berhasil
mendapatkan bola dari kegagalan lawan menyerang daerah pertahanan Hamka Hamzah
dkk. Biasanya bola akan di-build up oleh Benny Wahyudi atau Zulkifli Syukur di
kanan, atau M. Nasuha di kiri. Bola akan dipindahkan ke Ahmad Bustomi atau
Firman Utina, atau digeserkan ke M. Ridwan dan Octovianus Maniani. Strategi ini
berjalan sangat cair dan atraktif. Kadang juga dipindahkan langsung dari
belakang ke depan dengan memanfaatkan kemampuan duel 1-on-1 Cristian Gonzales
dengan bek-bek lawan. Seperti di pertandingan semifinal lawan Filipina, yang
mana gol-gol timnas Indonesia kala itu dicetak semuanya oleh pria naturalisasi
asal Uruguay tersebut melalui skema bola panjang yang diberikan dari belakang
ke depan.
Secara taktik bermain, timnas kala itu memang cukup luar
biasa. Hanya saja, mereka digagalkan oleh mentalitas yang belum tangguh saat
menghadapi teror pendukung tuan rumah Malaysia di final 1st leg. Kurang fokus
menghasilkan kecerobohan dalam bermain. Ditambah dengan gol Gonzales yang
dianulir, membuat semangat bertarung para punggawa Garuda kala itu terhempas
begitu saja. Padahal jika dirunut dari sejarah (paling tidak sejak tahun
2000-an) sampai 2016 kemarin, skuad ini jauh lebih meyakinkan. Bukan karena
skill pemainnya, melainkan penerapan filosofi bermain dan bersikap di luar dan
di dalam lapangan yang sangat diperhatikan oleh pelatihnya, membuat permainan
timnas terlihat seperti memiliki ‘soul’ ketika bermain. Sesuatu yang menariknya
tidak ada ketika gelaran piala AFF berlangsung sampai edisi 2016 lalu yang mana
juga dilatih oleh Alfred Riedl pasca timnas gonta-ganti pelatih, kisruh
internal PSSI, sampai banned FIFA menghampiri. Luar biasa bukan?
Kini, kita sedang dihadapkan pada misi menarik. Yaitu menjadi
juara Piala AFF 2018 ketika pelatih yang kemarin dianggap gagal membawa timnas
Indonesia juara di Asian Games 2018—pesertanya saja ada Korea Selatan yang
membawa Son Heung Min, sedang tidak jelas kepastiannya apakah akan kembali
melatih Boaz Solossa dkk atau tidak. Ya, Luis Milla yang secara visi juga
sedang berupaya membangun skuad di timnas yang potensial dalam meraih gelar
(apapun itu), dihadapkan pada kisruh hubungan antara pihak PSSI dengan dirinya.
Dari isu gaji yang tertunggak, sampai ‘kata-kata menarik’ yang seringkali
dilontarkan ketua umum PSSI terhadap pelatih tersebut. Kita sebagai publik
gibolers sepak bola Indonesia sudah tidak kaget dengan berbagai macam polemik
semacam itu. “Seolah seperti semacam komposisi lagu yang sudah khas berada
dalam album sepak bola Indonesia, khususnya di timnas Indonesia”. Apalagi dalam
momen sedang menghadapi proses persiapan menuju sebuah kompetisi. Seperti saat
ini, menjelang Piala AFF 2018.
![]() |
| Boaz dan Presiden RI Joko Widodo (sidomi.com) |
Jika persiapan saja selalu dibenturkan dengan
permasalahan, maka kita nanti akan melihat timnas Indonesia seolah-olah tak
hanya berjuang di atas lapangan untuk meraih kemenangan. Tapi, juga untuk
‘menyelesaikan’ kisruh yang melanda dunia sepak bola nusantara. Begitu berat
beban timnas setiap tahunnya dan itu mungkin yang membedakan keberhasilan dari
timnas senior dengan timnas junior yang secara beban pikiran sangat berbeda.
Jika di timnas junior hanya menyelesaikan misi pencarian modal untuk skuad masa
depan timnas senior. Maka, di timnas senior harus menyelesaikan misi pembuktian
bahwa mereka yang terbaik di jagad NKRI, sekaligus mengadem-ayemkan situasi
sepak bola Indonesia dari keegoisan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeruk
keuntungan melalui sepak bola.
![]() |
| ketika bersama timnas Indonesia (sports.okezone.com) |
Jadi, bagaimana nasib Luis Milla yang sebenarnya
merupakan pelatih muda yang potensial untuk membangun armada tempur yang solid
dan memiliki masa depan cerah itu? Apakah secepat itu Indonesia kecewa dengan
kinerjanya? Atau kitalah yang telah mengecewakannya?
