EL CLASICO in “New Era”


(Ronaldo pergi dari Madrid, Messi cedera, tapi pemenang selalu ada)

banjarmasin.tribunnews.com


Part 1

Sebelum tulisan ini mengudara, sudah tak asing lagi kita mendengar bahwa El Clasico pertama di musim 2018-19 adalah El Clasico di era yang baru. Ada yang bilang demikian, karena ini ada kaitannya dengan situasi di klasemen sementara La Liga Spanyol sampai di jornada (pekan) ke-10. Ya, cukup unik ketika melihat adanya jarak antara Barcelona dengan Real Madrid sang juara bertahan Liga Champions musim lalu di posisi klasemen saat ini. Barcelona bersama Ernesto Valverde masih stabil duduk di puncak klasemen dengan 21 poin berkat 6 kali mendulang poin penuh dan 3 kali seri—1 kali nir poin. Berbeda dengan rival berat dari ibukota Spanyol, karena tanpa Cristiano Ronaldo yang hengkang ke Serie A bersama klub corak putih lainnya, Juventus, skuad asuhan Julen Lopetegui ini berada di posisi ke-9. Tujuh klub memisahkan kedua klub raksasa Spanyol dan Eropa saat ini. Memang, kompetisi masih hijau, sehingga belum patut untuk menyingkirkan peluang Sergio Ramos dkk bersaing memperebutkan gelar juara musim ini.

Masih ada 28 laga lagi yang akan dijalani. Artinya, mengejar gap 7 poin dengan pemuncak klasemen saat ini tentu bukan hal mustahil. Namun, ini bukanlah era Sir Alex Ferguson di Manchester United, juga bukan lagi era Arsene Wenger di Arsenal. Ini adalah era baru, yang mana, kursi kepelatihan di klub sepakbola saat ini akan menjadi panas dan bergoyang keras bagai gempa berkekuatan 7,1 Skala-Richter (SR) bahkan berpotensi tsunami ketika klub dilanda permasalahan tentang hasil laga yang negatif dan banyak. Sehingga, bukan perkara mudah bagi pelatih, pelatih manapun apalagi pelatih klub besar seperti Real Madrid. Target juara adalah realistis, bukan sebuah mimpi. Apalagi klub yang bermarkas di Santiago Bernabeu ini adalah juara bertahan Liga Champions berturut-turut, sehingga akan terlihat aneh—bukan konyol, ketika melihat Sergio Ramos tak lagi mengangkat trofi bergengsi.

Eurosport.com

Ingat, nyaris setiap entrenador (pelatih) di Real Madrid mengakhiri kariernya di sana ketika mereka gagal mempersembahkan trofi La Liga. Bahkan hal ini berlaku bagi Zinedine Zidane meski dirinya adalah pelatih muda hebat dan mampu mengantarkan Karim Benzema cs merengkuh trofi ‘Si Kuping Besar’ yang ke-13. Fantastis!

Di sinilah yang kemudian menjadi sorotan. Yaitu eksistensi seorang pelatih dapat dinilai lebih ketika dirinya mampu bersaing secara konsisten dalam mengarungi kompetisi yang panjang. Keberhasilan klub memenangi liga domestiknya, dapat disebut sebagai klub yang memiliki mental pemenang dalam waktu yang panjang. Artinya, menjadi juara adalah dengan konsistensi, bukan sekedar spirit besar ketika menghadapi laga-laga berat ataupun juga sebaliknya. Karena kalah di laga yang cukup mudah juga akan menjadi hal yang memalukan bagi klub yang sudah besar termasuk Real Madrid.

Sebelum melangkah terlalu jauh dalam membahas Real Madrid yang sedang terpuruk di awal musim ini, ada baiknya kita menengok kembali ke laga besar antara Barcelona vs Real Madrid di Camp Nou kemarin (28/10). Hasil di laga ini cukup mencerminkan bagaimana kondisi kedua tim saat ini. Termasuk kaitannya dengan sebutan El Clasico di era baru. Entah apa latar belakang dari sebutan tersebut, yang pasti memang ada perbedaan yang cukup menarik ketika laga yang selalu menyita banyak perhatian dari gibolers sejati sampai yang masih newbie ini berlangsung kemarin. Yaitu, ketiadaan dua pemain bintang dari kedua tim masing-masing. Cristiano Ronaldo bagi Real Madrid, dan Lionel Messi bagi Barcelona.

El Clasico tanpa kedua pemain peraih Ballon d'Or terbanyak saat ini. (banjarmasin.tribunnews.com)


Bedanya, Cristiano Ronaldo absen di laga ini karena statusnya sudah bukan lagi sebagai punggawa Los Blancos (julukan Real Madrid). Pemain yang identik dengan nomor punggung 7 ini telah menyeberang ke liga Eropa lainnya yang tak kalah seru, yaitu Serie A dengan berkostum Putih-Hitam milik klub peraih trofi Serie A tujuh kali beruntun—Juventus. Bersama Juventus artinya, kapten timnas Portugal ini sudah ‘pensiun’ dari El Clasico sebagai pemain Real Madrid. Hal ini yang kemudian banyak diperbincangkan oleh khalayak umum termasuk netizen. Mereka mulai mengungkapkan opini pesimistis terhadap peluang Isco dkk untuk meraih kemenangan di big match ini. Selain faktor tiadanya CR7 (julukan Cristiano Ronaldo), faktor pergantian pelatih yang diluar dugaan publik juga menjadi alasan lain yang diperkirakan dapat menjadi penentu hasil di laga tersebut. Lalu bagaimana dengan tim tuan rumah?

