MUSIK INDONESIA SAAT INI
(NOAH dan grup band lawas lainnya yang harus bertahan di jagad musik Indonesia)
Lalu bagaimana jika kita melihat perkembangan musik secara ‘dirinya sendiri’—tanpa bersama dengan cabang seni lainnya?
Musik berkembang biasanya berdasarkan tingkat kemajuan. Di sini kita bisa merujuk pada kemajuan teknologi yang berada di musik. Ketika alat atau instrumen musik sudah semakin canggih maka perkembangan musik akan mengembangkan sayapnya. Di sini kemudian dapat melahirkan aliran musik yang kian beragam. Perkembangan musik memang sepertinya tak bisa lepas dengan keberadaan aliran. Sama seperti cabang seni lainnya yang memiliki aliran yang juga beragam. Musik juga memiliki aliran-aliran yang kemudian menyesuaikan dengan selera pendengarnya. Ada orang-orang yang menyukai musik pop karena ritme nada terdengar seperti lebih realis dibandingkan musik rock yang seolah-olah harus menggebu-gebu (tidak ada maksud untuk menganggap musik rock kalah saing dengan musik pop). Musik pop juga dinilai lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum karena nadanya dapat terdengar lebih beragam—ada yang sedikit cepat temponya dan ada pula yang pelan. Artinya, musik pop dapat membantu kita untuk membuka pintu sesuai dengan keinginan kita. Hal inilah mungkin bisa dijadikan alasan mengapa musik pop masih tak sepi pendengarnya, termasuk yang menciptakannya juga tak pernah berkurang.
Aliran di musik cukup banyak bahkan jika dilihat di masa kini, justru semakin banyak. Karena setiap aliran yang sudah ada kemudian ‘menganak-cucu’ menjadi aliran-aliran baru. Hal ini kemudian menjadikan musik harus masuk ke tahap perubahan. Perubahan di sini bisa dilihat dengan musik trend. Maksudnya, musik yang terkenal saat ini tentu berbeda dengan musik yang terkenal di masa lalu. Musik di tahun 2018 tentu berbeda dengan musik di tahun 1998. Jangankan berjarak 20 tahun, ketika memasuki tahun yang berbeda satu atau dua tahun saja terkadang kita mulai mendapati musik (yang terdengar) baru. Ambil contoh di tahun 2014-an kita belum terlalu kenal dengan musik yang dihadirkan oleh Payung Teduh, namun ketika musik ini mulai viral, maka kita hampir setiap hari selalu mendengar musik dari Payung Teduh diputar di mana-mana di tahun 2016-an. Media informasi dan komunikasi di sini juga memegang andil besar dalam penyebaran dari musik termasuk perubahannya.
Jika dibandingkan dulu, perubahan musik saat itu bisa dikatakan tidak cepat. Hal ini bisa dilihat ketika musik dangdut yang dibawakan Rhoma Irama masih terdengar kencang sampai tahun 2000-an. Faktor yang cukup mendukung adalah media mendengarkan musik yang saat itu masih mengandalkan tape recorder bahkan yang kurang mampu harus lebih mengkeramatkan radio. Karena, dengan radiolah banyak telinga yang bergantung untuk dapat mendengarkan lagu kesukaannya. Bahkan anak-anak SMP di tahun 2001 atau 2002 masih berlomba-lomba dengan pendengar lainnya untuk dapat diputarkan lagu yang di-request—dan kesempatan itu tak mudah alias 50:1 kesempatannya untuk dapat diputarkan request-nya itupun belum pada kesempatan untuk dibacakan salamnya. Karena biasanya lagu yang di-request juga bisa ditujukan untuk orang lain yang dianggap spesial. Hal ini jelas berbeda dengan masa kini yang bisa setiap hari mendengarkan musik ‘tanpa merepotkan orang lain’.
