Bintang Jenaka yang Elegan
(untuk Agus Noor)
![]() |
(dokumentasi pribadi) |
Suatu hal yang tak pernah kuduga sebelumnya,
dapat bertemu dengan seorang sastrawan dan seniman terkenal yang selama tiga tahun sebelumnya hanya sekedar kuketahui dari karya naskah teater/lakon, dan cerpennya.
Mungkin genap tahun ketiga aku mengetahui sosok tersebut, dan akhirnya diberikan kesempatan untuk bertemu langsung dengannya.
Tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam—bahkan bisa saja tanpa perlu masuk ke bazaar buku dan membeli buku, aku bisa mengikuti sesi diskusi tentang teater dan sastra; puisi.
Tanpa perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk menonton pentasnya dengan Indonesia Kaya dan Djarum Foundation, aku akhirnya bisa melihatnya secara langsung dan lebih dekat (daripada layar hape).
Mungkin hanya segelintir orang yang dapat langsung mengenalinya ketika pertama kali tiba di lokasi dan langsung masuk ke area bazaar, sedangkan aku berdiri tepat di pintu keluar-masuk bazaar. Aku seketika menjadi ‘human statue’; aku tidak tahu harus berbuat apa.
Sesuatu yang kusesali pada saat itu adalah aku tidak memiliki bakat menjadi penggemar—selalu mengejar kemana idolanya berdiri hanya untuk berfoto bersama dan meminta tanda tangan. Sesuatu yang kusesali paling mendalam adalah aku tidak membawa dua buku kumcernya (Lelucon Para Koruptor dan Cinta Tak Pernah Sia-sia), untuk kumintai tanda tangan di halaman pertama setelah sampul; karena di halaman kedua di setiap buku yang kubeli selalu kububuhkan tanda tanganku sendiri. Hehehe....
![]() |
Agus Noor saat menjelaskan penulisan naskah lakon. (dokumentasi pribadi) |
Seandainya tempat kost-ku lebih dekat lagi dari tempat itu, pasti aku akan rela untuk meninggalkan tempat bersandarku di tiang terop koridor tengah di antara orang-orang yang kurang beruntung karena duduk di kursi yang sudah disediakan panitia. Kenapa aku sebut kurang beruntung? Karena berdiri lebih enak dan leluasa untuk melihat orang-orang hebat berbicara mengenai hal-hal penting yang mungkin akan jarang kau dengarkan lagi setelah ini. Meski pada akhirnya aku juga duduk di kursi karena punggung dan pinggang sudah semakin pegal dan aku juga memilih kursi yang masih berada di titik yang ideal untuk melihat tiga orang hebat berbicara di atas panggung.
![]() |
Agus Noor ketika baru saja tiba dan menyaksikan sajian pengisi acara. (dokumentasi pribadi) |
Namun di balik penyesalanku, dapat terbayarkan dengan keberhasilanku memotretnya sebelum dia naik panggung. Potret buram, gelap, namun jauh lebih berharga dibandingkan potret ketika dirinya turun dari panggung; karena dari sana, dia sudah menjadi bintang yang akan dikelilingi satelit-satelit kecilnya. Lain cerita, ketika dirinya masih menjadi bintang yang tanpa satelit. Dia terlihat lebih suci.
Di sinilah aku menemukan perbedaan antara bintang yang berpijar bersama karya sastra yang berkualitas berbanding dengan bintang yang berpijar bersama karya sastra curhatan komersial yang digandrungi oleh kaum remaja masa kini. Keuntungan baginya, karena tak perlu mengajak bodyguard, bukan? Hehehe....
Sebelumnya aku hanya berniat ingin datang ke tempat itu untuk menebus keinginanku untuk mendapatkan buku yang sudah kuincar sebelumnya. Meskipun secara tersirat, aku memprediksi bahwa hari Senin mungkin adalah waktu yang pas untuk diskusi asyik bersama orang-orang hebat seperti dirinya.
Seandainya aku sangat yakin dengan prediksiku, mungkin aku sudah pasti membawa dua buku kumcernya itu. Ah, aku mengingat penyesalanku lagi....
Namun, momen di malam itu (8/10) sudah cukup membuatku bahagia. Ternyata di balik segala kekurang beruntungnya aku tahun ini, masih kutemukan momen-momen spesial yang mungkin sulit untuk kuulang lagi.
![]() |
Keadaan dari luar di hari pertama (4/10). (dokumentasi pribadi) |
Terimakasih panitia yang menghadirkan pesta sejuta buku hadir di Malang. Ini adalah kedatanganku untuk kedua kalinya setelah tahun lalu. Namun, kurasa tahun ini jauh lebih menarik dan beruntung, karena dapat bertemu dengan salah satu penulis yang kukagumi karya-karya tulisnya khususnya cerpen-cerpennya. (nanti akan ada bagian lanjutan yang akan membahas alasanku membeli dua buku kumcernya tersebut)
![]() |
Agus Noor juga menjelaskan keterkaitan sastra dengan teater yang tak bisa dipisahkan. (dokumentasi pribadi) |
Terimakasih juga kepada Agus Noor yang hadir menikmati dinginnya malam kota Malang dengan harus ditenangkan oleh beberapa batang rokok di beberapa kesempatan—termasuk saat diskusi di panggung (dengan harus ijin terlebih dahulu kepada panitia dan audience secara terbuka dan itu hal menarik lainnya dari beliau).
Ya, dirinya memang bukan oase di padang pasir. Karena seniman dan sastrawan jenaka tak sedikit. Seniman dan sastrawan yang kritis dan politis juga tak sedikit. Namun dirinya seperti karyanya, jenaka dan elegan. Satu lagi, aktual. Eh, ada lagi, dia cekatan dalam mengolah romansa menjadi tidak picisan.
Deddy Husein S
Malang, 8-9 Oktober 2018.
silakan mampir juga di https://deddyhuseins15.blogspot.com/2018/05/review-buku-kumpulan-cerpen-agus-noor.html .
Comments
Post a Comment