MENULIS BUKAN SEBUAH KEAJAIBAN

I

"Berhenti bukan suatu 'dosa', manusia itu dinamis. Kau saja yang terlewat fanatis."






harap sebelumnya baca dari bagian awal:
1. https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban.html

2. https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban_18.html

3. https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/10/menulis-bukan-sebuah-keajaiban_84.html


Part 4


Mungkin ada yang bertanya-tanya tentang apa itu block writing dan apa itu stop writing. Kalau dicari di internet mungkin lebih banyak yang menyebut block author, bahkan di salah satu buku yang membahas tentang proses kreatif menulis malah menyebutnya dengan block writer. Entah yang mana istilah yang tepat namun semuanya merujuk pada maksud yang sama. Yaitu, berhenti menulis. Ya, nyaris semua penulis mengalami hal ini dengan berbagai sebab yang mengiringi. Namun masalah ini akan temporal, artinya tidak akan berlarut-larut atau memakan waktu yang panjang. Meskipun ini akan bergantung pada individu masing-masing (para penulis), apakah mau comeback atau tidak. Nah, rentang waktu inilah yang kemudian penulis klasifikasikan ke dua istilah, yaitu block writing dan stop writing.

Block writing artinya berhenti menulis dalam waktu tertentu yang tidak terlalu panjang, dan di masa itu seorang penulis bisa memiliki banyak cara untuk menggantikan aktivitas creative writing (cw)-nya dengan berbagai hal. Namun, di sini ada dua hal yang cukup dekat dengan ranah menulis. Yaitu, pertama tetap menulis, namun tidak menulis tentang hal-hal yang awalnya menjadi fokus cw-nya. Contoh, seseorang menjadi penulis cerpen sebagai fokus cw-nya, namun di masa block writing-nya, dia memilih untuk mengisi kegiatan kosongnya dengan menulis quote. Seperti penulis, yang awalnya mencoba untuk fokus menulis naskah lakon, namun ketika block writing, penulis memilih untuk menulis hal-hal yang tidak jauh dari kisah yang dialami dalam keseharian dan itu dapat berupa essai pendek, puisi maupun prosa. Meskipun penulis lebih sreg menyebutnya sebagai catatan harian saja.

Kedua, tidak menulis melainkan membaca. Membaca di sini dapat disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan dari penulis tersebut yang harus nyambi (melakukan dua pekerjaan sekaligus) namun kali ini harus lebih fokus ke dunia membaca. Membaca tentu akan membuat seorang penulis punya potensi untuk kembali menulis. Karena kekayaan tentang ide yang telah diperoleh selama proses membaca tentu tidak akan bisa dibiarkan menguap begitu saja. Kecuali jika si penulis sudah alih profesi sebagai sosialita, baru beda ceritanya (hehehe). Mungkin pengalihannya bukan untuk menulis tapi untuk berdiskusi dengan sesama anggota sosialita di gengnya. Nah, dari kedua hal tersebutlah maka ada alasan bagi seorang penulis untuk dimasukkan ke dalam masa block writing. Artinya, dia memang menyadari telah mengalami kebuntuan dalam proses kreatif namun dia berusaha untuk tidak jauh-jauh dari dunia menulis. Artinya, block writing ini hanya sekedar sebagai masa-masa istirahat bagi penulis yang memang pasti membutuhkan suasana baru dalam menghabiskan waktu kesehariannya.

Lalu untuk istilah stop writing, penulis mengklasifikasikannya sebagai masa yang panjang bagi seorang penulis untuk berhenti berproses dalam menulis. Mereka biasanya akan beralih ke kegiatan lainnya yang cukup jauh dari ranah menulis. Seperti seorang penulis yang akhirnya terjun ke ranah bisnis. Akhirnya, dirinya akan sangat fokus mengelola bisnisnya dibandingkan melakukan kegiatan menulis kreatif. Meskipun pebisnis yang awalnya memiliki kelihaian dalam creative writing akan cukup cekatan dalam melakukan kerja sama dengan partner bisnisnya. Karena terbantu dengan pengalamannya dalam membangun komunikasi dengan hasil tulisan. Dari sana, si penulis yang mengalami stop writing kemungkinan besar tidak akan kembali sebagai penulis lagi, meski ada kemungkinan kecil untuk kembali. Karena bersama dengan berkembangnya bisnis, maka dirinya pasti akan memiliki kesibukan baru. Yaitu sebagai motivator. Motivator yang bergerak di bidang bisnis tentu juga membutuhkan kemampuan menulis agar setiap kata-kata motivasinya dapat tepat sasaran. Penulis secara pribadi juga pernah mengalami stop writing, khususnya ketika masa peralihan pendidikan dari sekolah ke kuliah. Di masa sekolah kegiatan menulis kreatif memang tidaklah sebanyak saat sudah kuliah. Karena tulisan yang dihasilkan pada saat itu juga masih kurang jelas arahnya, dan di masa itu penulis hanya fokus terhadap pendidikan dan kegiatan ekstra baru yang awalnya masih berkutat pada jenis olahraga. Di masa itu pula penulis tidak memiliki keinginan untuk menulis kreatif dalam bentuk apapun kecuali melakukan pembagian cerita keseharian dengan update status di akun sosmed pribadi—hal ini juga terjadi bagi penulis di masa block writing. Bedanya di masa stop writing itu, penulis benar-benar kesulitan untuk membangun semangat untuk menulis kreatif, karena tergiur dengan upaya lain yang mungkin memiliki peluang lebih untuk mencapai harapan. Stop writing sebenarnya juga terjadi di masa kuliah dalam hal menulis kreatif. Namun di sini penulis cukup sadar dan berusaha mencari jalan keluar untuk dapat kembali lagi  menulis—dengan membaca buku-buku tertentu sebelum masuk ke masa menulis bebas. Sehingga, penulis masih menganggap itu adalah block writing meski rentang waktunya lumayan panjang. Sekitar 1 tahun lebih.