Jika dulu harus setia mendengarkan channel di radio untuk jam-jam tertentu yang dapat menghadirkan musik kesukaan, sekarang setiap kita penat atau sedang santai, bisa langsung buka gadget (ponsel dan laptop) untuk memutar musik. Bahkan kita bisa menyusun sendiri daftar musik yang ingin kita dengar. Tanpa batas! Hal inilah yang membuat perkembangan dan perubahan sangat cepat dan membuat kita terkadang tidak mudah juga untuk segera beradaptasi dalam mendengarkan musik-musik baru.
Bisa dibayangkan bagaimana proses adaptasi bagi pendengar musik dari grup band seperti PETERPAN harus mencoba mendengarkan musik dari FOURTWNTY. Pendengar musik khas dari Rhoma Irama, Mansyur, Ikang Fawzi, Arafiq, kini harus mendengarkan musik yang dibawakan oleh Via Vallen dan Nella Kharisma misalnya. Musiknya memang memiliki garis yang sama jika dirunut benang merahnya, namun gaya yang ditawarkan itu selalu ada perubahan tersendiri, dan itu tak lepas dari minat masyarakat pendengarnya. Hal ini kemudian semakin mendorong para penghasil musik (musisi) untuk semakin giat dan gencar dalam melahirkan warna baru di jagad musik Indonesia.
Tak hanya pendengar musik yang harus menyesuaikan selera pendengarannya, para musisi (khususnya musisi lawas) juga harus menyesuaikan karyanya. Hal ini harus dilakukan agar mereka tetap bertahan. Karena dengan adanya perubahan, maka tak menutup kemungkinan adanya kelahiran musisi-musisi baru. Dari merekalah musik semakin menarik. Bersama dengan fakta yang susah ditolak itu maka tak ayal, para musisi masa lalu (masa kecil/masa muda generasi kelahiran 80-90-an) harus menentukan pilihan. Pergi (pensiun) atau bertahan (belajar dan turut menghadirkan perubahan) di belantika musik Merah Putih ini.
Kita bisa sebut contoh band-band yang populer di tahun 2000-an, seperti Peterpan yang kemudian berubah menjadi NOAH, PADI yang kemudian (sepertinya) berubah menjadi MUSIKIMIA, SLANK, Jikustik, Flanela, Element, Laluna, Naif, Tahta, Jamrud, Sheila on 7, Ada Band, ST12 menjadi Setia Band, Dewa 19, Seventeen, Utopia, Cokelat, Tipe-X, hingga kemudian kita mengenal Vagetoz, Kangen Band, WALI, Kerispatih, Armada, Five Minutes, Hijau Daun, D’Masiv, dan band-band lainnya yang lahir dan hits sebelum masuk tahun 2010-an.
Diantaranya ada yang sudah tinggal kenangan, namun ada juga yang bertahan sampai tulisan ini diketik dan dipublikasikan. Tentu mereka tidak sekedar bertahan, mereka be-revolusi. Mencoba untuk membuat cara baru meski dengan identitas yang tak sepenuhnya berubah. Contohnya bisa dilihat dengan perubahan instrumen musik, namun vokalisnya tetap sehingga warna suara tetap seperti yang didengar di masa sebelumnya, contohnya NOAH. Tentu semua sudah tahu bahwa NOAH yang awalnya merupakan grup band yang bernama Peterpan sempat mengalami vakum dari dunia musik Indonesia, sampai kemudian band yang dikenal dengan lagu-lagu yang sangat easy listening ini kembali muncul dengan nama baru dan bentuk musik baru. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan David yang menjadi keyboardist baru yang juga mampu menghadirkan nada yang terdengar kekinian. Beberapa lagu yang sudah meluncur di album-album sebelumnya kemudian diaransemen ulang (dapat didengarkan di album "Second Chance") dengan sentuhan musik yang dihadirkan oleh David dan dengan stylist melodi yang terlihat semakin keren dari Lukman, dan masih dengan vokalis Ariel yang (suaranya) terdengar lebih berat—dibandingkan saat menyanyikan lagu-lagu sebelumnya.
