MENULIS BUKAN SEBUAH KEAJAIBAN
I
"Semua pasti bertahap."
baca bagian sebelumnya:
https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban.html
Part 3
Tahap pengalaman selanjutnya adalah penulis mencoba belajar untuk menulis karya sastra yang pada saat itu langsung merujuk ke ranah seni pertunjukan, yaitu tak lain dan tak bukan adalah naskah lakon atau bisa disebut juga sebagai naskah teater—penulis akan menggunakan istilah naskah lakon merujuk kepada istilah umum yang lebih dikenal khususnya dalam lomba Pekan Seni Mahasiswa Nasional. Di dalam penulisan naskah lakon/teater ini tentu tidak mudah, bahkan lebih tepatnya adalah SULIT. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam menulis naskah lakon. Tak hanya tentang menyajikan teks cerita dengan bentuk umumnya seperti dialog antar tokoh. Namun, juga harus ada isi yang penting untuk dapat diangkat di dalam naskah tersebut.
Mampu membangun suasana, membentuk latar tempat kejadiannya, menghadirkan konflik dan solusi, serta permainan atau pemberian karakter terhadap tokoh-tokoh yang ada di cerita tersebut.
Tahapannya belum sampai ke aktualisasi konten di ceritanya dan bagaimana teknis pengemasan dalam menyusun cerita tersebut menjadi sebuah teks dialog yang kemudian dapat dipentaskan.
Kelayakan dalam mengangkat naskah lakon ke panggung teater jelas menjadi tahap selanjutnya yang harus sangat dimatangkan oleh penulis naskah lakon atau teater—karena itulah target utamanya. Karena, tak semua naskah yang sudah jadi layak untuk dipentaskan. Kalaupun semua naskah dapat dipentaskan, mungkin akan berpengaruh ke level pementasannya. Hal inilah yang menjadikan proses kurasi naskah dari proses kreatif penulisannya perlu dilakukan, agar tercapainya bentuk yang maksimal dan dapat memungkinkan untuk dipentaskan. Setidaknya 50% kualitas dari naskah tersebut telah membantu mengangkat kualitas terhadap pementasannya. Karena kalau sudah berada di atas panggung, pertunjukan dengan naskah siapapun dan apapun sudah menjadi tanggungjawab sutradaranya. Kecuali jika sutradaranya juga merupakan penulis naskahnya, maka tanggungjawabnya akan terbagi dua; dari tanggungjawab pemilihan naskah sampai ke tanggungjawab membentuk naskah tersebut menjadi sebuah pertunjukan. Begitu rumit, bukan? Hal ini juga tentunya berlaku bagi penulis karya sastra lainnya, hanya saja pada saat itu, penulis masuk terlebih dahulu ke model karya sastra naskah lakon. Sehingga tingkat kerumitannya sangat terasa ketika sudah mulai masuk ke ranah peningkatan level tulisan. Hal ini tentu juga berlaku di sastra puisi, cerpen, termasuk novel dan lainnya.
Berbicara soal hasil dari proses belajar menulis naskah lakon tersebut, penulis hanya sekedar mendapati dirinya dapat menulis saja, namun belum mampu menyempurnakannya sebagai karya naskah lakon yang layak untuk dipentaskan. Penulis masih kesulitan untuk menemukan ramuan yang tepat dari beberapa naskah yang telah jadi. Akhirnya, naskah tersebut masih hanya sebagai hiasan dan menumpuk ikut ke dalam kumpulan naskah namun belum pernah tersentuh ke dalam proses kreatif pertunjukan. Hal inilah yang menjadikan penulis masih sangat penasaran untuk terus menghasilkan karya-karya lagi di bidang tersebut. Meski kontinuitasnya kadangkala harus terhenti—di dalam ranah creative wiriting sering disebut block author atau block writing (penulis lebih memilih istilah yang kedua). Beberapa alasan memang sangat berpengaruh dalam kendala tersebut. Namun bagi penulis, poin utamanya adalah harus mempelajari lagi instrumentasi dalam pembuatan naskah. Contohnya adalah penokohan. Hal ini sangat vital, karena di dalam pertunjukan kita akan selalu memperhatikan tokohnya—yang harus memiliki karakter kuat dan jelas berbeda dibandingkan karakter tokoh lainnya. Tokoh tersebut harus ada sejak di dalam naskah, bukan dari pengimajinasian sutradara atau aktornya. Sehingga, dalam proses membentuk tokoh di atas panggung, harus ada sumbangsih besar dari penokohan di dalam naskah lakonnya. Inilah yang terkadang masih menjadi batu sandungan bagi penulis dan penulis naskah lakon lainnya ketika menghasilkan naskah lakon.
Perjalanan terus berlanjut ke masa-masa krisis, di sini penulis mengalami kebuntuan terhadap cara agar dapat produktif kembali ke ranah menulis. Pada masa itu kemudian penulis memutuskan untuk kembali ke gaya lama penulis. Yaitu menulis di buku tulis. Menulis apapun yang sedang dan telah terjadi dan ada kaitannya dengan yang dialami langsung oleh penulis maupun orang lain atau situasi global yang sedang menjadi trending topic. Segala hal tersebut kemudian ditulis ke buku kecil model note book. Memang tidak diisi setiap hari, karena tidak semua hal yang terjadi perlu untuk ditulis di buku tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tulisan di buku catatan tersebut sangat didominasi oleh tulisan dari kata-kata yang sangat memenuhi pikiran. Tentunya cukup klise jika diungkapkan di sini. Karena, kebanyakan akan bisa menebak tulisan apa kira-kira yang dominan kala itu.
Semuanya terjadi dengan mengalir seperti arus sungai di perkotaan, lengkap dengan ganjalan sampah-sampah yang terhenti di tengah dan mengganggu kelancaran alirannya. Begitu pula dalam proses menulis. Melalui cara tersebut, perlahan namun pasti, penulis mulai berhasil mengatasi block writing (jeda menulis yang tidak begitu panjang). Ada kontinuitas yang terus terjaga, meski tidak sekencang saat masa-masa jatuh cinta untuk menulis naskah lakon. Pada masa kebangkitan itu, penulis mencoba memulai tulisan dengan membuat puisi-puisi pendek, prosa-prosa panjang yang menyuarakan motivasi dan perjuangan pahlawan dan sampai pada suatu masa sempat kembali menelurkan naskah lakon baru. Meski di sini, penulis masih belum mendapatkan hasil yang maksimal tentunya. Di masa block writing ini tentunya tidak seburuk masa stop writing yang pernah dialami penulis sebelumnya. Karena, di masa ini penulis masih dapat menggunakan waktunya untuk produktif secara halus. Artinya di sini, penulis mengalihkan fokus diri untuk membaca. Membaca segala tulisan baik tentang ranah pendidikan maupun tentang hal-hal berbau sastra dan tak lupa untuk mengonsumsi buku-buku yang menghadirkan cerita-cerita fiksi—agar otak tidak jenuh dan terhibur.
Mungkin di sini para pembaca penasaran dengan istilah block dan stop writing. Baca selanjutnya: https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban_21.html
Comments
Post a Comment