Mengkritik itu Bagus, Tapi Jangan Kebablasan
"Apakah Mengkritik Pekerjaan Paling Mudah?"
![]() |
| Gambar dari KBKNEWS.ID |
Di kehidupan ini melihat banyaknya kontradiksi alias perdebatan bukanlah suatu hal baru. Bahkan, sejak prasejarah sampai sejarah mulai terpahat di bebatuan, lalu beralih dengan goresan-goresan di berlembar dan bergulung dedaunan, perdebatan itu sudah jamak. Begitu pula ketika sejarah mulai banyak tercatat di buku-buku tebal dan tipis. Sampai pada suatu masa, sejarah-sejarah itu mulai abadi di wikipedia.
Perjalanan itu mengiringi berjuta hingga bermilyaran aksi perdebatan. Pro dan kontra. Mencaci dan memuji. Keduanya selalu bertemu di setiap wahana.
Dari meja sekolah, kuliah, organisasi, hingga ranah pekerjaan pun kita dapat menemukannya. Begitu pula di ranah yang sedang banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia dewasa ini. Berkarya kreatif.
Entah film, musik, teater, tari, mural, hingga persastraan, semua dijejali oleh pujian dan kritikan. Mereka tumpah-meruah mengiringi sebiji, dua biji per generasi yang berhasil terlontar sebagai yang terbaik. Katanya. Kata siapa? Kata mereka yang mengakui kehebatannya.
Namun, di satu sisi lain, ada mereka yang berani berdiri di depan sebagai penghalang kehebatan tersebut. Kenapa? Karena kesempurnaan itu mustahil, bahkan lebih pamali daripada makan di depan pintu kamar.
Itulah mengapa, para pengkritik juga diperlukan. Bahkan, banyak orang yang berupaya mencari pengkritik, lhoh. Tidak percaya?
Jika tidak demikian, mengapa ada lomba? Karena kompetisi pasti akan menghadirkan penilai, dan penilai pasti harus bisa mengkritik, bukan? Itulah yang menjadi bukti nyata bahwa orang-orang yang ingin hebat selalu mencari pengkritik.
Berbeda dengan orang-orang yang ingin terlihat hebat. Mereka akan lebih banyak mencari pujian daripada kritikan. Setidaknya banyak yang pro. Namun, jika memang sebegitu adanya, berarti memang orang tersebut sudah saatnya hebat.
Apa maksudnya?
Yaitu, setiap masa pasti menghadirkan siklus yang berbeda. Terkadang kita berada di atas dan di bawah. Terkadang kita berada di masa layak dipuji dan di masa yang lain menjadi orang yang sangat layak dikritik, hingga dicaci.
Itu artinya, mengkritik juga perlu batas. Entah waktu entah perubahan. Uniknya waktu dan perubahan seringkali menjadi bromance. Mereka sulit dipisahkan. Tetapi ada pula yang melihat perjalanan waktu tak memberikan perubahan. Ada, tapi perlu dicermati dengan sebuah catatan.
Yaitu, kekekalan yang kita lihat biasanya adalah karakter. Terkadang kita tidak bisa melihat core by the core dari seseorang, apalagi sebuah lembaga ataupun sekumpulan kepala-kepala. Itu sangat sulit untuk dicari inti dari segala inti yang pernah sok kita terawang.
Pada akhirnya kita akan melihat bahwa upaya kita mengkritik apapun dan siapapun, perlu mengetahui batasnya. Batasnya adalah objektivitas. Nilailah mereka dengan mengakui tambah dan kurangnya. Jika dapat melakukan itu, maka mengkritik adalah suatu hal yang bijak dan apa yang dikritik pada akhirnya akan memberikan hadiah yang manis untuk para pengkritiknya.
Lalu, apakah kita bisa melakukannya?
Tentu saja bisa.
Lalu, apakah kita pernah melakukannya?
Seharusnya pernah.
Lalu, bagaimana cara untuk melakukannya?
Berpikirlah bahwa apa yang diucapkan adalah apa yang didengarkan.
Jadi, jika menganggap mereka salah-kita benar, sedangkan mereka merasa sebaliknya, berarti kontradiksi akan tetap ada dan selamanya akan demikian. Itu artinya perlombaan masih berlanjut. Kritik-kritik pedas nan abal-abal juga masih abadi, sedangkan para pengkarya masih timbul-tenggelam mencari lengangnya Bumi ini. Bisa?
Mustahil.
Indonesia, 29-30 Januari 2020
Deddy HS.



Trimakasih, tulisan yg mantab
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkenan hadir dan menanggapi. Salam!
DeleteYes..... Sip
ReplyDeleteSip kembali. Salam Bu Anis!
Deletemenarik
ReplyDeleteTerima kasih mbak Mega. Salam!
Delete