Dapat dilihat bahwa untuk dapat bertahan selalu perlu adanya perubahan, dari personil sampai instrumen musik yang dihadirkan. Tak hanya NOAH yang melakukannya, beberapa grup band atau musisi lainnya juga melakukan hal yang sama. Namun, tak semua dari mereka tetap bertahan secara band, namun lebih banyak menjadi soloist atau membentuk band baru. Mereka berupaya berubah demi tetap bertahan sebagai musisi—yang produktif, sebelum mereka harus menjadi legenda dan dikenang ketika mereka benar-benar harus pergi (pensiun).
Dari sekian banyak grup band lawas yang dulu justru merepresentasikan masa muda saat itu kini tinggal beberapa yang masih eksis sebagai kesatuan band yang personilnya masih menjadi pionir utama seperti saat baru terbentuk di masa lalu.
Mari kita fokus pada satu grup band dengan personil Ariel (vokalis), Lukman (gitaris/melodi), Uki (gitaris/rythm), dan David (keyboardis). Grup band ini kini dikenal sebagai NOAH yang sepertinya mereka dapat disebut sebagai musisi lawas Indonesia yang mencoba merubah konsep musiknya dari yang seperti lagu “Ku Katakan dengan Indah” menjadi seperti musik yang dihadirkan di lagu “Seperti Kemarin”. Warna baru ini awalnya bukanlah hal yang mudah untuk diterima begitu saja, apalagi yang sudah sangat familiar dengan musik yang diusung oleh Uki dkk pada saat masih bertajuk sebagai Peterpan. Namun, dengan strategi pengenalan yang tepat, yaitu membawakan lagu-lagu lama mereka dengan sentuhan aransemen baru di album “Seperti Seharusnya”, seolah menjadi gerbang bagi pendengar (baik penggemar setia maupun bukan) untuk mulai tahu arah mana yang akan dipilih oleh NOAH untuk kembali menyapa publik pecinta musik Indonesia. Seperti seharusnya, memang seperti seharusnya mereka harus berubah agar tidak segera tenggelam oleh perubahan zaman.
Strategi lainnya dari NOAH untuk menjadi unik dan eksis—mudah diingat, adalah dengan pemilihan koyynsep yang menarik dalam penggarapan videoklipnya (kini lebih dikenal dengan Music Video/MV). Tak hanya konsep yang bertujuan memvisualisasikan lirik dari lagu tersebut, NOAH juga menghadirkan teknik-teknik yang menarik dan berupaya lebih mengajak pendengarnya untuk menghayati perasaan dengan penggambaran tokoh yang sedang beradegan (bercerita) di video tersebut. Kita bisa melihat di MV dari single pertama NOAH di tahun 2012 berjudul “Separuh Aku” yang berupaya memperlihatkan bagaimana perasaan seseorang yang harus berupaya mendukung orang terkasihnya di dalam kondisi sulit. Klop dengan liriknya “Karena separuh aku... dirimu...”, membuat kita tahu bahwa orang yang sedang dirundung permasalahan dan emosi yang tinggi, harus tetap membutuhkan dukungan meski pada akhirnya bisa menjadi korban pelampiasan dari peluapan emosi tersebut.
Sejak memasuki tahun 2010-an, MV seperti menjadi senjata lain yang juga ampuh untuk menarik minat bagi pendengar musik. Apalagi orang zaman now sudah tidak bisa lepas dari kebiasaan mendengar dan melihat sekaligus, sehingga dibutuhkan perhitungan matang juga bagi musisi untuk tak hanya dapat menghasilkan warna musik yang asyik didengar tapi juga dapat menghadirkan cuplikan adegan yang menarik dari musik/lagu yang dihasilkan tersebut. Dengan begitu, penghayatan terhadap musik yang didengarkan semakin kompleks dan susah terlepas dari ingatan pendengarnya—sesuatu hal yang bisa menjadi dasar kenapa pendengar kemudian kini bisa semakin fanatis terhadap karya musik tertentu. Bisa jadi pendengar setia menjadi fanatis terhadap musik tersebut karena juga menyukai MV-nya, atau bahkan mungkin lebih teringat terhadap adegan di MV yang kemudian merujuk pada imajinasi atau proses membayangkan kenangan terhadap masa lalu yang sesuai dengan lirik dari lagu tersebut.
