Beginilah Barcelona Seharusnya

 

Dokumentasi pribadi/Deddy HS.
Gambar: Dokumentasi Pribadi

Membaca judul itu mungkin ada yang berpikir bahwa saya adalah penggemar Barcelona yang selalu hanya senang ketika Barcelona menang. Hm, sebenarnya siapa sih pendukung klub bola yang tidak senang kalau klub dukungannya menang?

Saya sebenarnya tidak ingin mendeklarasikan diri bahwa saya adalah penggemar Barcelona. Itu bukan topik yang ingin saya bahas, melainkan topik tentang mengapa saya menulis judul seperti itu.

Alasannya sederhana, saya menginginkan sepak bola yang kolektif. Memang, keberadaan pemain yang menonjol itu selalu sulit dihindari. Nyaris setiap klub punya pemain-pemain yang paling menonjol. Mau disebutkan contohnya?

Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Gareth Bale--dulu di Tottenham Hotspur sebelum pindah ke Real Madrid, Thierry Henry (Arsenal), hingga Zlatan Ibrahimovic.

Khusus Messi, Ronaldo, dan Ibrahimovic, saya tidak perlu menyebutkan klub mana mereka menonjol. Messi sampai tulisan ini muncul, masih di Barcelona. Ronaldo, di mana pun dia berada selalu menonjol. Begitu juga Ibrahimovic, yang menonjol karena terkadang dia pandai mencari klub mana yang dapat menyediakan panggung untuknya.

Kehadiran pemain-pemain menonjol ini di satu sisi memang sangat dibutuhkan. Karena, mereka biasanya mampu menjadi harapan pertama dan utama. Tetapi, mereka juga bisa membuat klub menjadi bermasalah, yaitu ketika permainan menjadi sangat bergantung ke mereka.

Messi, Ronaldo, dan Ibra adalah pemain-pemain yang jika mereka absen bisa membuat permainan menjadi berbeda. Terkadang bisa terlihat lebih bagus, tetapi tidak jarang menjadi kacau-balau.

Kalau membahas permainan kacau-balau akibat absennya pemain yang menonjol, sudah banyak yang dapat mengulasnya. Karena memang pemandangan seperti itu mudah dilihat. Apalagi, kalau klub yang dibela pemain menonjol itu kalah, pasti langsung banyak komentar/cuitan dari pendukung untuk mengharap si pemain cepat kembali bermain.

Lalu, bagaimana kalau melihat sisi bagusnya ketika klub itu bermain tanpa mereka?

Poin pertama yang perlu dilihat adalah kolektivitas. Seperti yang sudah saya sebut di awal, bahwa saya akan menyoroti permainan yang kolektif entah dengan si pemain menonjol atau tidak.

Jika permainan itu terbentuk ketika tidak ada pemain yang sangat diandalkan itu bagus. Tapi, lebih bagus lagi, kalau ketika ada pemain yang sangat diandalkan itu dan permainan yang diciptakan di lapangan tetap kolektif.

Poin kedua yang perlu dilihat adalah kepercayaan diri. Seringkali saya melihat klub yang bergantung pada seorang pemain akan bermasalah pada tingkat kepercayaan diri. Ketika Ronaldo absen, Juventus kalah dari Barcelona (29/10/2020). Tetapi, ketika Ronaldo ada di lapangan, Juventus bisa mengalahkan Barcelona (9/12/2020).

Tetapi contoh itu bisa dilawan dengan poin pertama, yaitu kolektivitas. Sekalipun Juventus kalah dari Barcelona ketika Ronaldo absen, saya malah mengapresiasi permainan Juventus. Karena, mereka lebih kolektif dan percaya pada siapa pun pemain yang punya ruang tembak ideal.

Hal ini yang cukup berbeda kalau ada Ronaldo. Bola akhir sebisa mungkin harus ada di kaki Ronaldo. Entah itu memang strategi dari “orok” (baca: asalnya/pelatih) atau itu faktor “kehormatan” di lapangan yang tanpa sadar telah membuat para pemain Juventus “tunduk” pada Ronaldo.

Terkadang hal semacam ini kurang saya sukai, karena permainan menjadi kurang mulus. Bahkan, seringkali saya menggumam, “seandainya Ronaldo memberi bola ke Morata”, dan “seandainya-seandainya yang lain”.

Ini juga persis terjadi pada Barcelona dengan Messi. Saya tahu, Barcelona bisa memenangkan gelar banyak ditopang oleh produktivitas Messi. Tetapi, apa selamanya gol-gol Barcelona harus lewat kaki Messi?

Memang, kalau dilihat secara tipikal bermain, Messi lebih membaur dengan pemain lain. Ia seringkali menjadi otak yang mengkreasikan peluang, bukan penyelesai akhir seperti Ronaldo--khususnya dalam beberapa musim terakhir.

Ketika Messi makin tua, ia makin masuk ke dalam, sedangkan Ronaldo semakin tua, makin menuju kotak penalti lawan. Itu tidak masalah. Beda pemain, beda cara bermain.

Tetapi, yang membuat mereka masih saya sayangkan adalah ketika mereka sama-sama sering memaksakan diri. Memang, terkadang memberi bola akhir ke rekan bisa saja hasilnya zonk. Tetapi, menurut saya itu lebih baik daripada dieksekusi sendiri dan juga zonk.

Membagi bola akhir ke rekan menurut saya penting. Alasannya adalah memberikan kepercayaan kepada rekan, dan membentuk kepercayaan diri bagi rekan-rekannya--kepercayaan diri tim. Seandainya si pemain andalan, seperti Messi tidak bermain, maka para rekannya sudah terbiasa untuk mengambil tanggung jawab Messi.