![]() |
| Timnas Indonesia kerap mengandalkan pemain di lini tengah untuk mencetak gol, seperti Stefano Lilipaly dan Hargianto. (sport.detik.com) |
![]() |
| Spanyol juga tak jarang memecahkan kebuntuan melalui aksi pemain tengahnya seperti Isco dan Koke. (liputan6.com) |
Jika dirunut latar belakangnya, dia bukanlah pelatih
sembarangan. Memiliki pengalaman berkompetisi di sepak bola Eropa dan dunia
level tinggi baik saat bermain maupun saat melatih, tentu bukan menjadi soal
untuk mengenalkan filosofi bermainnya. Mengingat dirinya adalah orang Spanyol,
maka pikiran kita akan gaya main timnas Spanyol yang mampu menguasai permainan
dengan baik akan terbayang. Dan seperti itulah yang mungkin akan diterapkan di
Indonesia, mengingat pemain-pemain tengah Indonesia memiliki kemampuan
menguasai bola dengan cukup baik. Apalagi pendekatan taktik Luis Milla sudah
seperti gaya sepak bola masa kini. Yaitu, mengandalkan pemain bertipikal false nine untuk mencari peluang. Hal
ini cukup mirip dengan gaya permainan Spanyol yang tak terlalu bingung ketika
mereka tak memiliki banyak pilihan di sektor target man. Namun, ada yang menjadi pembedanya. Yaitu, Spanyol
memiliki banyak pemain di lini kedua yang mampu mencetak gol, sedangkan timnas
Indonesia minim untuk menemukan pemain selain penyerang yang mampu mengeksekusi
peluang menjadi gol. Jangankan pemain tengah yang haus gol, pemain depan saja
semakin ke sini, semakin kesulitan untuk memiliki insting ‘membunuh’ di depan
gawang lawan. Hal inilah yang sepertinya masih menjadi kendala bagi Milla untuk
menghasilkan kemenangan yang meyakinkan bagi timnas Indonesia, baik itu U-23
dan timnas senior.
![]() |
| bersama kru pelatih timnas Indonesia dalam suatu pertandingan (goal.com) |
Namun, jika diberikan kesempatan berupa waktu yang cukup
untuk membangun dinasti kuat di timnas Indonesia. Maka, tidak akan mustahil
bagi Indonesia untuk membawa pulang trofi juara, khususnya Piala AFF. Misi awal
yang memang harus diselesaikan secepatnya demi kebaikan timnas Indonesia di
masa depan—terkait mentalitas dalam bertanding melawan timnas manapun. Hal ini
sangat krusial, karena biasanya level permainan tak hanya dihitung dari
kemampuan pemain dan strategi pelatihnya, namun juga ada sedikit andil sejarah
yang biasanya memberikan tambahan terhadap pembangunan mentalitas pemenang
(sebelum menjadi jawara).
Idealnya, setelah Asian Games kemarin, skuad senior akan
segera mendapatkan masa TC di sela-sela padatnya dan sengitnya kompetisi Liga
1. Hal ini akan cukup memberikan atmosfer positif dalam rangka membentuk
buih-buih spirit untuk memenangkan laga uji coba yang seharusnya akan digelar
guna memanaskan dan memadukan komposisi skuad untuk menuntaskan dahaga gelar
juara di Piala AFF nanti.
So,
what’s now? Hmm... kita tunggu saja kabar terbarunya.
![]() |
| Widodo C. Putro dan Bima Sakti dalam sebuah momen bersama di konferensi pers. (bola.net) |
Sepertinya, Bima Sakti atau Widodo Cahyono Putro adalah
kandidat yang bagus bagi timnas saat ini. Dan mereka juga tidak mahal kan? Ditambah
lagi, mereka sudah tahu gaya main para pemain Indonesia. Peta persaingan di
Asia Tenggara pun mereka pastinya sudah tahu luar-dalam. Tinggal bagaimana
mereka siap meracik strategi yang pas. Memanfaatkan pula pengalaman keduanya yang
juga pernah menjadi asisten pelatih di timnas dari beberapa pelatih utama di
periode-periode sebelumnya. Jadi, bukan hal yang terlalu rumit untuk meng-compose taktik-taktik dari para
pendahulunya dan dipadupadankan dengan filosofi masing-masing jika salah satu
di antara keduanya dipilih. Atau idealnya adalah keduanya berkolaborasi. Satu
di antara keduanya menjadi pelatih, dan satunya menjadi asistennya. Sepertinya
itu cukup ideal. Tinggal bagaimana hasilnya, kita lihat nanti. Paling
pentingnya adalah kita harus dukung siapapun figur yang nanti menjadi dirijen
strategi di timnas Indonesia nanti.
INDONESIA PASTI BISA!!!
![]() |
| (kompasiana.com) |
Sumber-sumber yang membantu mengingat kiprah pelatih-pelatih tersebut:
Fourfourtwo.com
Liputan6.com
Striker.id
Bolalob.com
Bolasport.com
Indosport.com
Idntimes.com
Bolakompas.com
Cnnindonesia.com
Football-tribe.com












Comments
Post a Comment