Barcelona, sang host El Clasico jilid pertama di musim 2018-19 ini tampil tanpa pemain andalan sekaligus kapten tim, Lionel Messi. Pemain asal Argentina ini absen karena cedera saat melawan Sevilla di laga sebelumnya. Namun, jika dilihat ke laga sebelumnya—saat melawan Inter Milan dan menang, Barcelona sepertinya lebih tenang dibandingkan kubu rival. Ketidakhadiran Messi di atas lapangan sepertinya masih mampu ditutupi oleh penampilan spartan Arthur Melo, kelincahan Rafinha, dan keeleganan Ivan Rakitic. Mereka bertiga setidaknya mampu mendukung Coutinho dan Luis Suarez di depan. Taktik yang matang dan sudah mengenali gaya kepelatihan Valverde sepertinya menjadi alasan tersendiri bahwa mereka tidak akan terkena musibah ketika sang pemain megabintangnya absen di beberapa laga. Toh, si Messiah tetap mendukung Sergio Busquets dkk dari kursi penonton/suporter bersama anak dan ayahnya.

Hasil laga?

Semua pasti sudah tahu bahwa Barcelona keluar sebagai pemenang. Mereka mampu mengamankan tiga poin dengan skor yang tak main-main. 5-1! Hattrick Luis Suarez, gol pertama laga dari kaki Phillipe Coutinho dan gol penutup dari sundulan mantap Arturo Vidal yang masuk sebagai pemain pengganti, sukses melesat ke gawang El Real yang dijaga oleh kiper barunya, Thibaut Courtouis. Mantan penjaga gawang klub Madrid lainnya, Atletico Madrid dan klub Inggris Chelsea ini, seperti tidak bisa move on dari kegagalannya membendung berondongan gol-gol dari kaki-kaki pemain El Barca ketika dirinya sebelumnya bermain di The Blues saat kedua tim pernah bertemu di partai Liga Champions. Kiper Belgia itu seolah sulit menerima kenyataan ketika gawangnya harus kebobolan gol kedua yang tercipta dari keberhasilan Luis Suarez membuka keran golnya di laga ini melalui tendangan penalti. Dia berhasil membaca arah tendangan striker asal Uruguay ini, namun sialnya kecepatan laju bola gagal dibendung oleh tangannya.

footballfanscast.com

Courtouis bukannya tanpa aksi heroik. Justru tanpa beberapa saves yang dia lakukan, mungkin Madrid sudah kebobolan lebih banyak gol. Apalagi di babak kedua, Real Madrid gagal menjaga fokus dalam bertahan yang membuat Barcelona sukses menambah gol ke-4 dan ke-5 dalam waktu yang cukup singkat. Ada faktor yang cukup dapat menjadi latar belakang kehancuran lini belakang Real Madrid yang mana harus rela mengakui keperkasaan sang rival berat. Yaitu perubahan taktik. Perubahan ini dapat dilihat dengan digantinya Raphael Varane yang kabarnya cedera dengan memasukkan Lucas Vasquez. Masuknya pemain sayap tengah ini membuat adanya perubahan formasi. Ramos yang awalnya bekerjasama dengan Varane sebagai duet palang pintu terakhir, di babak kedua bermain dengan diapit oleh Casemiro dan Nacho. Formasi menjadi 3-5-2, karena Marcelo diposisikan sedikit maju ke depan—sejajar dengan Vasquez. Perubahan ini sebenarnya memberikan pengaruh yang positif bagi Les Merengues. Lahirnya gol yang memperkecil ketertinggalan, bisa dijadikan bukti bahwa ada hasil dari perubahan taktik tersebut.

Selain itu, dengan menaruh 5 pemain di lini tengah membuat penguasaan bola Real Madrid menjadi meningkat. Pola serangan mulai terlihat dan support menyerang Marcelo yang di babak pertama sedikit tertahan—karena harus menghadapi Rafinha atau Coutinho yang bergantian meneror dan pergerakannya tak mudah untuk dihentikan, membuat pemain Brazil ini baru keluar magisnya saat dia mulai lebih fokus menyerang. Pertarungan lini tengah jelas dimenangkan oleh anak asuh Julen Lopetegui dengan formasi ini, dan tidak bohong bahwa di sini taktik dari eks pelatih timnas Spanyol cukup layak untuk dipuji. Memenangkan duel di lini tengah jelas bukan perkara mudah ketika harus menghadapi Barcelona—klub yang identik dengan gaya ball possession yang di atas rata-rata meski tim ini bukannya tanpa perubahan (pergantian pelatih juga terjadi di Blaugrana), walau tim yang melawan seperti skuad bintang Real Madrid. Bahkan di era kepelatihan Carlo Ancelotti dan Zidane, mereka juga kesulitan untuk membendung taktik bermain “compact playing” dalam menyusun serangan. Apalagi kala itu, Barcelona masih memiliki Andres Iniesta pasca kepergian Xavi Hernandez. Sebenarnya, Madrid sempat memiliki momentum untuk come back, namun petaka seolah tak bisa jauh dari kubu Los Galacticos ini ketika mereka gagal memanfaatkan momentum yang sudah mereka bangun dengan cukup baik. Bahkan sangat baik. Bagaimana tidak baik, jika melihat bola dapat disundul Benzema dengan leluasa tanpa pengawalan Pique maupun Lenglet. Lalu kita dapat melihat kerjasama apik Isco-Bale-Vasquez lalu juga diimbangi dengan kerjasama Benzema-Marcelo-Modric. Contoh-contoh ini dapat menjadi bukti Madrid mampu berbicara dalam hal membangun serangan dan menguasai bola. Tapi...



Comments

Popular Posts