Visualisasi di MV masa kini jelas tak hanya menyajikan adegan tapi juga dengan efek-efek. Seperti efek pencahayaan dan memasukkan warna-warna menarik untuk dilihat dan memperindah visual dari adegan tersebut. NOAH salah satu musisi yang tentunya memperhatikan hal tersebut dalam penggarapan MV dari lagu-lagu yang mereka hasilkan. Paling terlihat jelas adalah di MV dari lagu “My Situation” yang terlihat betapa menariknya visualisasi dari adegannya. Seolah-olah kita tak hanya dibawa pada cerita antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berupaya bersama meski terpisahkan oleh penciptaan ruang yang berbeda. Di sini, kita juga dibawa pada efek-efek warna yang dapat dihasilkan dari gerakan-gerakan tokohnya dan juga dari efek perubahan pengambilan gambarnya. Semua terlihat benar-benar kekinian sekali, tentu berbeda dengan MV dari Peterpan sebelumnya seperti di lagu “Semua Tentang Kita” atau “Walau Habis Terang”. Dari sini kita dapat melihat adanya perubahan dari konsep MV di masa lalu dengan MV masa kini dan itu cukup diperhatikan oleh musisi seperti NOAH dan grup band lainnya.
Di sinilah letak dari segala upaya dari musisi lawas di masa kini yang sedang berusaha keras untuk tetap dapat turut berpartisipasi meramaikan musik Indonesia dari masa ke masa. Tentu tak semua bisa, tapi ini dapat menjadi bukti bahwa tak sedikit juga musisi lawas yang masih dapat eksis dengan pembaruan pada karya musiknya dan menunjukkan bahwa kreativitasnya tak kalah dengan musisi-musisi baru yang lebih muda—lebih fresh. Sedangkan keunggulan dari musisi lawas yang bertahan seperti NOAH, Sheila On 7, Kerispatih, D’Masiv, NIDJI, dan lainnya adalah tingkat kematangan mereka yang belum bisa dibeli oleh musisi-musisi baru. Bersama satu dekade atau belasan tahun mereka mengarungi dunia musik Indonesia, tentu telah membuat mereka berhasil untuk tetap menancapkan tajinya sebagai musisi yang berkelas dan selalu dinantikan karya musiknya oleh para pendengar.
Sebagai penutup dari pembahasan kali ini tentang musik, berikut ini ada 10 top band musisi yang pernah berjaya di era-nya:
1. Sheila on 7
2. Dewa 19
3. Padi
4. Jikustik
5. Andra and the Backbone
6. Slank
7. Ada Band
8. Samson
9. Peterpan
10. Element
Sumber Hipwee.com
Apakah ada yang tahu dan masih ingat dengan lagu-lagunya?
Jika ingat, silakan sebutkan lagu-lagu yang kalian suka dari mereka di komentar, atau mungkin membuat kalian susah move-on dari kenangan sang mantan pacar. Karena mantan pacarnya kini sudah jadi pasangan hidupnya. Acieee... :)
Nb: beberapa musisi yang disebutkan di beberapa paragraf di atas berdasarkan dari yang paling diingat oleh penulis, jika ada yang berbeda atau mungkin belum tercantum, anggap saja sudah menjadi bagian dari “DLL”nya ya. Terimakasih.
“Kritik, saran atau masukan diperlukan juga guna menjadi semangat bagi penulis untuk terus menuliskan hal-hal menarik untuk dibaca.
Ada kemungkinan untuk kembali membahas lagi tentang musik di kesempatan selanjutnya.
Selamat membaca dan menantikan tulisan terbaru lainnya.”









Comments
Post a Comment