Soal tingkat akurasi mengeksekusi peluang, menurut saya itu tidak hanya karena kualitas, tetapi juga intensitas. Orang yang ulung sebagai penulis, bukan hanya karena dia berbakat, tetapi karena dia sering menulis, dan tentunya dia banyak membaca.

Artinya, ada intensitas dalam melakukan sesuatu untuk menghasilkan kualitas terhadap hal tersebut.

Kita ambil contoh Antoine Griezmann. Dia bisa terlihat susah mencetak gol di Barcelona dibandingkan saat di Atletico Madrid, salah satu alasannya karena dia di Barcelona tidak langsung menjadi andalan untuk mencetak gol.

Dia diharapkan seperti Neymar Jr. Entah, siapa yang menginginkan hal itu, yang pasti kalau dilihat secara posisi ketika bermain, dia lebih banyak menjadi winger. Baru ketika Luis Suarez hengkang, Griezmann mulai dibiasakan menjadi striker.

Namun, tetap saja Griezmann kurang garang. Ada saja kejadian yang membuat Griezmann gagal mencetak gol. Tetapi, kalau dirujuk pada awal ia datang ke Barcelona, saya menganggap itu karena dia kehilangan kepercayaan diri.

Kehilangan kepercayaan diri tidak lepas dari intensitas dalam membuat keputusan, salah satunya adalah menerima bola akhir. Semakin sering mendapatkan kepercayaan mengeksekusi peluang, semakin tahu bagaimana cara mencetak gol.

Tetapi, hal ini juga tidak bisa dimediasikan lewat pertandingan, karena saat pertandingan resmi digelar, tidak ada klub yang mau membuang-buang peluang, alias menjadikan laga itu sebagai media berlatih mencetak gol. Konyol!

Hanya saja, faktor ini yang kemudian membuat ada pemain-pemain yang mulai tidak mudah untuk percaya kepada rekannya jika dia tahu kalau rekannya tidak seefektif dirinya atau pemain lain. Padahal, hukum sederhananya adalah tidak ada gol jika tidak ada upaya.

Dan, upaya itu bisa tercipta kalau ada rasa saling percaya dan kepercayaan diri. Menurut saya contoh paling bagus adalah bagaimana Romelu Lukaku tetap percaya bahwa Lautaro Martinez pasti bisa menyundul bola lambung yang ia kirimkan, walau dia tahu bahwa postur Martinez tidak setinggi Simon Kjaer dan Alessio Romagnoli.

Tetapi, faktor rasa percaya kepada rekan membuat Lukaku mau mengirim bola lambung ke kotak penalti AC Milan--dalam lanjutan laga Serie A 2020/21 (21/2). Ketika seorang pemain mendapatkan kepercayaan dari rekannya, maka kepercayaan dirinya juga tumbuh. Hal ini yang kemudian saya inginkan juga terjadi pada permainan Barcelona.

Beruntung, saya melihatnya pada kreasi 3 gol yang diciptakan Barcelona. Semuanya adalah lewat kerjasama dan tentu saya mengapresiasi dua gol yang diciptakan oleh Messi (gol pertama) dan Jordi Alba.

Untuk gol pertama, saya sedikit menganggap itu hal biasa, karena Messi seringkali baru mau membagi bola kalau dirinya sudah terjepit oleh penjagaan lawan. Namun, saya tetap mengapresiasi keputusannya untuk memberi bola kepada Martin Braithwaite dan beruntung, dia mendapatkan bola pantul yang sepertinya dia inginkan.

Baca juga: Haaland, Cristiano Ronaldo, dan Messi

Sedangkan gol kedua, saya sangat apresiasi bahwa Messi mau mengirim bola ke arah Braithwaite yang berhasil menemukan ruang kosong. Awalnya saya berpikir bahwa ia akan mencari Alba, karena pemain ini kalau sudah naik ke depan pasti didukung oleh Messi.

Ternyata dugaan saya sedikit meleset, walaupun itu bagus untuk Barcelona. Gol tercipta lewat kombinasi terakhir, Messi-Braithwaite-Alba. Gol!

Artinya, lewat kombinasi semacam itulah Barcelona bisa membongkar pertahanan rapat lawan yang sedang berjuang keluar dari degradasi. Sekalipun ada yang bilang ini hanya Elche, tetapi justru klub papan atas semacam Barcelona perlu mewaspadai klub yang sedang menjadi pesakitan.

Kebetulan, Barcelona bisa menang dengan skor cukup bagus, 3-0. Artinya, produktivitas Barcelona tidak buruk sekalipun lawannya juga bukan tim papan atas. Hanya saja, saya lebih menyoroti bagaimana gol-gol Barcelona dapat tercipta.

Seharusnya, memang begitu Barcelona dapat membongkar pertahanan lawan. Mereka harus kompak, berani berbagi bola takhanya di momen krusial tetapi juga saat pertahanan lawan gagal memprediksi kebiasaan Messi yang cenderung perfeksionis dalam membagi bola.

Semoga, Barcelona bisa kembali bermain seperti ini. Kolektif. Itu cukup untuk menjadi modal menggapai produktivitas.

Lalu, apakah ini bisa menjadi modal Barcelona membalikkan keadaan di Stadion Parc des Princes (13/3)?

Entah!

~

Indonesia, 25 Februari 2021

Deddy HS.


Comments

Popular Posts