Sebenarnya keduanya tidaklah berbeda jauh, karena memasuki kedua masa berhenti menulis itu relatif. Mengapa? Keputusannya ada di individu yang bersangkutan, apakah mau kembali menulis atau tidak. Jika tidak, maka dirinya sudah masuk ke masa stop writing dan besar kemungkinan dirinya juga akan melepas statusnya sebagai penulis. Namun, jika dirinya kembali lagi dalam waktu yang tak diduga, maka dirinya bisa disebut hanya memasuki masa jeda sejenak untuk kemudian kembali lagi dengan fresh. Biasanya penulis yang mengalami block writing atau stop writing akan dapat dilihat dari bentuk tulisannya yang sedikit berbeda dengan karya tulis sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena ada masa jeda yang dimanfaatkan penulis (dalam masa pengembaraan) untuk menggali informasi yang mendalam untuk membuat pengaruh yang signifikan terhadap tulisannya (ketika pulang dengan membawa hasil).

Jadi, menulis itu bukan keajaiban. Tidak bisa hanya membutuhkan satu malam untuk melahirkan seorang anak. Perlu malam pertama dan malam-malam berikutnya. Tidak bisa hanya dengan “bimsalabim”, lalu muncul seekor kelinci di dalam topi. Tentu "perlu bantuan, agar jadi apa" yang ingin ditampilkan oleh pesulapnya. Seperti menulis, butuh proses dari hanya membaca huruf dan angka, lalu memegang pensil dengan tangan terkuat dan yang paling disarankan oleh kedua orangtua. Lalu tangan itu mulai menulis dengan pulpen sampai spidol untuk menulis di papan besar. Hingga dapat merambah ke pena. Pena ajaib yang dapat mengeluarkan huruf-huruf dan angka-angka yang lebih magis daripada tulisan anak 2 tahun. Meski tulisan anak 2 tahun akan terasa indah karena kenaturalisnya yang tak bisa dibeli berapapun.

sumber gambar pribadi

Ya, semua hal yang ingin ditekuni, akan sangat membutuhkan proses yang panjang dan berliku-liku. Satu hal lagi yang seringkali membuat kita seringkali bimbang (maju mundur syantik) dalam upaya menentukan apa yang kita tekuni adalah kita harus berkorban. Mengorbankan hal-hal yang entah itu kita sayangi, entah itu lebih menguntungkan, atau harus mengorbankan uang untuk dapat meraih apa yang kita inginkan. Karena manusia lebih identik dengan hasrat memenuhi keinginan daripada hasrat tentang kebutuhan. Kebutuhan biologis saja menjadi kabur antara kebutuhan atau keinginan. Karena keduanya akan ditentukan dari bagaimana cara kita untuk merealisasikannya. Begitu pula dengan menulis. Apakah itu keinginan atau kebutuhan?



———
Tulisan ini akan lanjut ke tahap selanjutnya. Yaitu tentang referensi. Semua tentu punya idola, bukan? Termasuk bagi seorang penulis. Dia juga perlu idola. Perlu role model untuk dapat melakukan apa yang akhirnya menjadi ciri khasnya nanti. Bertahap, seperti perspektif George Herbert Mead yang menyatakan bahwa seseorang (berawal dari dirinya masih anak-anak) saat memasuki dunia sosial akan mengalami masa Preparatory Stage (tahap persiapan), Play Stage (tahap meniru), Game Stage (tahap bertindak), dan Generalized Other (tahap menerima norma/aturan). Hal ini bisa juga dijadikan tahap saat memasuki dunia tulis-menulis. Anggap saja, diri sebagai anak yang suatu saat akan tumbuh berkembang sebagai orang dewasa dan punya anak.

Comments

Popular Posts